Beberapa kali saya dengar tokoh-tokoh akademisi yang dimintai pemikirannya (diwawancara) di teve-teve membuat pernyataan "seperti Amerika" sebagai bentuk ideal masyarakat. Apakah benar masyarakat Amerika adalah contoh masyarakat ideal bagi Indonesia? Jawaban saya "tidak".
Budaya kita Indonesia memang sudah tergerus dan dirangsek masuk oleh budaya-budaya asing tanpa disaring lagi, terutama budaya Amerika. Apakah budaya Indonesia yang ala Amerika saat ini menjadi suatu yang ideal buat kita, atau sesuatu yang telah lama kita idam-idamkan? Jawaban saya tetap "tidak".
Terbentuknya budaya baru ala Amerika di Indonesia dawali dengan masuknya pemikiran-pemikiran Amerika yang tak disaring dan diamini oleh pemuka-pemuka di Indonesia. Dan pemuka-pemuka (volunteer) tersebut adalah para akademisi yang diimingi dan dihadiahi gelar (kehormatan) dan harta untuk menyerap dan menyebarkan pemikiran-pemikiran ala Amerika ini. Masuknya pemikiran-pemikiran Amerika yang tak cocok dengan nilai-nilai ideal (luhur) Indonesia ini tak terbendung lewat Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial yang mencakup antara lain Politik, Ekonomi, Sosiologi, Psikologi, Hukum. Semakin banyak lulusan IPS di dunia ini, semakin rusak pemikiran manusia dan oleh sebab itu semakin rusak peradaban.
Amerika menggunakan "charm", daya tarik teknologi (IPA) untuk memasukkan paham-paham sosialnya (IPS) yang menyiratkan nilai-nilai sekuler (melulu keduniawian) yaitu memisahkan nilai-nilai baik-buruk dari kehidupan bermasyarakat (antar manusia) yang kemudian hanya ditentukan oleh "apa saja keduniaan yang harus kudapatkan dihidup ini" yang mereka kemas dalam istilah-istilah yang tampak manis seperti "successful", "high achieving", "search of excellence", "hard working", "charismatic", "influential", "high leadership" atau semacamnya.
Kita ambil contoh ekonomi. Istilah ekonomi sendiri baru dikenal di Indonesia tahun 1970-an. Sebelumnya digunakan istilah Perdagangan dan mata ajaran yang diajarkan disekolah-sekolah bukan Ekonomi tetapi Hitung Dagang. "Ilmu ekonomi" yang diajarkan disekolah-sekolah (makro ekonomi dan mikro ekonomi) berpaham kapitalisme dan itulah yang diterapkan dan disebarluaskan oleh para lulusan ekonomi. Sedangkan pilihan lain dari sistem ekonomi adalah sosialisme yang juga merupakan pikiran Barat ekstrim yang tak cocok dengan apa yang dianggap nilai luhur Indonesia, walaupun tampak baik dengan istilah "gotong royong" dan "koperasi".
Sebenarnya bukan bentuk struktur apakah korporasi atau koperasi yang jadi inti masalah, tetapi nilai-nilai dibaliknya. Sebaiknya kembalikan saja istilah ekonomi menjadi niaga (sosio-enjiniring) misalnya. Rombak total IPS yang jelas merusak itu dan ganti dengan sosio-IPA (merupakan sub dari pembelajaran tentang alam/lingkungan).
Ilmu niaga (yang menggantikan ilmu ekonomi) sebaiknya menekankan pada barang-barang yang beredar baik dalam bentuk barang maupun bentuk representasinya (uang dan media perjanjian lain), bukan hanya uang seperti dalam ilmu ekonomi. Jadi aktivitas niaga tidaklah melulu tentang "mencari/mengumpulkan uang", tetapi saling menukar kreasi/karya-karya atau barang-barang yang dibutuhkan. Jadi dagang pada dasarnya menukar, baik menukar barang secara langsung (barter) atau melalui perantaraan uang (transaksi).
Penerapan Ilmu Niaga diharapkan memberikan gambaran yang lebih kena sasaran dibandingkan Ilmu Ekonomi yang banyak menyesatkan itu. Misalnya, jika Indonesia menggenjot kerajinan tangan sebagai karya untuk dipertukarkan dengan barang-barang elektronik dan barang-barang yang memerlukan pengetahuan IPA yang tinggi seperti satelit, telekomunikasi, pembangkit-pembangkit tenaga listrik hasil karya masyarakat asing, seberapa besar kerajinan tangan yang perlu disediakan oleh masyarakat Indonesia? Dan jika dibutuhkan kerajinan tangan dalam volume besar-besaran agar dapat menukarnya dengan barang-barang berbasis teknologi tinggi (IPA), dari mana asal bahan-bahan mentah yang mereka butuhkan jika tidak dari alam yang berarti ikut mengeksploitasi alam?
Contoh lain: Minyak sawit yang diekspor besar-besaran keluar untuk mengejar uang (sesuai doktrin ekonomi) menyebabkan suplai minyak sawit dalam negeri berkurang. Ilmu ekonomi yang tak menekankan pada barang-barang yang beredar tak menjelaskan ini.
Contoh lain: Pasar modal yang telah beralih fungsi menjadi short capital gain market ini sebenarnya berbahaya bagi sektor ril. Jika ilmu ekonomi hanya melihat akumulasi uang sebagai pengejawantahan ilmu ekonomi, justru perniagaan suatu masyarakat akan terganggu. Misalnya, pedagang sektor informal yang didoktrin untuk "mengejar uang" akan kewalahan karena uang justru tersedot ke sektor non-ril.
