Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bu Sil, Pileg Nanti Kita Demokrat Aja, Nih?

15 Januari 2014   15:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48 109 4
Nebeng teman pulang sekolah tadi, sepercik asa muncul di sela kerisauan hati.

Suami dari teman yang kutebengi, Kang Toyo tanya, "Bu Sil, pileg nanti kita Demokrat aja nih?" Tentu saja kujawab "iya dong!" mantap. Kalau kita mau Abah Dahlan Iskan naik ke RI 1 kita harus memilih Dahlan Iskan. Kujelaskan lagi untuk kesekian kali kebaikan Abah kita itu. Dan betapa sebetulnya Partai Demokrat adalah partai yang mau bersih-bersih, sementara yang lain malah melindungi kadernya yang terlibat korupsi.

Pertanyaan Kang Toyo seakan menjawab kerisauanku. Seakan melihat secercah cahaya matahari di balik gulungan awan Cumulonimbus (filem UP).
Selama ini aku melihat, membaca dan mendengar publik kelihatannya seperti menghindari Partai Demokrat.

Banyak yang bilang Dahlan Iskan Yes, Demokrat No.

Masih keukeuh dengan pertanyaan (atau pernyataan) kenapa tidak lewat independen saja? Sudah dijelaskan berulang kali, pilpres lewat independen tidak ada dari sananya. Sudah dijegal sejak UUD 1945 amandemen.

Kata Wikipedia: "Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya."

Jadi apa boleh buat, kalau mau nyapres ya tidak ada jalan lain selain lewat parpol.

Ada lagi pertanyaan, kenapa musti demokrat yang sedang terlibat partai yang korup?
Sudah dibilang berulang-ulang di banyak media, kalau Dahlan Iskan tidak melamar ke parpol. Tidak ada yang melamarnya untuk jadi capres. Dilamar Partai Demokratpun dia masih jual mahal.

Dia mengajukan 3 syarat, yang meliputi: Syarat pertama adalah popularitas dan elektabilitasnya cukup potensial untuk berkompetisi dengan calon lain yang ada. Syarat kedua adalah dia mendapat restu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan syarat ketiga adalah tokoh lain yang menurutnya lebih pintar, lebih kaya dan lebih muda dari dia, tidak ikut konvensi.

Setelah ketiga syarat itu terpenuhi barulah Dahlan bersedia masuk konvensi. Sebelum ini kami, Dahlanis, bagaikan kucing melompat-lompat, mengikuti tuannya yang bawa ikan. Entah itu ikan buat makanan kucing atau buat makan siang tuannya, belum jelas. Dengan melihat prestasi Dahlan Iskan yang bertubi-tubi, sikap Dahlan Iskan yang begitu merakyat, kami menghayal, indahnya jika Dahlan Iskan menjadi Presiden RI ke tujuh.

Partai Demokratpun bukan partai yang paling korup. Iya, Korup memang. Tapi posisinya nomer 3. Padahal dia partai penguasa. Bandingkan dengan PDIP yang peringkat 2 padahal dia oposisi. Apalagi kalau penguasa ya. Golkar apalagi. Dahlan Iskan secara bergurau, bilang, kalau orang Demokrat baru belajar korupsi, jadi kurang pintar menutupi hasil korupsinya. Iya ya. Golkar dan PDIP kelihatannya lebih bisa menutupi hasil korupsinya. Tapi bau bangkainya tercium juga oleh KPK. Malah menempati peringkat 1 dan 2.

Kembali ke Kang Toyo. Dia menjelaskan alasannya. Di antaranya dia masih senang dan simpatik dengan SBY. Dia tidak rela melihat SBY dihina-dina di pers, di media, oleh orang demo, oleh mahasiswa. Dia bisa melihat perbedaan sebelum dan sesudah SBY yang memang lebih baik, menurutnya. Belum tentu Indonesia akan seperti ini jika kemarin dan sekarang Indonesia tidak dipimpin SBY.

Hal ini juga mengingatkan percakapanku di hari yang lain dengan tukang ojeg langganan sambil dibonceng. Mereka tidak rela melihat SBY dikuyo-kuyo, seperti kepada orang yang paling tidak berguna di dunia. Bahkan para tukang ojeg yang baca koran tiap hari di loper langgananku itu bisa menilai mana pendapat 'para ahli' yang benar, yang asbun - asal bunyi, atau yang punya tendensi tertentu.

Aku bernafas lega, bener kata Abah Dahlan Iskan, di daerah SBY masih dielu-elukan. Aku yakin orang seperti Kang Toyo ini masih banyak di Indonesia. Masih banyak yang mencintai SBY. Masih banyak yang berharap pada Demokrat. Masih banyak orang berfikir seperti tukang ojek langgananku itu.

Dengan demikian rasanya tugas kita sebagai Dahlanis agak lebih ringan. Bukan berarti terus kita berpangku tangan. Tapi setidaknya karena kita ternyata tidak sendirian. Masih ada orang yang gampang kita ajak untuk 'kembali ke jalan yang benar'.

Apalagi sekarang Dahlan Iskan sudah siap terjun lebih dalam untuk menaikkan elektabilitas Partai Demokrat. Seperti kata beliau, "Anas adalah masa lalu Demokrat, Saya adalah bagian dari masa kini". Masyarakat yang terombang ambing akan kembali ke jalan yang benar. Melihat Partai Demokrat si nomer tujuh yang baru. Yang besar. Yang ada Dahlan Iskannya. Yang bersih. Kan yang berkasus sudah ditangkapi dan dipenjara. Semoga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun