Terkait dengan apa yang dinyatakan oleh Wakil Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama tentang Posyandu sebagai salah satu solusi permasalahan Gizi Buruk dalam http://ahok.org/berita/news/btp-akui-masih-banyak-kekurangan-posyandu/ juga di http://news.detik.com/read/2013/02/26/232531/2180584/10/deteksi-gizi-buruk-ahok-minta-posyandu-kembali-galakan-timbang-bayi , maka saya sebagai salah satu penggiat Posyandu di Jawa Barat pun tertarik untuk menulis tentang Posyandu.
Di Link yang saya sertakan di atas, dapat dibaca pernyataan Wakil Gubernur DKI, bahwa yang paling penting dalam penanggulangan gizi buruk balita adalah RT/RW dan posyandu setempat. Tidak salah, apa yang beliau sampaikan. Hanya saja, berbicara masalah posyandu, ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan, yakni aktifitas ibu-ibu PKK RT/RW yang melakukan penimbangan bayi semata tanpa terkaitnya unsur-unsur masyarakat dan pemerintah.
Posyandu, awalnya merupakan kebijakan Departemen Kesehatan RI tahun 1975 untuk membentuk Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD), yang kemudian berkembang menjadi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)pada tahun 1984, seiring dengan dikeluarkannya Instruksi bersama antara menteri Kesehatan, Kepala BKKBN, dan Menteri Dalam Negeri.
Kegiatan Posyandu yang awalnya hanya be rkisar pada perbaikan gizi, kemudian diarahkan untuk cakupan yang lebih luas lagi, yakni mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi yang sesuai dengan konsep GOBI-3F (Growth Monitoring, Oral Rehidration, BreastFeeding, Imunization, Female Education, Family Planning, dan Food Suplementation) yang kemudian diterjemahkan dalam 5 Kegiatan Pokok Posyandu, yakni : Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), Iminusasi, Gizi dan Penanggulangan Diare.
Realita di lapangan memberikan gambaran kepada kita bahwa saat ini posyandu belum bisa berjalan secara optimal. Sebenarnya, ketidakoptimalan peran posyandu disebabkan oleh setidaknya tiga hal, yakni :
1.KEMAMPUAN KADER YANG MASIH SANGAT TERBATAS
Kader Posyandu adalah masyarakat sekitar yang memiliki kepedulian dan mau terjun langsung mengelola keposyanduan, diantaranya adalah penimbangan, pencatatan, penyuluhan/konseling, kunjungan dan lain-lain. Tentu dibutuhkan kemampuan yang lebih bagi para kader sehingga masyarakat yang terlayani benar-benar bisa merasakan fungsi posyandu pada diri dan keluarganya. Jangan salah, sekedar menimbang dan mencatat pertumbuhan Balita pun, tidak sesederhana yang kita bayangkan. Ada beberapa kaidah yang harus dipahami oleh para kader.
Untuk itu, diperlukan pelatihan yang berkala bagi para kader ini, sehingga kapabiltas mereka juga selalu terupgrade mengikuti kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
2.KURANGNYA DUKUNGAN LINTAS SEKTORAL
Di Jawa Barat, Kader Posyandu merupakan kader PKK, namun secara kelembagaan ia berada di bawah Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) yang dalam prakteknya, berada dalam pembinaan Dinas Kesehatan, BKKBN, Dinas Pendidikan dan beberapa Dinas yang lain, yang antara daerah satu dengan daerah yang lainnya bisa saja tidak sama.
Maka, keberhasilan program-program posyandu juga sangat tergantung pada kepedulian Dinas-dinas yang terkait, yang ujungnya adalah tergantung pada kebijakan para pemegang kekuasaan di daerah posyandu tersebut berada.
Posyandu yang memiliki nilai strategis dalam upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat ternyata pendanaannya berasal dari swadaya masyarakat. Maka, jika menginginkan posyandu bisa lebih berkembang, pemerintah daerah harus lebih peduli pada ketercukupan dana operasional posyandu tersebut. Untuk itu, janganlah ‘pelit’ mengalokasikan sekian persen dana APBD bagi optimalnya peran posyandu, syukur-syukur jika kesejahteraan para kadernya juga diperhatikan.
Intinya, ketika berharap posyandu bisa memberikan kontribusi terbaiknya bagi pembangunan bangsa, khususnya di bidang kesehatan, maka dukungan yang sinergis dari lintas sektoral perlu digalakkan.
3.KURANGNYA APRESIASI DAN KEPEDULIAN DARI MASYARAKAT
Mengapa demikian ?
Posyandu identik dengan kegiatan ibu-ibu rumahtangga, dengan kwalitas kader yang masih banyak orang mempertanyakannya. Sebagian masyarakat yang kurang memahami fungsi Posyandu, hanya melihat aktifitas penimbangan bayi dan pemberian PMT (Makanan Tambahan) dalam kegiatan Posyandu. Maka, mereka merasa bahwa menimbang anak di rumah, mendeteksi tumbuh kembang anak melalui Dokter Spesialis Anak, imunisasi di praktek-praktek dokter merupakan langkah yang terbaik yang mereka berikan bagi anak-anak mereka.
Bahwa Posyandu merupakan pusat pelayanan holistik-integratif sekaligus menjadi sumber data dan informasi tentang kondisi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat setempat, rupanya sebagian masyarakat kurang memahaminya.
Nah, .. ketika Pejabat Pemerintah seperti Wakil Gubernur DKI telah melihat fungsi Posyandu yang ternyata sedemikian strategisnya, maka ke depan saya berharap ada semacam –GERAKAN PEDULI POSYANDU- yang tentu perlu prakarsa dari pejabat yang berwenang. Akan berbeda jika kepedulian ini disampaikan oleh Pejabat, gaungnya tentu akan lebih bergema. Karena, soal semangat kader posyandu, … sepanjang yang saya ketahui, mereka sangat luar biasa. Meski gaji mereka –diistilahkan- SAJUTA (sabar, jujur jeung tawakkal – sabar, jujur dan tawakkal), tapi tetap dengan wajah berseri, tiap bulan dengan setia akan menunggu para ibu-ibu mengantarkan anak-anak balitanya untuk ditimbang.
Saya berharap, suatu hari nanti dengan kesungguhan pihak terkait, dukungan lintas sektoral yang semakin sinergis, dan pembinaan yang berkelanjutan terhadap kader, maka posyandu akan berkembang menjadi mesin kebaikan yang menjadi salah satu daya ungkit bagi kemajuan pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Semoga.