Contoh lain: Sesuai dengan prinsip mereka tentang Mekanisme Pasar, jelaslah harga-harga akan merangkak naik jika permintaan digenjot naik yang mereka sebut pertumbuhan ekonomi, sedangkan suplai dari alam tak mungkin dapat digenjot habis-habisan yang berarti mengarah kepada kepunahan (bukan kelangkaan). Jelaslah kebutuhan (permintaan akan) energi akan naik dan berarti harga-harga akan naik untuk yang mereka sebut pertumbuhan ekonomi. Dan menurut mekanisme pasar yang mereka anut, dengan naiknya permintaan agar mendukung pertumbuhan ekonomi sedangkan suplainya relatif tetap maka harga yang tinggi akan menjadi alat seleksi permintaan-permintaan mana yang dapat dipenuhi atau yang mereka sebut kompetisi. Karena harga tinggi hanya bisa dilunasi oleh mereka yang berpendapatan tinggi (lebih kaya) maka tentu saja permintaan mereka yang kaya saja yang terpenuhi. Itulah pengejawantahan mekanisme pasar yang mereka anut tentang pendistribusian.
Saya anggap, "ilmu" ekonomi ini tak hanya membuat tingkat depresi tinggi di negara-negara Barat sendiri dan penyebab bunuh diri tinggi di negara-negara Asia Timur, tetapi juga membuat susah masyarakat umum di Indonesia yang kesulitan dalam mengikuti "aturan main" yang ditentukan sekolah-sekolah tinggi dengan para akademisi dan lulusannya itu. Atau dengan kata lain, "ilmu" ekonomi yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi itu berbahaya, cepat atau lambat. Negara-negara yang katanya majupun saat ini sudah terlihat gelagatnya kesulitan dalam mengikuti "ilmu" ekonomi. Jadi tak berlebihan jika dikatakan "semakin banyak lulusan IPS, semakin hancur peradaban". Tinggalkan IPS yang buruk itu dan buat lagi yang baru dengan pemikiran-pemikiran yang tak hanya Barat tetapi dari Timur seperti Indonesiapun perlu berani berpikir mandiri dan memberikan kontribusi.
IPA
Saat tanah Arab menguasai IPA, maka saat itu disebut zaman keemasan Arab. Demikian pula, negara-negara Barat (bule) dengan penguasaan IPA nya pada saat ini, dikatakan era ini adalah era mereka. Saat ini negara-negara yang disebut "berkembang" (meliputi Asia, Afrika, Amerika Latin atau non bule) punya persamaan, yaitu pengetahuan akan alam atau penguasaan IPA nya sangat lemah.
Jika kita lihat dari segi pertukaran atau niaga, masyarakat Indonesia membutuhkan transportasi, alat-alat telekomunikasi, gajet-gajet, pembangkit listrik, satelit dan lain-lain yang tak dapat dibuat sendiri oleh masyarakat Indoensia dan oleh sebab itu perlu bertukar dengan orang-orang asing yang dapat menyediakan barang-barang tersebut. Ditukar dengan apakah barang-barang berbasis IPA tinggi itu? Saat ini karya-karya asing berbasis IPA tinggi ini ditukar terutama dengan bahan-bahan mentah yang "kebetulan" ada di bumi Indonesia dan hutang yang menumpuk. Tak heran jika terjadi kerusakan alam karena eksploitasi bahan-bahan mentah dalam negeri untuk barang-barang berbasis IPA produksi luar negeri (asing) ini dan hutang yang tak lunas.
Sayangnya, mungkin memang dikondisikan "negara-negara berkembang" tak menguasai IPA dengan baik agar ketergantungan terhadap Barat akan langgeng. Mungkin memang dikondisikan IPA hanya diartikan sebagai "makan sekolahan" atau "gelar-gelar kesarjanaan" untuk berbangga-bangga daripada pengetahuan dan keahlian itu sendiri untuk berkarya dan melayani. Atau IPA dikondisikan agar dianggap "makanan orang pintar" agar tak menjadi budaya (masyarakat umum yang rata-rata). Atau IPA dikondisikan agar dianggap momok sehingga lebih dihindari daripada didekati untuk dipelajari. Atau IPA dikondisikan sebagai pelajaran tentang rumus-rumus (hasil pemikiran Barat) dan bagaimana menggunakan rumus-rumus diatas kertas daripada menerapkannya pada dunia nyata. Atau IPA dikondisikan agar dianggap sebagai "kelaki-lakian" agar tak menjadi budaya (masyarakat umum, laki-laki dan wanita).
Sebaiknya anggapan-anggapan yang menjauhkan manusia dari IPA diabaikan saja. Dengan mulai membudayakan pencaritahuan akan IPA diharapkan akan mengarah kepada masyarakat berbudaya IPA yang artinya masyarakat yang menguasai pengetahuan tentang alam yang memadai, mulai dari pengetahuan tentang hal-hal kecil sampai berkelanjutan. Yang jelas, IPA letaknya bukan dimenara gading, tetapi selalu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari manusia. Misalnya, peredaran malam dan siang, tubuh manusia, bangunan, air, udara, makanan, bahan-bahan mentah, hp, komputer, transportasi, bahan bakar, pengolahan bahan-bahan termasuk bahan-bahan bekas, dan semua hal di sekitar kita adalah IPA.