KORUPSI yang mewabah di Indonesia membuat kepercayaan publik terhadap politisi menjadi menurun. Karena sebagian besar para koruptor notabenenya adalah politisi. Indonesia darurat korupsi, terlebih kasus-kasus tersebut mencuat seiring dengan tahun politik.
Teringat apa yang disampaikan Soe Hok Gie, seorang aktivis Indonesia (1942-1969). Menurutnya, makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi. Mari kita flashback tentang keresahan Gie, ternyata benar. Dimana praktek menggadaikan idealisme yang dilakukan pemuda di era pasca reformasi begitu nampak.
Para aktivis pemuda, bahkan mahasiswa marak kita temukan tidak lagi memandang idealisme sebagai sebuah kemewahan. Sebagai barang mahal, tapi direduksi menjadi begitu murah. Idealisme dijadikan nilai tukar tambah politik praktis.
Demi jabatan dan mendapatkan sesuatu generasi muda saat ini tak tanggung-tanggung mengobral murah idealismenya. Ironis, namun seperti itulah faktanya. Bibit-bibit korupsi mulai tertanam sejak menjadi mahasiswa. Tradisi agung melalui baca buku, diskusi, dan menulis mulai surut.
Kebiasaan buruk mengakrabi, dan memulai mencoba hal-hal politik praktis dilakukan. Praktek yang bertolak belakang dengan semangat demokrasi, berbeda jalan dengan semangat moral force. Kondisi tersebutlah yang menghentikan mahasiswa dalam dakwah, dalam jihat kebenaran. Diharapkan menjadi toa dalam menyampaikan suara keluhan dan derita rakyat pada pemerintah. Nyata, mahasiswa, kelompok muda lemas.
Tidak lagi peka. Menjadi apatis dengan kebutuhan rakyat. Yang dipikirkan hanya kepentingan sendiri, komunitas, dan manfaat personal. Titik rendah dalam gerakan kemahasiswaan harus dibangkitkan. Bukan soal tak ada musuh bersama. Melainkan kemauan untuk berfikir kritis, berpihak pada rakyat kecil.
Hal itu harus dilandasi dengan semangat mau belajar. Melawan kooptasi atau hegemoni kaum pemodal. Jangan bermain-main dengan kepentingan pragmatis, politik transaksional. Mahasiswa harus mengalienasi dirinya dari kegiatan-kegiatan serupa karena itu hanya akan menumpulkan daya kritis mahasiswa.
Merosotnya Gerakan Moral
Sadar ataupun tidak, eksistensi gerakan mahasiswa kini telah memudar. Merosotnya gerakan moral yang menjadi alat kontrol sosial, dan berpihak pada rakyat disebabkan berbagai motif. Satu diantaranya karena mahasiswa meninggalkan tradisi suci. Tidak lagi benar-benar memanfaatkan waktu kuliah untuk belajar. Membaca buku, berdiskusi, dan menulis. Lalu semua aktivitas itu direfleksikan melalui aksi.
Harus ada pemantik. Baik dari internal atau eksternal. Agar mahasiswa tidak terninabobokan dan merasa eforia dengan capaian akademisi yang diraih di kampus. Mahasiswa punya tanggungjawab sosial. Tidak boleh mahasiswa mengevakuasi dirinya dari keluh kesah rakyat. Mahasiswa wajib bersama rakyat.
Bangun paradigma kritis untuk mendinamisasi situasi politik yang kian becek. Karena sebelum giliran kepemimpinan tiba kepada kaum aktivis mahasiswa, mereka terlebih dahulu harus menyiapkan diri. Belajar, mengendalikan diri, tidak tergoda dengan bujuk rayu kekuasaan yang membuat mahasiswa menjadi oportunis. Fokus saja belajar, dan bela rakyat yang merasa kepentingannya diabaikan pemerintah.
Ketika mahasiswa bersatu, dan telah punya modal intelektual, maka segala macam transformasi besar akan dengan enteng dilakukannya. Mahasiswa harus menciptakan itu. Regenerasi politik juga tidak ujuk-ujuk, tapi bagaimana disiapkan. Generasi masa depan harus menyiapkan diri. Jangan mau menggunakan proses yang instan. Jangan terbiasa bypass.
Kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Johnny G. Plate begitu viral. Berbagai spekulasi bermunculan, ada yang menyebut ada kaitan eratnya dengan peristiwa politik. Momentumnya beririsan, ada perjumpaan kepentingan, dimana hubungan Ketum NasDem Surya Paloh dengan Presiden Jokowi, dikabarkan retak lantaran NasDem telah mencalonkan Anies Baswedan sebagai Capres untuk Pemilu 2024. Jagat politik sudah pasti bergoyang. Ada pro kontra, ada senang dan ada pula yang sedih.
Ada yang marah dan ada yang tertawa. Saling sandera kepentingan tentu tak lepas dari situasi tersebut. Pada Rabu, 17 Mei 2023, Johnny Plate ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung, hingga tanggal 5 Juni 2023. Politisi partai NasDem itu ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: Prin-21/ F.2/Fd.2/05/2023. Dari pidato Surya Paloh, tergambar bahwa proses supremasi hukum dijunjung tinggi. Surya mendorong agar proses hukum dilakukan secara tuntas dan adil. Tidak diskriminatif, tidak tebang pilih.
Plate diduga terlibat peristiwa tindak pidana korupsi proyek pembangunan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G 1, 2, 3, 4, 5. Belakangan muncul di media sosial dan WAG terkait beberapa nama yang disinyalir menerima uang haram dari aliran dana proyek BTS 4G tersebut. Dana korupsi mengalir ke 3 partai politik, nilainya tidak sedikit yakni senilai Rp 8 triliun.
Untuk diketahui, Kejagung juga telah menetapkan satu lagi tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2020 sampai dengan 2022. Adapun tersangka terkait dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Satu persatu tudingan bermunculan. Senter di jagat maya beredar skema dan semacam mata rantai korupsi BTS menyebut elit politik di 3 partai politik besar yang ada di Indonesia. Sebagian menangkap bahwa hal itu hanyalah gosip politik murahan. Publik berharap Kejagung menuntaskan kasus ini.
Membaca Johnny Plate And the Geng
Secara politik kasus yang menyeret Plate menguntungkan kelompok rivalnya partai NasDem. Tinggal bagaimana elit pimpinan NasDem mengemas prahara, musibah politik ini menjadi kekuatan. Karena bagaimanapun insiden ini akan membekas, dan memukul mundur NasDem yang selama ini memiliki citra anti mahar politik. Kalau membaca gestur politik Surya Paloh, Plate tak mungkin dijadikan tumbal.
Kemungkinan Surya menggunakan cara lain untuk mengevakuasi Plate dan NasDem agar tidak menjadi bulan-bulanan publik. Lihat saja berita soal dugaan keterlibatan beberapa elit partai politik dalam pusaran kasus ini. Tidak gampang memang membuat Surya Paloh kecut. Tentu NasDem juga punya kartu truf. NasDem tak mau mati sia-sia.
Jika ada korupsi berjamaah, maka para pelaku korupsinya harus juga mati berjamaah. Mereka harus sama-sama terseret ke penjara. Itu hitungan yang umum dan paling sederhana. Tentu NasDem punya cara pandang sendiri dalam menerima situasi yang mengguncang mereka saat ini. Sebagian publik juga berharap NasDem mendorong kasus ini agar dibuka secara terang-benderang.
Jangan dibiarkan Plate jadi tumbal dan mati konyol dalam karir politiknya. Begitupun bagi pihak yang bersimpati pada NasDem tak rela partai tersebut diobok-obok dengan tudingan sebagai partai penyokong atau penampung para koruptor. Cerita tentang Plate and the geng tak akan berakhir disini. Ada potensi kasus ini akan membesar, membongkar akar masalahnya dan menyeret mastermind dari kasus tersebut.
Elit partai NasDem, Johnny Plate, termasuk Surya Paloh tahu betul hukum bukankah alat balas dendam politik. Para penegak hukum bukan tukang pukul bagi lawan politik para penguasa di republik ini. Sampai pada bagian itu apakah, sudah tak ada persepsi lain?. Dari satu asumsi ke asumsi lainnya yang berkembang, saling menganulir. Politisi pasti punya insting politik. Kita nantikan saja, sejauhmana Surya Paloh berdiri, perkasa, dan mendorong agar kasus BTS dibuka secara terang-benderang.
Segregasi politik makin kelihatan. Hukum diasumsikan dan dipersepsikan menjadi alat pihak penguasaan untuk menindas lawan-lawan politiknya. Bagi pihak dinilai tidak tertib, mengganggu, maka hukum diarahkan untuk memangkas karir politiknya. Penegakan hukum tidak lagi objektif dan equal. Hukum dijalankan sesuai selera mereka yang super power.
Politik saling libas. Bukan saling rangkul, tapi saling memukul dipertontonkan elit politik. Sekedar obat penghibur hati, mereka yang dilibas akan akan berpegang pada hukum tabur tuai. Bahwa kali ini mereka didzolimi, akan ada waktunya yang mendzolimi terdzolimi.