Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Politik Itu Unpredictible

1 Februari 2024   13:26 Diperbarui: 1 Februari 2024   13:37 215 2
DEMOKRASI kita berada di tubir jurang. Ini bukan dramatisasi dan upaya menggambarkan Pilpres 2024 berpotensi kacau. Namun, realitas lapangan menunjukkan potensi kecurangan dalam tahapan pemilihan umum besar probabilitasnya. Peta politik nasional juga berubah-ubah lanskapnya.

Begitulah politik yang bersifat unpredictable (tidak dapat diprediksi). Praktek cawe-cawe memperdagangkan idealisme. Menggadaikan prinsip-prinsip dan nilai universal milik masyarakat dengan libido untuk berkuasa, dilakukan. Terang benderang, tanpa malu abuse of power dipraktikkan.

Pada level ini common sense (akal sehat, kewajaran) publik dikotori. Kontrol kesadaran menjadi alat kelompok yang merasa dirinya kuat secara politik. Mobilisasi kekuatan dipertunjukkan. Terjadilah pergeseran yang drastis terhadap nilai-nilai demokrasi yang harus dijunjung tinggi, ironisnya dicederai.

Kegilaan dan ilusi Pilpres 2024 dilaksanakan "Satu Putaran" dikonstruksi. Media massa dan Lembaga Survei seperti didesain untuk punya frekuensi produksi hasil atau propaganda yang sama. Yakni menyajikan informasi-informasi yang bertujuan meyakinkan publik untuk percaya. Pertarungan udara pun dilakukan.

Sembari serangan pertempuran darat melalui pembagian Bansos dilakukan. Agitasi dan framing melalui media sosial, media massa intensif dilakukan. Uang atau materi dipertandingkan disini. Artinya, semua pertunjukan adu kuat itu tidak gratis. Ada paslon Capres yang gerakannya backfire (menjadi bumerang).

Ada pula yang menjadi power (kekuatan). Ditambah lagi situasi kita sekarang dimana masyarakat diperhadapkan pada kondisi pemilu dimasa susah, pasca pandemi Covid-19. Lalu, ada perilaku politisi atau calon pemimpin yang ''kemlinthi''. Yang dinilai kurang memiliki etika dan moral politik yang cukup.

Kemlinthi merupakan istilah Bahasa Jawa yang menggambarkan seseorang yang sombong atau sok tahu. Para elit politik dengan perangkatnya akan menggempur pihak lawan habis-habisan. Saling ''meracuni'', saling mempengaruhi pikiran publik gencar dilakukan. Berbagai platform media sosial digarap.

Pemilih undecided (bimbang) menjadi target dari tiga pasang calon Presiden Republik Indonesia yakni Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud. Perangkap atau kail yang digunakan adalah narasi, strategi, visi politik, dan rekam jejak. Masyarakat diajak untuk tidak Golput.

Ada pertarungan program vs gimik. Meski masih ada kesan calon Presiden dan calon Wakil Presiden kita yang underestimate (meremehkan) politik gagasan, kemudian mereka getol memamerkan gimik. Pemilih bimbang semakin bimbang, jika aktor politik tidak punya kesadaran ideologis seperti itu.

Masih mabuk gimik. Parahnya lagi, bila Bansos yang dipersonalisasi, sebagai pemberian seseorang. Padahal itu hak rakyat yang diperoleh dari negara. Karena Bansos merupakan kembalian atau rotasi dari hasil pajak masyarakat itu sendiri. Ketika Bansos menjadi instrumen politik, ini akan rawan konflik.

Kecenderungan pemilih disatu sisi yang amat sangat komprehensif harus terus diedukasi. Tidak boleh kita biarkan swing voters (pemilih mengambang) semakin bertambah. Mari kita tumbuhkan kesadaran pemilih dari unit-unit terkecil, literasi politik menjadi jalan terbaik yang perlu kita lewati.

Di atas kertas, bisa saja para tukang survei memprediksi kandidat Capres tertentu akan menang. Tapi, faktanya bisa terbalik. Pengalaman Pilkada dan Pemilu sebelumnya sudah membuktikan itu. Sebab, overall (keseluruhan) apa yang diamati pihak-pihak tertentu nyaris tidak objektif, tidak lagi akurat. Semua menjadi tendensius dan memiliki conflict of interest.

Dalam konteks berdemokrasi kita menyadari suasana kompetisi saling tentu saling mempengaruhi. Tema politik ''melanjutkan'', ''perbaikan'', maupun ''perubahan'' yang diusung tiap kandidat Presiden dan Cawapres akan diuji disaat hari pelaksanaan pemilihan. Apakah rakyat berminat ataukah tidak.

Politik ini soal trust. Walau banyak pengaruh yang membuat kepercayaan terhadap pemimpin itu mengalami kehilangan legitimasi. Misalnya, adanya politik uang dan bagi-bagi Bansos (5 paket Bansos) yang menyedot APBN tahun 2024 mencapai Rp 496 Triliun. BLT, atau Sembako dirapel penyalurannya dipercepat. Ini dikaitkan dengan Pilpres 2024. Tentu akan riskan terjadi deviasi.

Angka Bansos ini bertambah atau naik Rp 20 Triliun, dibandingkan anggaran serupa di APBN 2023 yaitu Rp 476 Triliun. Distribusi Bansos ini tak luput dari perhatian publik. Masyarakat seolah disandera pada ruang berpolitik yang sangat tidak sehat, antara politisasi program dan hak yang seharusnya didapat masyarakat. Inilah adalah model politik vote buying.

Yang perlu disampaikan ke masyarakat juga adalah kerap kali hasil survei dari Lembaga Survei menjadi sekadar instrumen untuk menggiring opini publik. Kalau merefer (merujuk) pada marketing politik, apa yang dilakukan paslon Capres dan timnya hanya bertujuan untuk mengumpulkan elektoral.

Mereka membuat strategi, bahkan ada yang berani dengan program tipu-tipu dan rekayasa yang penting rakyat memilih. Setelah itu, aspirasi rakyat diabaikan. Janji tinggal janji, tak kunjung ditepati. Liat saja ada hal recehan dipertontonkan dalam debat Capres dan Cawapres. Tidak komprehensif yang berbasis pada policy dan decision besar. Malah berkutat pada urusan teknis.

Kita juga mendapati calon pemimpin kita ada yang over thinking (berpikir secara berlebihan) terhadap hal yang bersifat pembaharuan. Seolah-olah alergi dengan transformasi. Itu sebabnya, publik harus dididik agar mengenali dengan baik siapa Capres dan Cawapres yang akan dipilih dalam Pilpres 2024.

Jangan percaya dengan hasil survei. Pilih saja sesuai hati nurani rakyat. Yang utama jangan Golput. Perlu ada distingsi pula bahwa hasil survei yang dipotret Lembaga Survei yakni disaat survei itu dilakukan. Bukan memotret situasi politik setelahnya. Pengetahuan ini penting diketahui publik.

Dari praktek politik yang kita amati, maka diperlukan pihak yang membridging (menjembatani) antara calon pemimpin kita saat ini dengan konstituen. Jangan dibiarkan masyarakat dalam kegamangan. Install atau memasang kesadaran kepada mereka tentang perlunya cermat, selektif dalam memilih pemimpin.

Ketika masyarakat gandrung terhadap kemajuan, biasanya mereka berfikir kritis dan terbuka. Tidak pasrah pada keadaan. Mereka kerap memikirkan nasib akan keturunannya. Memikirkan masa depan dan mau berinisiatif menyiapkan masa depan dengan memilih pemimpin progresif yang menawarkan optimisme.

Masyarakat jangan hanya berkutat dalam pergumulan hidup yang penuh kesedihan. Kita bantu mendorong mereka untuk berfikir dengan jangkauan masa depan, memikirkan 5, 10, 20, 30 tahun mendatang. Tidak berfikir makan hari ini dan besok semata. Ikhtiar semacam ini yang perlu dirintis secara kolektif.

Pada bagian yang lain. Segala momentum politik akan dikapitalisasi. Baik yang akan dilakukan pihak yang meledakkan momentum tersebut atau pihak yang kontra. Antara sesama rival akan saling mengamplifikasi keadaan tertentu. Yang mudah bisa jadi dibuat rumit, dan juga sebaliknya.

Seperti itulah pertarungan politik yang diskenariokan saat ini. Reasoning yang dibangun seakan-akan rebutan kekuasaan dalam politik menjadi sesuatu yang mulia. Dunia seperti hal kekal abadi. Begitu melencengnya. Alhasil, tidak sedikit masyarakat tergiring dalam skema tersebut.

Implikasinya, konflik berkepanjangan bermunculan hanya karena gara-gara politik. Keluarga terpolarisasi. Sesama tetangga tidak harmonis. Rumah tangga juga sampai-sampainya terganggu disebabkan pemikiran politik yang merusak. Situasi yang demikian harus dirubah. Bukan lagi direhab, tapi direposisi.

Dalam setiap Pemilu selalu saja ada orang yang menjadi tumbal. Yang menyediakan dirinya untuk menjadi limbah demokrasi. Kita nantikan saja prediksi para ahli survei dan pengamat politik akan dijungkirbalikkan dengan pilihan rakyat pada tanggal 14 Februari 2024 nantinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun