Tahun ini serbuan filem bagus dimulai dari Captain Phillips, si Om Tom Hanks yang makin ganteng justru setelah masuk paruh baya. Dan beberapa filem lainnya yang terlewatkan karena banyak alasan, kesibukan dan lain-lain.
Bulan Desember ini banyak filem nasional yang nangkring di bioskop. Asyiiikk... filem Indonesia bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri... prok prok prok.. Dimulai dari 99 Cahaya di Langit Eropa, Sukarno, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Edensor. Buat yang suka masih ada filem Slannk.
99 Cahaya bagus sih, Raline Syah cantik sekali dibalut busana muslimah. Juga Dewi Sandra yang anggun dan modern dengan hijabnya. Keduanya membuat Acha Septriasa jadi terlihat kumuh dan kumal... hihi maaf.. :) Mungkin karena cuma Acha yang asli Indonesia, sementara dua yang lainnya berdarah campuran. Ah sudahlah biar.
Yang membuat merasa rugi dengan filem 99 ini adalah ujungnya bersambung. Itu sudah.
Kebagusan di awal-awal begitu ketemu bersambung langsung kecele.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck baru nih. Cakep banget!!
Herjunot Ali yang tampil begitu menawan. Aktingnya luar biasa. Terutama akting menangisnya, membuat saya ingin datang kembali menonton filem itu. Dialog-dialog panjang saat mencurahkan dendamnya kepada Hayati membuat saya merasa dimarahi oleh mantan pacar (hahaha lebay!! ^_^)
Pevita Pearce yang pernah main di filem Lost in Love dengan dialog nya yang kekanak2an bilang "Banjur" ganti sapaan "Bonjour" Bahasa Perancis, di sini dipaksa menjadi dewasa. Kalau dibanding dengan Lost in Love itu jauh deh. Meski adegan menangisnya belum keluar air mata, seperti Herjunot Ali.
Pemandangan Sumatra Barat jaman 1930an asli benar, seperti kampung saya di Klaten tahun 70an. Kecuali bagian jalan pematang yang dibeton. Kamera dinaikkan sedikit saja, asal jangan kelihatan betonnya, pas lah.
Sepanjang filem saya terus berpegangan bahwa ini adalah diambil dari fiksi. Agak2 fantasia sedikit saya maklumkan. Pakaian Hadijah dan Hayati setelah jadi orang kaya saya ragu apa benar itu sesuai dengan jamannya. Tapi tak apa. Mungkin saya akan tanya2 Mbah Gugel tentang hal ini. Giliran pesta dansa itu saya pikir berlebihan. Terlalu 2000an. Mungkin saya terlalu kuat berpegangan pada novel itu tahun 1930an.
Adegan tenggelamnya kapal sebetulnya sudah bagus. Hanya karena sudah melihat Titanic berkali-kali, mau tak mau ya kita membandingkan keduanya. Tentu saja kalah. Seperti Timnas melawan MU. Seperti anak SD cerdas cermat dengan anak SMA. JAdi untuk ukuran filem nasional itu sudah bagus. Semoga kelak bisa lebih bagus lagi, membuat perahu jangan kelihatan seperti perahu2an di kolam.
Filem Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini berkesan sekali bagi saya. Merem kelihatan, melek terasa. Diajak nonton lagi saya mau. Tapi pingin ditraktir. Karena besok tanggal 24 saya mau nonton Edensor. :D Tapi bersambung? Wah?!