Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Di Balik Seragam Korpri

6 Maret 2012   05:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:27 529 0
Banyak orang tua di negeri ini yang mengimpikan dan bangga jikalau anaknya bisa menjadi pegawai pemerintah. Tampak gagah memakai baju dinas, banyak lambang di pundaknya, dapat pensiun pula. Antusias masyarakat terhadap pekerjaan ini juga tak kalah luar biasa. Bandingkan berapa jumlah pendaftar CPNS dengan pelamar kerja BUMN yang konon karyawannya bergaji selangit. Animo menjadi PNS jauh mengalahkan pekerjaan di bidang lain.

Hal itu dipicu pula oleh pola pikir masyarakat kita yang meninggikan status sosial mereka yang berseragam Korpri. Saking agungnya, minimal saat rapat RT, Sang PNS pasti jadi kandidat favorit yang diajukan dan dipilih warganya.

Namun tak dapat dipungkiri, penyandang batik Korpri kerapkali mendapat stigma negatif lantaran perilaku oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Gemar korupsi, lamban bekerja, hobi selingkuh atau cerai hingga rentan terserang 9 penyakit pegawai pemerintah. Kesepuluh penyakit tersebut adalah Tipus (tidak punya selera/passion), Mual (mutu amat lemah), Kudis (kurang disiplin), Asma (asal masuk kerja), Kusta (kurang strategi), TBC (tidak bisa komputer), Kram (kurang trampil), Lesu (lemah sumber daya manusia) dan Ginjal (gaji ingin naik kerja lamban).

Andrea Hirata (2010) dalam novelnya “Cinta Di Dalam Gelas” dengan gaya khasnya mengkritik tanpa menjadi sarkastik, bertutur :

Mereka yang takaran gula,kopi dan susunya proporsional umumnya adalah pegawai kantoran yang bekerja rutin dan berirama hidup itu-itu saja. Takaran gulanya dua sendok. Mereka tak lain pria ‘do-re-mi’, dan mereka telah kawin dengan seseorang bernama bosan. Kelompok anti perubahan ini melingkupi diri dengan selimut dan tidur nyenyak di dalam zona yang nyaman. Proporsi gula, kopi dan susu itu mencerminkan kepribadian mereka yang sungkan mengambil risiko. Tanpa mereka sadari, kenyamanan itu membuat waktu, detik demi detik, menelikung mereka.

Pada suatu Jumat pagi, mereka berangkat kerja berpakaian olahraga. Usai senam kesegaran jasmani, ada upacara kecil penyerahan surat keputusan pensiun.


Itulah SKJ-nya yang terakhir.


Itulah hari dinasnya yang terakhir.


Tamatlah riwayatnya.


Sering kutemui, orang seperti itu mengatakan hal begini di warung kopi. “Aih, rasanya baru kemarin awak masuk kerja” Kemarin itu adalah 30 tahun yang lalu.


“Tahu-tahu sudah pensiun awak, ni?”


Dia memesan kopi dengan takaran yang sama seperti pesanannya pada kakekku-di warung yang sama-30 tahun yang lalu. Wajahnya sembab karena tahu waktu telah melewatinya begitu saja. Masa mewah bergelimang waktu dan kemudaan telah menguap darinya, dan ia sadar tak pernah berbuat apa-apa. Tak pernah menjadi imam di masjid. Tak pernah naik mimbar untuk menyampaikan paling tidak satu ayat, sesuai perintah Ilahi. Tak pernah membebaskan satu jiwa anak yatim dari kesusahan.

Duduklah ia di pojok sana menghirup kopi dua sendok gula yang menyedihkan itu. Kaum ini disebut para safety player.

Gambaran di atas telah memperpanjang daftar buruk sekaligus PR bagi PNS. Akankah kita rela membiarkan nasib kualitas pegawai pemerintah yang kian memprihatinkan? Fenomena-fenomena negatif tersebut pas dilukiskan dengan pepatah karena nila setitik, rusak susu sebelanga, karena ulah oknum, citra PNS menjadi tercoreng. Padahal tak sedikit pula PNS yang berjiwa muda, dinamis, kreatif dan jujur di abad ‘profesionalisme’ ini.

Pertaruhan nama baik PNS sama halnya dengan pertandingan kehidupan. Ada sebagian mereka, yang menang sebelum bertanding. Ada sebagian lain, yang kalah sebelum bertanding. Kedua keputusan itu, akan menentukan PNS macam apa yang mereka ingin dunia ini melihat mereka. Nasehat standar untuk orang kalah adalah bahwa kalah adalah biasa dalam pertandingan; bahwa kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Padahal sebenarnya, kekalahan adalah kebodohan yang dipelihara. Lalu tanyakan pada para PNS, apakah mereka mau melanjutkan pertandingan untuk menebus kekalahan mereka?

Budaya Kerja

Membangun budaya kerja ‘profesional’ di kalangan safety player sama halnya dengan melubangi batu dengan tetesan air. Nampak sulit karena mindset ‘profesional atau tidak, toh gajinya sama’ masih kuat mengakar di benak mereka. Namun hal itu menjadi bukan sesuatu yang mustahil terwujud apabila dilakukan secara masif, kontinu dan konsisten. Insya Allah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun