BAGI masyarakat Riau, khususnya masyarakat Melayu terutama yang bermastautin di sekitar semenanjung Selat Melaka, Wan Ghalib adalah seorang tokoh besar. Dengan kondisi fisiknya yang ringkih di usia senjanya, pendiri Provinsi Riau ini, masih saja laksana mercu suar di lautan lepas, ia menjadi pedoman bagi pelaut agar kapal tak tersadai karang. Ia seorang budayawan, seniman, politisi, dan bahkan juga seorang penulis produktif.
Pada peringatan hari jadinya yang ke-90, 5 Oktober 2010 tahun lalu, saya beruntung menjadi salah seorang dari sahabat dekat yang diundang ke rumahnya yang sederhana di Jl Banda Aceh (Sakuntala), dan diminta pula menyampaikan kesan dalam acara itu yang menurut saya sangat sederhana untuk seorang tokoh sekaliber Wan Ghalib. Perasaan bangga dan haru bercampur aduk jadi satu. Rasa cintanya yang besar terhadap Provinsi Riau senantiasa memberi semangat untuk terus mengikuti perkembangan, walau fisik tak lagi mendukung. Tapi pikirannya masih jernih. Menurutnya, pembangunan fisik dan ekonomi Riau sudah maju sangat pesat. Bahkan kini, Riau sudah dipimpin oleh anak-anak daerah sendiri. “Dulu orang Riau tak bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri”, ujarnya.
Bahwa masih ada kekurangan di sana sini, menurut Wan Ghalib itu biasa. Termasuk misalnya semangat yang berlebihan dalam menerjemahkan otonomi daerah sehingga adakalanya penempatan pegawai kurang sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam wawancaranya dengan Riau Pos (8/8/2011) bersempena HUT ke-54 Provinsi Riau 9 Agustus 2011, yang dimuat sebagai headline di halaman pertama, bahkan lengkap terpampang foto sang tokoh dalam ukuran besar, Wan Ghalib secara terang-terangan menyampaikan harapan dan kritiknya. “Pemerintah jangan fokus pada program yang besar-besar saja, tapi akar rumput juga harus diperhatikan, misalnya ekonomi kerakyatan dan sekarang sudah dilakukan pemerintah, seperti program sapi, kambing, kebun yang diperuntukkan bagi rakyat”, ujarnya. Pada kesempatan lain, masyarakat diajaknya untuk produktif. Wan Ghalib sendiri memberi contoh. Pada usinya yang sudah renta, ia masih beternak ikan lele di pekarangan rumahnya. “Ada sekitar 3000 ekor lele yang siap dipanen”, ujarnya suatu ketika.
Kini tokoh besar itu sudah pergi untuk selamanya, sehari setelah HUTnya yang ke-91. Tapi kenangan bersamanya akan senantiasa hidup di hati. Berada di samping tokoh besar seperti Wan Ghalib saya merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kedekatan kami bermula ketika sama-sama duduk sebagai Anggota DPRD Provinsi Riau periode 1992-1997. Perbedaan generasi tak menghalangi kami untuk akrab satu dengan lainnya. Salah satu perekatnya, kami sama-sama tertarik pada dunia literasi, kami sama-sama penulis.
Wan Ghalib sudah menerbitkan banyak buku untuk dibaca oleh generasi penerus dan dikenang. Wan Ghalib kini pasti tersenyum mengenang ungkapan latin Verba volant scripta manent…Apa yang diucapkan akan menguap bersama angin, tetapi apa yang ditulis akan dikenang sepanjang masa. Selamat jalan Pak Wan.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net