Pertanyaan kedua, jika jawabannya "pernah", apa yang kalian lihat dan kesan apa yang dirasakan? Apa yang terlihat dan apa yang dirasakan  oleh setiap individu pasti berbeda. Pengalaman lahiriah setiap diri tak akan sama, persis seperti pengalaman spiritualnya. Sangat privat dan bersifat subjektif.
Beberapa daerah yang saya sebutkan di awal, mempunyai tempat-tempat eksotis sebagai objek wisata andalan masing-masing daerahnya. Mulai dari pantai, gunung, sawah, ladang, curug, bangunan religi seperti masjid, makam wali, dan objek wisata serupa yang setiap akhir pekan banyak diserbu wisatawan domestik  maupun mancanegara.
Saya sebutkan beberapa contohnya sebagai representasi, antara lain: Â Pantai Sawarna, Pantai Anyar, Negeri di Atas Awan, Citorek, Bukit Waruwangi, Curug Tomo, Masjid Agung Banten, Keraton Surosowan dan puluhan objek wisata lainnya yang berada di setiap daerah masing-masing baik kabupaten atau kota.
Sekarang, giliran Anda akan  saya bawa ke daerah-daerah yang jauh dari sentuhan proyek pembangunan pemerintah daerah, baik tingkat satu atau dua, meski secara jarak tak jauh dari ibukota daerahnya masing-masing. Tengok saja misalnya, bagaimana akses jalan menuju perkampungan, tempat tinggal warga, banyak yang jauh dari kata layak. Â
Soal data,  daerah-daerah mana saja yang sama sekali  tak kebagian kue pembangunan, saya kira tinggal klik saja aplikasi daring yang bisa diakses oleh siapapun tanpa terkecuali  di kantor-kantor pemerintahan terkait.
Alasan  yang sering terdengar dan kerap dipublikasikan kepada masyarakat adalah soal anggaran, tepatnya menunggu giliran anggaran. Sebuah alasan  rasional dan logis, memang,  namun butuh pembuktian yang jujujur,disamping pengawasan ketat oleh lembaga tertentu,dalam konteks ini adalah DPRD  provinsi, kabupaten atau kota  maaing-masing.
Naifnya, wakil rakyat yang duduk di DPRD justru bukan bertugas mengawasi pemerintah tapi hanya menjadi tukang stempelnya. Setiap kebijakan pemerintah mereka amini tanpa melakukan  koreksi, verifikasi, analisis ini-itu dan  sejenisnya.  Mereka hanya menjadi rekan atau partner untuk kepentingan  partai dan golongannya,sama sekali bukan untuk kepentingan dan keutamaan warga masyarakat.
Sangat wajar  jika daerah-daerah tertentu di wilayah Banten, tak memiliki akses jalan menuju kampungnya, atau jika pun ada, infrastrukturnya jauh dibawah standar bahkan lebih buruk lagi.
Menyedihkan, kekayaaan daerah yang melimpah ruah tak bisa mereka cicipi hanya karena  salah urus pemerintahan, selain penyakit akut korupsi yang dilakukan oknum-oknum pejabat daerah yang  bercokol di lembaga eksekutif, legislatif, pula yudikatif.
Saya kira, narasi di atas bukan untuk dibantah dan dipersoalkan dalam rangka pembelaan diri dari pihak-pihak yang disebutkan tadi. Tapi untuk dipahami dan diperhatikan agar kabar "tak sedap" dari masyarakat yang dipimpinnya  lenyap di telinga  mereka.
Tak boleh terdengar lagi ada warga yang tak punya rumah layak huni serta mengkonsumsi nasi tak layak konsumsi, atau ada warga yang menanam pohon pisang di tengah jalan yang berlubang, menunggu perbaikan jalan oleh pemda yang tak kunjung tiba atau ada beberapa warga di daerah tertentu pergi ke sekolah, ladang dan kebun masih harus melewati "jembatan neraka" terlebih dahulu. Dan sejumlah kabar lain yang yang menyulut emosi publik. Banten milik bersama bukan milik perorangan atau kelompok  tertentu.
Banten tak akan menjadi BANTEN jika semua pihak berlepas tangan, menyerah pada situasi terkini. Ia harus diperjuangkan oleh manusia-manusia pilihan yang berhati suci,  berakhlak mulia. Siapapun  mereka itu.
Meminjam perkataan Muhammad Iqbal, pemikir dan penyair asal Pakistan, bahwa setiap kita adalah "Imam Mahdi" (simbol kebaikan) tak perlu ditunggu lama kedatangannya. Mulailah bergerak kini, Â karena "Dajjal" (simbol kejahatan) sudah beraksi jauh-jauh hari.
*Kota Serang, Rabu Siang, 10 Juni 2020