Pakar otak kanan sering menganjurkan orang dewasa yang ingin sukses hidupnya untuk berdekat-dekat dengan anak kecil. Usut punya usut, Si Kecil sedang besar-besarnya porsi otak kanannya berfungsi. Maka jadilah saya bak seorang periset dadakan mengamati Si Kecil buah hati kami, Azza yang berusia 15 bulan.
Senja itu ia tengah riang bermain dengan ayahnya. Saking semangatnya berlari, kakinya saling terbelit hingga ia terjatuh yang menyebabkan sudut bibirnya menyenggol ujung dipan kayu. Hal itu mengakibatkan ujung mulutnya berdarah. Tak kuasa menahan sakit, Si Kecil pun mulai menangis kencang seperti berteriak.
Jadilah saya dan ayah Si Kecil repot menenangkannya. Jurus yang kami pakai adalah jurus mengalihkan perhatian dan memberikan pengertian. Jurus andalan yang selalu ampuh dan cocok untuk anak kami tatkala ia rewel.
“ sayang… sayang… Tuh, ada bintang, dek “ bujuk Sang Ayah mengalihkan perhatiannya.
Akupun memeluk dan menggendong Si Kecil sambil berkata : “ sayang, sakit ya. Mana yang sakit? Sini bunda sembuhin. Bismillahirrohmanirrohim. Fffffuaaaaaahhh……. Sembuh! “ Kataku sembari meniup-niup dan mengelusnya. Iapun tampak menjadi tenang.
Lalu ajaib. Setelah sekian lama menangis tadi, begitu Si Kecil berhenti menangis, sontak ia kembali ceria seolah lupa pernah merasakan sakit. Si Kecil menjadi amnesia tercepat terhadap rasa sakit yang tadi menghampirinya. Begitu sederhana. Cukup beberapa menit saja bagi Si Kecil untuk berdamai dengan sakitnya.
Mari bandingkan dengan kita, orang dewasa yang diakui lebih bijaksana karena cukup lama makan asam garam kehidupan dibanding anak kecil. Kalau orang dewasa, yang namanya dengan makhluk bernama “sakit hati”. Jangankan beberapa menit, terkadang kita butuh berjam-jam, berhari-hari, bermingu-minggu, bertahun-tahun untuk melupakannya. Malahan sering rasa sakit hati itu terus diingatnya sampai mati.