Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Pajak Preman

8 November 2012   14:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:45 14 0
Oleh drh Chaidir

KOSA kata upeti sudah lama tak menjadi diskursus serius, kecuali dalam perbincangan ringan sebagai bahan olok-olok pencair suasana. Tapi pekan ini upeti kelihatannya akan menjadi "bom waktu" yang siap meledak bila-bila masa. Dan pasti akan membawa korban bila sungguh-sungguh diledakkan. Bila tak membunuh secara fisik, "benda" itu barangkali akan membunuh karakter.

Upeti yang dulu hanya dikenal ketika era "Exploitation de l'homme par l'homme" seperti yang sering ditentang Bung Karno dalam pidatonya, manusia yang satu melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya, ternyata wujud secara diam-diam di era modern ini. Dulu kala, upeti kendati memberatkan, dianggap menjadi sesuatu yang lumrah, tak perlu dipersoalkan dan tak ada yang merasa perlu mempersoalkannya. Itu sebuah konsekuensi hidup. Siapa suruh jadi pihak yang kalah, pihak yang lemah, atau siapa suruh minta perlindungan? Orang sekarang melihatnya, tak ada makan siang yang gratis, semua ada imbalannya.

Upeti di zaman baheula, ketika kuda makan besi, dipersembahkan oleh satu pihak ke pihak lainnya sebagai tanda takluk atau tanda setia, atau tanda hormat. Dengan demikian upeti diberikan oleh pihak yang lemah, negeri-negeri taklukan kepada penguasa negeri penakluk. Upeti dipersembahkan agar si lemah mendapatkan perlindungan dari sang penakluk. Upeti menjadi konsekuensi yang harus dipikul oleh negeri taklukan sebagai anggota persekutuan. Upeti adakalanya juga agar negeri taklukan tidak dikenakan kewajiban atau pajak yang lebih berat.

Upeti sebenarnya sudah membudaya dalam masyarakat kita yang feodalistik. Masyarakat kita berasal dari kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang satu sama lainnya saling takluk menaklukkan. Mana ada raja atau sultan yang mau daerah kekuasaannya berkurang. Upeti berasal dari kata utpatti dalam bahasa Sansekerta yang kurang-lebih maknanya adalah bukti kesetiaan. Negeri bawahan atau negeri taklukan tidak hanya cukup bermodal pakta sumpah setia, mereka juga harus mempersembahkan upeti sebagai bukti kesetiaan. Imbalannya, negeri taklukan memperoleh perlindungan.

Dalam masyarakat modern sekarang, upeti sesungguhnya tak lebih tak kurang adalah salah satu bentuk suap, gratifikasi, uang sogok, uang pelicin, pemerasan, penggelapan, kongkalikong, dan sejenisnya. Oleh karena itu terlarang. Upeti itu lebih dari sekadar bentuk kompensasi, atau konsesi dari "jasa" yang diberikan oleh pihak lain. Sekarang tak ada lagi negeri taklukan atau negeri bawahan yang terikat dalam sebuah persekutuan protektorat, atau Tuan dan hamba sahaya (master and slave), semua terikat dalam ketentuan hukum. Tapi mentalitas seperti itu masih tumbuh subur. Pihak yang lemah, atau pihak yang minta bantuan (fasilitas, anggaran, hukum, dan sebagainya), atau pihak yang minta perlindungan politik, atau pihak yang minta "diamankan kasusnya" harus bayar pajak preman alias pajak ketakutan.

Kabar tentang upeti itu, pekan ini, terlanjur bendang ke langit. Artinya, terang benderang. Berbagai ekspresi muncul. Kesal, geram, gelisah, ada yang kebakaran jengkot, seperti cacing kepanasan, atau juga seperti kera kena belacan. Dahlan Iskan siap beberkan oknum Anggota DPR peminta upeti, Direktur Utama PT RNI Ismed Hasan Putro juga siap. Ketua DPR, Marzuki Alie dan beberapa Anggota DPR tersinggung, minta Dahlan dan Ismed membeberkannya supaya tidak jadi fitnah. Gayung bersambut. Mungkin ini saatnya momentum bersih-bersih, bangsa kita sudah terlalu sering meleset.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun