Ada banyak pendapat, sudut pandang terhadap perbaikan pendidikan. Antara lain;
1. Guru dan/atau orangtua yang jadi kambing hitam morat-maritnya pendidikan.
2. Pemerintah yang tak memberikan pendidikan kepada banyak anak-anak bangsa.
3. Pemerintah yang menyusun kurikulum tak konsisten. Ganti pemerintahan, ganti kurikulum.
"Kedudukan", "wewenang" atau tahta sebagai guru, sebagai pemerintah dianggap oleh mereka sebagai penentu. Tapi saya tak berpikir begitu. Pendidikan adalah proses pembelajaran, jadi tak hanya bentuk formal (terstruktur) saja yang dapat dianggap sebagai pendidikan. Bukan hanya kelas-kelas, sekolah-sekolah saja yang dianggap sebagai sumber pembelajaran. Justru mungkin malah sebaliknya. Siswa yang belajar tentang alam di dalam kelas dan mendapat nilai bagus dalam pengujian, belum tentu tahu apa yang dihadapinya ketika berhadapan dengan alam itu sendiri diluar kelas. Aneh, jika hanya kelas-kelas, gedung-gedung dan akhirnya gelar-gelar itulah yang dianggap sebagai pendidikan.
Indikasi adanya kesalahan dalam mengartikan pendidikan adalah dengan membudayanya keangkuhan (yang dianggap wajar) dengan semakin bergelar, bertitelnya seseorang atau semakin dianggap berpendidikannya seseorang. Atau, pendidikan model beginilah justru yang membudayakan keangkuhan. Contoh lain, mengartikan pendidikan sebagai mesin uang, alat pengangkat status sosial dan lain-lain yang bukan ilmu itu sendiri menjadikan pendidikan digunakan sebagai alat pemosisian status manusia terhadap manusia lain (siapa lebih tinggi dari siapa). Contoh lain, adanya kecenderungan kalangan pendidikan yang "risih" terhadap kritik, masukan terutama dari mereka yang dianggapnya lebih rendah pengetahuannya.
Pendidikan dan Ilmu-Ilmu
Dasar dari pendidikan adalah ILMU-ILMU. Jika ilmu yang diajarkan menyimpang, maka pendidikan menjadi tak berguna. Dalam keadaan demikian, semakin bergelar seseorang dengan ilmu yang menyimpang, maka akan semakin rusaklah alam pikirannya, walaupun mungkin tak disadari oleh masyarakat dan dirinya sendiri. Rusaknya peradaban dan alam dikarenakan adanya ILMU-ILMU yang menyimpang.
Saranku;
1. Dalam era sekulerisme (ekstrim keduniawian) saat ini yang masuk lewat ilmu-ilmu dalam pendidikan, para akademisi, guru-guru, para lulusan sebaiknya siap menghadapi kritik dari masyarakat walaupun diantaranya tak bergelar tapi punya daya nalar yang sama sebagai manusia, kritik yang diharapkan menjadi sumber masukan untuk perbaikan terlepas dari gaya penyampaiannya.
2. Merevisi ilmu-ilmu secara berkala, terutama ilmu-ilmu sosial. Gelar tak menentukan ilmu, karena ilmu bersifat alami dan bukan diciptakan oleh manusia. Ilmu adalah cara pikir berdasarkan konsensus antar manusia pada suatu waktu tentang alam, tentang hidup. Ilmu-ilmu yang diharapkan adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada kebaikan-kebaikan hakiki (yang diharapkan mendekatkan manusia kepada Penciptanya). Jika ilmu-ilmunya menyimpang justru gelar menjadi bumerang. Oleh sebab itu lebih baik jika ilmu-ilmu direvisi secara periodik untuk mencari konsensus baru yang diharapkan mendekatkan kepada kebaikan-kebaikan hakiki (bukan seolah-olah baik tapi ternyata tidak atau kedok). Prinsip-prinsip, standar-standar yang dipatok dalam ilmu-ilmu yang diajarkan perlu direvisi terutama jika dianggap baik tapi ternyata setelah dianalisa lebih lanjut menjadi terbukalah borok-boroknya. Jadi, pendidikan semestinya tidaklah berhubungan dengan gelar, mencetak status, kedudukan, tapi ilmu-ilmu yang bagaimana yang menguasai kepala/akal seseorang.