ADA peribahasa dalam politik there no ain't such thing as a free lunch ''tak ada makan siang gratis''. Bukan sekadar kata-kata, melainkan tercermin dalam prakrek. Buktinya cukup banyak. Untuk konteks politik jelang tahun 2024, kasak-kusuk para elit politik tak bisa dilepas dari balas budi yang dibangun.
Bahkan wujud lainnya, berbentuk balas dendam. Di dalam politik praktis, tak ada yang abadi. Tidak ada yang paten, konstan, permanen, atau statis. Semua berpeluang berubah. Politik memang melahirkan banyak probabilitas atau kemungkinan-kemungkinan.
Berkumpulnya para pakar hukum, dapat melahirkan beragam tafsir hukum dan pendapat. Seperti itu pula dalam praktik politik. Dua atau tiga orang politisi berkumpul untuk melahirkan konsensus politik. Hasilnya, bisa lebih dari tiga, empat, bahkan sepuluh kesimpulan. Ya, semua mengalir sesuai kepentingannya.
Logika politik memang unik. Semua bermuara pada kecenderungan interest. Para politisi sejati tidak pernah mengenal dendam. Mereka juga tak mengenal teman sejati atau musuh abadi. Bagi mereka, teman suatu kelak menjadi musuh. Begitu pula musuh, bisa berbalik badan menjadi teman.
Ruang fleksibilitas dan subjektivitas kental bermain disini. Politik semuanya nampak, penuh hitung-hitungan. Namun, sering kali punya keajaiban sendiri. Kadang kala politik menjadi ghoib. Karena yang dipikirkan, yang dibicarakan, bahkan yang disepakati bisa berubah. Apa yang dikatakan, tidak dijalankan.
Bahkan, porsi paling ekstrimnya, yang dikatakan B contohnya, yang dijalankan adalah antitesa dari B. Oposisi dan koalisi menjadi alat, menjadi tameng bagi waga partai politik. Jika suatu kelak politik yang selalu berkonfrontasi, tiba-tiba berkawan. Alasan paling klise, ialah karena partai politik mereka berkoalisi.
Ketundukan pada perintah partai, dan loyalitas menjadi alibi. Walau begitu, inilah seni berpolitik. Keindahan politik memang terpotret disitu. Dari perbedaan sikap, penyatuan sikap, bahkan pembelahan, sampai mutilasi kepentingan secara fulgar ditunjukkan. Tiba-tiba akan politik, lalu tiba-tiba pula cerai.
Belum selesai masa iddah, diminta rujuk lagi. Atau sudah kawin ''menikah'' dengan partai politk lainnya. Dalam titik tertentu politisi dituntut untuk berperan ganda. Bermuka lebih dari dua. Kemudian, politisi harus punya segudang stok alasan untuk disampaikan ke publik. Sudah pasti rakyat mempertanyakan.
Ada perubahan sikap, bersama, lalu berpisah. Hal kontroversi yang diproduksi politisi juga biasanya mempengaruhi persepsi publik, yang kemudian berdampak pada suara elektoral. Bila ada politisi yang miskin alasan, kekurangan kosakata untuk memberi klarifikasi ke publik saat ditanya. Matilah karirnya.
Pada kondisi tertentu, politisi yang banyak terlibat dan bermain retorika politik juga tidak mendapat tempat di hati rakyat. Sebagai konstituen kita di republik Indonesia lebih memilih politisi yang kurang bicara, atau bicara apa adanya, tapi lebih banyak kerjanya. Dari pada bicaranya melampaui kerja.
Di sisi lain, menjadi tak relevan juga jika politisi gagap, tidak punya kemampuan bicara. Dalam urusan obral janji dari politisi ini juga bahaya, sering kali menjadi jebakan yang menyebabkan politisi tersebut terperosok dan jatuh ke jurang. Situasi keragaman tersebut mengharuskan politisi piawai membacanya. Jangan sampai gamang juga. Politisi perlu keseimbangan baru.
Politik selalu meminta upi, dan juga tumbal. Itulah mudharatnya jika politik tidak diberangi pengetahuan, kemanusiaan, serta moral. Kita hidup di era modern, namun tersandera ''post-truth'' yang penuh hasut dan kebencian. Politik etis terkonversi menjadi barbar. Materi (finansial) dijadikan ukurannya.
Politisi yang benar-benar istiqomah berjuang untuk rakyat dijegal. Lahirlah politisi yang menggunakan atribut-atribut agama sebagai topeng dan jubah mereka. Ruang politik begitu terbuka lebar, memberi ruang pada kelompok sekuler untuk menjalankan ''dakwahnya''.
Mereka menciptakan pemisahan antara politik dan agama. Hasilnya korupsi merajalela. Saling bantai, hasut menghasut dianggap bagian lazim dalam praktek politik. Padahal hal tersebut melahirkan kerentanan konflik. Harusnya dihindari. Dengan alasan apapun, politik saling hasut sangat merusak.
Para Capres dan Cawapres kelak yang bertarung di Pemilu 2024 pasti lahir dari konsesi politik. Yang mana, konsesi itu berisi ''upeti'' dan meminta tumbal. Para pemimpin masa depan di republik ini sudah diikat kakinya sejak menjadi calon pemimpin. Menyedihkan, sekaligus mengerikan bukan.
Sebagian pengamat politik, pakar, dan pegiat demokrasi masih menunjukkan optimismenya bahwa masih ada pemipin yang ''perkasa'' mampu menolak takluk. Pemimpin tersebut diberi ''challege'', setelah terpilih ia harus mampu mengendalikan cukong dan oligarki. Suatu hal yang tidak mudah tentunya.
Dimana-mana pembuat boneka atau perancang robot pasti lebih tahu dan mengenal kekuatan, kelebihan, serta kekurangan produk ''karya'' yang diciptakan tersebut. Sangat sulit rasanya, bahkan mustahil robot yang diciptakan lantas balik menerkam sang perancang atau pembuat robot. Kecuali robot telah diintervensi. Dimodifikasi.
Praktek politik di tanah air memang penuh dengan bau busuk upeti. Contoh paling marak terjadi ialah memilih karena tendensi atau ketertarikan uang. Elit partai politik memberi dukungan surat rekomendasi terhadap calin Kepala Daerah mereka harus menerima setoran terlebih dahulu. Politisi miskin akan sulit menang.
Akhirnya terlahirlah high cost politic ''politik berbiaya tinggi''. Figur pemimpin yang surplus gagasan dan pengalaman sekalipun jika tak punya modal logistik politik akan kalah dalam bertarung di tahun politik 2024 ini. Pengalaman berdemokrasi sebelum-sebelumnya telah membuktikan itu.
Rakyat kita lebih nyaman memilih yang seperti itu. Kalau mau maju daerah dan negara ini, persepsi, kemudian praktek berpolitik yang buruk seperti demikian harus dirubah. Kita butuh perubahan serius dalam tatanan politik. Jangan lagi rakyat dibiasakan dengan politik serba upeti. Rakyat harus diselamatkan.
Tumbal politik biasa dijahit atau diikat disaat tawar-menawar kepentingan di awal. Sejak dini calon pemimpin itu dibebani dengan kompensasi politik. Deal dibangun dengan berbagai alasan. Itulah senyata-nyatanya tumbal politik di era demokrasi. Sedari awal calon pemimpin telah diberi beban.
Manakala kesepakatan pikirin tidak dijalankan setelah menang, lalu politisi tersebut sok tau, pas akan disandera. Ia dikeroyok para pemodal atau pihak-pihak yang berjasa atas kemenangannya tersebut. Bukti atas hal itu sudah banyak kita saksikan di republik Indonesia ini. Umumnya tumbal dari proses demokrasi itu berbentuk investasi.
Eksploitasi sumber daya alam, memuluskan usaha industri, meloloskan atau berkompromi dengan Undang-undang yang menguntungkan pemodal, dan lain sebagainya. Praktek konspirasi kepentingan import yang diselendupkan pada sosok calon pemimpin Indonesia mendatang harus benar-benar dapat disterilkan.