Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Gak Perlu Sekolah atau Pendidikan Tinggi untuk Menyelamatkan Bumi

26 Mei 2011   13:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:11 107 0
Seperti setiap pagi nya, ku perhatikan lelaki setengah baya bertubuh kecil namun  berotot kuat dengan  , akrab dipanggil abah dengan kulit agak hitam legam akrab dipanggil abah mengasah mata parang dan mengikir mata gergajinya tampak jelas urat-urat mengelilingi lengan tangannya, sekali-kali asap mengepul dari mulutnya yang terselip sebatang rokok pucuk (daun nipah yang dikeringkan) yang terbakar pelan-pelan.

namun pagi ini tak kelihatan sosok abah yang biasa nya menghabiskan kopi pagi sambil duduk didepan batu asahannya yang dia pilih dari kali yang hulunya tak jauh dari palak (istilah lahan untuk berkebun) nya, hati ku bertanya kemana abah?apa suduh mudiak?(istilah naik kegunung atau kekebun) yah mungkin saja abah sudah mudik.

sudah tiga hari tiap pagi nya sosok abak tidak terlihat, hanya selembar handuk yang sudah kusam dan topi merah putih yang berlogo tut wuri handayani yang warna nya sudah coklat karena jam terbangnya sudah tinggi oleh noda getah pala nilam dan sebagainya.

kuhampiri rumah beliau yang ditumbuhi jahe dan serai wangi yang pengganti pagar mengelilingi rumahnya, kuketuk pintu hanya hening sesekali terdengar tetesan air pancuran bambu dari belakang rumah, kemana gerangan si abah?

tanpa dipersilahkan kuterobos pitu yang hanya diganjal dengan batu dari dalam, langkah pertama tertuju ke ruang kamarnya yang tak bersekat namun seketika langkah ku terhenti melewati tikar pandan diatasnya terbentang majalah yang mungkin sudah berulang-ulang kali dibaca, kubuka lipatan lembaran majalah yang bertema Global Warming.

lagi-lagi ku bertanya ada apa gerangan? kemana si abah?  kulihat kopi paginya masih hangat tinggal setengah.

hari ini ku habiskan waktu menunggu siabah kemana?ada apa gerangan?

sekitar 2 jam sudah kuhabiskan waktu dirumah abah sambil membaca majalah siaabh akhirnya tiba juga dengan sepeda ontel yang masih terawat lumayan unuik dengan spionnya dari motor astuti yang dia peroleh dari sisa bengkel seberang kampungnya.

si abah kali ini tidak lagi telanjang dada dengan celana lusuh yang bisa dibawa mudiak, namun si abah kelihatan lebih bersih dan berkarisma dengan baju koko dan peci yang hiyam yang sudah pudar, langsung ku sapa, "tumben ganteng banget bah, dari kondangan ni? tapi kok g bisanya dah 3 hari ni kondangan terus??

siabah tersenyum lalu mengeluarkan rokok pucuk dari kantongnya, dari Dinas perkebunan dan kehutanan jawab siabah. ngapain bah? tanyaku, serasa mengeluh si abah mengepulkan asap rokok pucuk nya dengan aroma khas kedepan muka ku dan berkata.. payah pejabat kita hanya bisa ngomong aja, itu coba kau baca yang dimajalah, dunia ini semakin panas, musim hujan tidak menentu, volusi dimana-mana.

lalu kenapa kek dengan pejabat dinas?? sudah beberapa kali aku kesana untuk bertanya kepada orang dinas yang gembar gembor untuk program menanam 1 milyar pohon, sementara bibit pala yang saya semai sudah ketanam semua, tapi buktinya 10 batang bibit  aja aku minta pohon mahoni jawabnya tidak bisa , malah katanya harus pakai permohonan dan proposal dulu bentuk kelompok, kalau aku mana bisa buat proposal?kalau diharap kelompk kapan terbentuk, kita tidak pernah dapat binaan! sementara yang menebang hutan dan mengambil kayu-kayu dari hutan kita hingga tidak ada lagi pohon-pohon tua seperti dulu tidak punya proposal dan aku tebang kayu buat pondok untuk dipalak malah ditangkap oleh polhut, bagaimana ini???

makanya mulai saat ini saya terus-menerus ke dinas perkebunan kehutanan untuk meluruskan ini mau dikemanakan bibit-bibit dibalakng kantor itu menumpuk? kenapa tidak tanam terus? dan kenapa pihak polhut beraninya dengan rakyat kecil seperti abah?? kenapa yang melakukan penambangan dengan meggundulkan hutan sampai tandus begitu tidak ditangkap??? abah gak ngerti, ini harus diselesaikan.. hati abah gak tenang kekebun hanya memikirkan yang di majalah tersebut kalau-kalau begi terus pasti global warming semakin menjadi-jadi bagai mana kelak nasib generasi manusia? akan kah tinggal tanpa menikmati lagi kicauan burung dipagi hari dan tetesan air dari pancuran bambu.

panjang abah bercerita hingga rokok pucuknya mati tanpa dihisap di asbak bambu buatan abah.

sejenak ku renungkan benar apa yang di bilang abah, lelaki stengah baya seorang pekebun pala yang hanya tamatan SD berani mengelurkan suara demikian.

Nah bagaimana dengan Kita?????

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun