TAK lama lagi Pemilu 2024 dihelat. Para elit partai politik mulai melakukan simulasi pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden Republik Indonesia. Adu strategi, bongkar pasang skema politik dilakukan. Konstuksi yang hendak dibangun tentunya adalah yang ideal.
Targetannya menang jika membangun koalisi. Secara kasat mata, rakyat juga dihidangkan atau disajikan postur koalisi politik kawin paksa. Kalau peta koalisi saat ini kita baca, terdapat tiga kubu. Koalisi PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Persatuan Pembangunan telah mengusung Ganjar Pranowo.
Koalisi Partai NasDem, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrat telah menandatangani Piagam Kesepakatan untuk mengusung Anies Baswedan sebagai calon Presiden. Di seberang sana, ada partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa yang bersepakat menjagokan Prabowo Subianto.
Circle dan dunia politik itu unik, lagi dinamis. Ada Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, belum menetapkan siapa calon Presiden yang akan diusung. Airlangga Hartarto, Ketua Umum DPP Golkar juga dimandatkan partainya untuk maju sebagai calon Presiden.
Yang terpublikasi dan ramai dibincangkan ialah ada tiga paket kandidat Presiden 2024 nanti. Ganjar, Prabowo, dan Anies. Ketika ada guncangan politik, berupa gempa tektonik maka akan lahir empat kandidat Presiden. Airlangga dan Zulkifli Hasan, sang Ketum Partai Amanat Nasional akan bersatu.
Semua skenario politik akan menjadi alternatif. Bagi para elit politik dibenak mereka yaitu kemenangan dalam pertarungan politik. Kalau dua calon, menguntungkan mereka maka akan dilakukan. Situasi politik sekarang memperlihatkan gerilya ke arah itu. Gejalanya dapat dibaca dan dianalisis.
Bahwa kehendak untuk melahirkan duel Ganjar Vs Prabowo itu sedang dilakukan. Penggodokan yang lahir dari elit politik dan cukong agar Pilpres 2024 cukup satu putaran untuk menghemat anggaran tengah dilakukan. Kalau bisa dua paket, kenapa harus lebih. Begitu logika mereka.
Koalisi kawin paksa pasti dilakukan. Para kandidat tentu tak punya kuasa melawan figur yang disodorkan cukong atau oligarki ke publik. Termasuk partai politik sekalipun, rasanya rumit menolak apa yang dikehendali para pemilik modal. Apalagi hanya sekedar Capres ketika dipaksa berpasangan dengan Cawaspres yang tidak dikehendakinya.
Pasti Capres tersebut takluk dan mengikuti apa perintah cikong dan elit partai politik. Pada titik inilah perkawinan paksa terjadi. Implikasinya, tak lama berjalannya roda pemerintahan potensi bubar terjadi. Saling menggerogoti, disharmoni terjadi antara Presiden dan Wakil Presiden mengemuka.
Arah pembangunan sulit tercapai. Soliditas kepemimpinan terhambat, terganggu karena di awal mulanya koalisi itu dibangun dengan kondisi terpaksa. Dalam konteks demokrasi ini hal lumrah, tak bisa kita komplain. Tapi, secara etis bisa jadi bermasalah. Pendekatan itu sebetulnya tidak layak dilakukan.
Kebanyakan yang kita temukan, jadi semacam buah simalakama, pada sisi lainnya. Dimana kesepakatan politik yang dibuat kian ideal, kerap tak sentuh tanah. Visi besar yang dibangun para calon pemimpin disaat berkompetisi, akhirnya gagal diimplementasikan setelah mereka terpilih dan memimpin.
Beriar Politik
Hadirnya para politisi yang kritis pada kebijakan pemerintah, hal itu tidak boleh dipersepsikan sebagai pihak yang anti perubahan. Fitrahnya para wakil rakyat termasuk adalah berbicara "menggonggong". Mereka adalah replika politik oposan, pikiran-pikirannya anti dengan pemerintah. Dan itu wajar, tidak perlu dimusuhi pemerintah.
Kerja mereka memang untuk berbicara dan memberi kritik pada pemerintah. Problem kita di negara ini yakni melihat rakyat, atau entitas yang memiliki pandangan berbeda dianggapnya sebagai musuh. Mereka distigma macam-macam, ini keliru. Akhirnya dilahirkan beriar politik, bukan pintu dan jembatan.
Kalaupun tak ada gempa elektoral, maka yang lahir adalah koalisi Ganjar-Sandi/Erick Thohir, Prabowo -- Muhaimin Iskandar/Airlangga Hartarto, dan Anies -- AHY/Khofifah Indar Parawansa, probabilitasnya lebih terbuka. Tugas elit politik bukan hanya sekedar menang Pemilu, melainkan menyolidkan rakyat dalam Pemilu.
Jangan membuat pertentangan di tengah-tengah rakyat dengan politik propaganda, dan politik polarisasi. Dalam konteks verbatim, maupun secara verbal yang disampaikan para elit partai politik di republik ini yaitu bagaimana kubu mereka yang menang. Mereka yang terus berkuasa.
Rasanya tidak elok, dan bersifat jangka pendek semata. Mereka sekedar mementingkan diri, pentingkan gerbongnya sendiri. Rencana politik mereka yang beropsesi menenggelamkan kepentingan lawan dianggap sebagai sesuatu hal yang telah ''established''. Rupanya mereka lupa dalam politik tidak sesempit itu.
Lalu lintas politik tidak serupa yang dibayangkan dan diatur satu dua orang saja. Ada banyak kepentingan yang tembuh, bertabur, dan berkeliaran. Itu sulit dikanalisasi dalam satu kepentingan tunggal. Malah bariar politik itu dibuat para elit politik sendiri.
Rakyat akhirnya diposisikan sebagai penonton. Kondisi nyata, situasi yang kita khawatirkan akan mengancam demokrasi harus kita carikan solusinya.Tidak boleh ada tembok dalam politik. Di atas pentas politik semua manusia setara, diperlakukan hormat dan egaliter.
Tidak ada dominasi satu manusia pada manusia yang lain. Begitu juga dalam pentas politik. Namun, faktanya masih saja ada kelas dalam ruang praktek politik di Indonesia. Contohnya saja, ketika elit politik bersekutu dan memutuskan sesuatu yang lainnya hanya bisa mengikuti itu. Tak boleh membantah.
Belum lagi demokrasi kita telah paten dalam mengumpulkan, mewadahi, dan mengakomodir seluruh kontestan yang diajukan partai politik. Tidak ada Capres dan Cawapres yang keluar dari rakyat langsung. Melainkan, harus melalui atau melewati dapur partai politik.
Turbulensi Politik
Politik memang punya rute yang unik. Selalu saja ada benturan yang dilahirkan. Kita punya tools yang namanya demokrasi, namun sayangnya kerap dijadikan sebagai objek memuluskan kepentingan satu dua orang. Demokrasi dipakai orang kuat, mereka yang kaya dan pemilik partai politik.
Dinamika politik kita memang memiriskan ada pihak yang meng-impuls paham impor. Kepentingan asing dimasukkan dalam kontestasi Pilpres. Kebebasan individual rakyat secara tidak langsung dikekang para politisi. Terlebih para elit yang memberi batas rakyat untuk memilih.
Sebut saja dari hulunya, ketika calon pemimpin digodok. Lalu direkomendasikan ke KPU untuk didaftrkan sebagai Capres dan Cawapres, itu ranah partai politik. Hanya partai politik yang berkewenangan, memiliki domain dalam urusan tersebut. Disinilah problemnya.
Kita hanya bisa berdoa agar elit partai politik mengusulkan calon pemimpin terbaik yang dikontestasikan dalam Pilpres 2024. Ketika muncul dua, tiga, atau empat pasangan calon Presiden diusulkan partai politik untuk bersaing dalam Pilpres, maka rakyat tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang ditetapkan partai politik.
Dalam konteks sebab akibat turbulensi politik harus kita cermati darimana datangnya. Bila alurnya tidak ditelisik dan rakyat dibuat bertengkar hanya karena soal Pemilu, ini masalah mendasarnya. Perlu pembenahan serius agar berikutnya guncangan politik tidak terjadi begitu kencangnya.
Yang dampaknya akan mengganggu stabilitas sosial. Keamanan, ekonomi, pendidikan, dan akses kepentingan umum lainnya menjadi tidak berjalan dengan normal. Elit politik mesti sedapat mungkin meminimalisir turbulensi politik yang muncul kedepannya, sejak dini perlu dilakukan.
Tak boleh ruang ini diabaikan. Para politisi menjadi penentunya dalam memajukan negara Indonesia ini. Tidak boleh terus memelihara api dalam sekam, menunjukkan perilaku politik basa-basi tapi di belakang saling menghantam. Jangan lakukan itu lagi.
Harus bangun semangat bersama, jujur, dan saling terbuka. Jangan ada dusta diantara elit partai politik. Semua mereka harus berhati bersih, tulus, punya niat kokoh membangun Indonesia. Memajukan rakyat, membawa rakyat pada kejayaan. Bukan menuntut rakyat menuju jurang kegelapan.