Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Airmata Ibu Pertiwi (Kegelisahan Seorang Blogger tentang Negerinya)

26 November 2009   16:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:10 390 0
Andai Negeri ini bisa bicara, pasti akan ada satu tanya yang terdengar dari segenap penjuru mata angin, siapa yang pedulikan aku ?

Ketika para petingginya main tebak-tebakan, berapa jumlah rakyat miskin, seorang jermal, yang pasti miskin, tenggelam di laut lepas demi upah dua ribu rupiah, dan di saat yang sama para ekonomnya terinspirasi mencetak pecahan uang “dua ribu” an.

Ketika petingginya petinggi berteriak meyakinkan rakyatnya, bahwa ke depan harus ada kepastian hukum yang menjamin kesejahteraan nasib TKI yang bekerja di negara-negara sahabat, nanar semua mata menyaksikan berita di televisi tentang TKW yang kehilangan satu telinganya dan satu matanya hampir lepas akibat penganiayaan yang sungguh tidak menjamin kesejahteraan siapapun.

Dan ketika seluruh elemen masyarakatnya dipaksa bangga atas laporan Tranparansi Internasional tentang pergerakan peringkat predikat sebagai negara terkorup di dunia menjadi “lebih baik”, meski masih berada di zona merah dalam peta korupsi di dunia, seorang garong kampiun uang rakyat sedang menikmati aneka hidangan Japaness food di sebuah restoran di negara sahabat.

Ketimpangan-ketimpangan terus terjadi & berulang-ulang menggoyahkan sendi-sendi kekuatan berbangsa & bernegara di Indonesia. Meski sudah lebih dari setengah abad merdeka, kedewasaan belum juga menyentuh pola pikir ketatanegaraan.

Salah satu ciri khas ketidakdewasaan adalah kesulitan memetik pelajaran dari pengalaman. Semua hal adalah baru. Semua orang berburu yang baru. Semua yang dikerjakan tidak berkelanjutan, putus-putus, patah-patah, musiman & tidak menemukan ujung masalah yang dapat mengurai simpulnya.

Semua Masalah Ada Simpulnya
Hiruk-pikuk Pilkada, Pileg & Pilpres yang baru lalu diwarnai dengan gelapnya data base tentang kependudukan. Tidak ada yang dapat memastikan berapa sesungguhnya jumlah penduduk Indonesia. Dan yang sudah dapat dipastikan adalah bahwa pengembangan data kependudukan, seperti perbandingan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, kesehatan, dsb pun tidak akan pernah valid.

Pertanyaannya adalah : apa alat ukur program, kegiatan, kinerja, tujuan, bahkan harapan & impian sekalipun, apabila keberadaan penduduknya saja tidak terukur ?

Pertanyaan selanjutnya : kenapa tidak segera dimulai dengan membuat sistem pencatatan kependudukan yang valid, akurat & transparan ?

Penduduk adalah bangsa. Ia adalah satu unsur berdirinya sebuah negara, di samping pemerintahan & wilayah. Ketika data base tentang siapa, apa, kapan, berapa dan di mana sebuah program & kegiatan harus dilaksanakan tidak jelas, maka hasilnya tidak akan terukur, programnya tidak terencana, dan kinerjanya pun akan sulit dinilai. Oleh karena itu, betapa urgen penataan kependudukan dalam sebuah negara.

Pepatah China menyebutkan : Kalau ingin menguasai sebuah negara, maka kuasailah pendidikan bangsanya. Berkhayal bahwa ada tangan-tangan yang bertarget untuk menguasai negeri ini demi kepentingan tertentu, mungkin terlalu su uzzhan . Tetapi melihat sejarah pendidikan di Indonesia yang seakan tidak menemukan pola, frame, patroen yang permanent mengantarkan bangsa ini well educated, agaknya make sense enough.

Negara sahabat paling dekat, Malaysia, Singapura & Brunei Darussalam memiliki berbagai kemapanan yang Indonesia inginkan. Bahkan saking mapannya, hanya karena ulah satu warga negara (Malaysia, Noordin Mohammad Top) nya, Indonesia dibuat klimpungan selama hampir satu dasawarsa.

Hingga tahun 1980 an, Malaysia masih intens mengirim para pelajarnya berguru di Indonesia dalam berbagai bidang. Dan hal itu terbalik dengan tidak elok pada sekitar 20 tahun terakhir ini.
Indonesia mengirimkan bangsanya ke negara-negara sahabat bukan untuk mengejar level pendidikan, tetapi mencari sesuap, dua suap, tiga suap nasi demi bertahan hidup lebih lama.
Pasti ada yang harus diperbaiki dalam pembangunan urusan pendidikan di Indonesia.

Kulihat Ibu Pertiwi sedang Bersusah hati…
Senandung lara Ibu Pertiwi terus mendayu-dayu menggelitiki semua telinga bangsa ini di mana pun ia berada, agar terbangun, agar tersadar, agar peduli untuk menceriakan wajah negeri ini di mata bangsanya sendiri, terlebih lagi berharap agar digjaya di mata bangsa-bangsa lain di jagat raya.

Ketika hasil survey sembarang menyebutkan bahwa hasil tes mahasiswa masuk ke perguruan tinggi tentang perbendaharaan lagu-lagu kebangsaan, sangat minim, untuk tidak menyebut ‘tidak ada’, hal ini menunjukkan bahwa selama 12 tahun mengenyam pendidikan di sekolah telinganya langka menangkap nyanyian pemacu adrenalin kebangsaannya. Bahkan lagu-lagu pun diproduksi besar-besaran di negeri ini tanpa kepedulian bahwa menyimaknya can be inspiring to do or making something penikmatnya.

Sebuah “survey” menakjubkan pun memaparkan data lain yang tidak kalah spektakuler dengan kiprah Mr. MNT yang warganegara Malaysia itu. Betapa tidak, pada event yang melibatkan ribuan pihak dan telah diagendakan dalam setiap kalender di negeri ini, Pidato Kenegaraan yang merupakan rangkaian penting dalam tataran perwujudan keindonesiaan, tiba-tiba, Jum’at, 14 Agustus 2009, kehilangan satu space di ruang hati segenap bangsa ini, bergetar seluruh sendi-sendi sakral kebangsaan saat diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un… !

Gedung DPR RI berisi ribuan bangsa itu “tersihir” untuk tidak pedulikan “Indonesia Raya”.
Kecemasan makin menghantui, jangan-jangan Allah SWT sedang melemparkan ‘pecut’Nya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun