Catatan: Ini adalah kata pengantar buku the power of appreciative inquiry yang diterbitkan oleh B-first (Mizan Grup) pada awal 2007. Selamat menikmati! If you can dream it, you can do it. –Walt Disney Mengapa Gandhi dapat menggerakkan rakyat India? Mengapa Sukarno dapat menggerakkan rakyat Indonesia? Mengapa Martin Luther King didengarkan dan diikuti oleh jutaan orang? Ada banyak penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti mereka adalah manusia pilihan tuhan atau kharisma mereka yang besar. Tetapi, ada persamaan yang jelas diantara mereka, yakni hadir dengan membawa inspirasi kepada masyarakatnya. Dengan kekuatan kata-kata, mereka menyentuh hati, menggugah kesadaran, dan memberi pencerahan kepada orang-orang disekitarnya. Dengan kekuatan kata-kata, mereka mewujudkan apa yang tidak mungkin menjadi suatu kenyataan. Bahkan, jauh setelah meninggal, kisah mereka tetap menjadi inspirasi bagi ribuan bahkan jutaan orang, mencerahkan mereka yang tenggelam dan tak berdaya dalam kekelaman kehidupan. Inspirasi mereka telah menjadi kekuatan pengubah dunia. Bukan karena rasionalitas dibalik inspirasi tersebut, tetapi inspirasi itu menyentuh hati, emosi, dan jiwa orang-orang yang mendengarkannya. Inspirasi tentang sebuah visi kehidupan atau image masa depan disampaikan, digambarkan, dan diterangkan melalui cerita, melalui kata-kata. Jadilah cerita inspiratif yang menumbuhkan semangat dan harapan akan kehidupan masa depan yang diimpikan. Pidato Sukarno yang berkobar-kobar membakar ketertundukan jiwa rakyat Indonesia. Pidato Martin Luther King tentang impiannya membuka kesadaran pendengarnya tentang adanya kemungkinan kehidupan yang jauh lebih baik. Kata-kata Gandhi melahirkan kesabaran yang luar biasa pada pengikutnya untuk menerima pukulan fisik pasukan Inggris tanpa sama sekali membalas. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah kata-kata dan kisah inspiratif orang besar tersebut merupakan mantra yang mempunyai daya magis? Banyak penelitian psikologi yang menunjukkan bahwa kata-kata memang mempunyai kekuatan yang luar biasa, sekalipun itu kata-kata orang biasa. Kata bukanlah sekedar penjelasan terhadap suatu realitas, tetapi pembentuk realitas itu sendiri. Makna dibentuk dalam percakapan. Realitas diciptakan dalam komunikasi. Guru yang meyakini dan mengatakan murid-muridnya sebagai orang yang bodoh dan malas maka akan benar-benar mendapatkan nilai hasil belajar muridnya yang buruk. Orang tua yang terus menerus menyatakan anaknya sebagai anak nakal maka begitu pula jadinya kemudian. Pasang surut sebuah kebudayaan dibentuk oleh percakapan diantara anggota budaya tersebut. Percakapan yang positif dan antusias akan menciptakan budaya yang penuh dengan vitalitas. Percakapan yang pesimis dan sinis akan membentuk suatu budaya yang dekaden dan menuju ambang kematiannya. Coba ingat, kapan terakhir kali bangsa Indonesia dipenuhi oleh percakapan yang positif dan antusias? Kata dan kisah yang inspiratif telah lama menghilang dari percakapan bangsa ini. Kita lebih suka menunggu datangnya sebuah jawaban, menanti sebuah kisah besar. Jawaban yang memuaskan keingintahuan kita. Kisah besar yang “menghibur” kita. Alih-alih berbicara tentang perubahan, kita lebih memilih pasif mengikuti orang-orang besar yang dilahirkan untuk melakukan perubahan. Sayangnya, orang besar biasanya adalah mahluk langka, sangat jarang ada. Pilihan bagi kita adalah terus menunggu atau melakukan pencarian kisah-kisah inspiratif dari orang-orang biasa. Tunggu dulu. Apakah mungkin orang biasa mempunyai kisah inspiratif? Setiap manusia pada dasarnya merupakan sumber inspirasi dan pembelajaran yang tidak pernah ada habisnya. Setiap dari kita mempunyai kisah-kisah menarik yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kita lebih kuat menyimpan kisah-kisah tersebut dalam ingatan, melebihi hal yang lainnya. Lihatlah bagaimana buku Chichen Soup beserta serialnya laris manis dibeli masyarakat. Atau yang terbaru, buku Chocolate diserbu pembaca. Padahal isi kedua buku tersebut bukanlah resep sukses dari pakar, bukanlah kisah seorang tokoh besar. Kedua buku itu memuat cerita ribuan kisah inspiratif dari orang-orang biasa. Kisah inspiratif orang biasa dalam kedua buku tersebut tetaplah mempunyai daya magis yang dapat menyentuh sisi emosi dan menggugah kesadaran manusia. Tidak sedikit pembaca yang trenyuh bahkan menangis membaca kisah-kisah itu dan selanjutnya menimbulkan semangat yang luar biasa. Mereka yang tertekan akan terbebaskan dari beban kehidupan. Mereka yang putus asa menemukan kembali cahaya harapan. Mereka kembali bersemangat menjalani hidup, giat kembali dalam bekerja. Tetapi buku semacam itu sesungguhnya masih menempatkan kita, para pembaca, sebagai pihak yang pasif, menunggu adanya kisah inspiratif orang biasa yang disajikan untuk mereka. Padahal apabila kisah orang biasa bisa begitu inspiratif, maka sebenarnya banyak kisah-kisah inspiratif di sekitar kita, kisah inspiratif dari orang-orang disekeliling kita. *** Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana cara kita mendapatkan kisah inspiratif dari orang-orang disekeliling kita? Bagaimana cara menjadikan kisah inspiratif sebagai sumber energi perubahan dunia? Pertama, kita harus apresiatif terhadap kehidupan manusia. Apresiatif berarti menghargai, memberi nilai tambah, mengambil pelajaran. Praktek apresiatif akan membuat kita menjadi mahluk yang menghargai segala sesuatunya, termasuk menghargai hal-hal kecil disekeliling kita. Prinsip apresiatif ini sudah sangat langka di dunia kita yang didominasi oleh wacana defisit. Dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih sering memandang sisi negatif, sisi lemah dan kekurangan dari orang lain. Coba saja, apa yang kita perbincangkan mengenai pemimpin kita? Apa yang kita perbincangkan mengenai rekan kerja kita? Apa yang kita perbincangkan tentang Indonesia? Apa yang dibicarakan dalam rapat? Apa yang kita bicarakan dengan suami/isteri kita? Sisi positif atau sisi negatif? Kekuatan atau kelemahan? Kebaikan atau keburukan? Impian masa depan atau persoalan? Sangat wajar apabila kita menjawab sisi negatif, kelemahan, keburukan atau persoalan. Luar biasa dan sangat langka apabila kita menjawab sisi positif, kekuatan, kebaikan dan impian masa depan. Wacana defisit ini pun sudah merasuk dalam dunia keilmuan kita. Dalam manajemen, semua orang pasti paham benar dengan konsep problem solving. Identifikasi masalah. Identifikasi penyebab. Analisis solusi. Tentukan solusi dan implementasikan. Pembahasan yang diawali dengan identifikasi masalah pasti akan mendapatkan masalah dan selalu masalah. Program dan langkah yang diambil seringkali terjebak pada perbaikan demi perbaikan, dari persoalan yang satu ke persoalan yang lain. Bahkan, seorang direktur pernah mengatakan, “kalau pegawai melakukan sesuatu yang positif kan sudah seharusnya tidak perlu diperhatikan. Pegawai yang melakukan sesuatu yang negatiflah yang harus disorot”. Ilmu psikologi selama puluhan tahun pun tenggelam dalam penyelidikan-penyelidikan terhadap kasus penyimpangan negatif. Pada tahun 1998, Dr. Martin Seligman, presiden American Psychological Association, meninjau kembali seluruh penelitian yang dilakukan organisasinya. Hasil sangat luar biasa. Dari tahun 1970 sampai 2000, ada 45.000 penelitian tentang depresi, psikosis, dan berbagai bentuk penyakit mental lainnya. Selama jenjang waktu yang sama hanya ada 300 penelitian yang dilakukan mengenai topik yang berkaitan dengan kesenangan, kesehatan mental, dan kesejahteraan manusia. Seligman sendiri tidak menduga akan menemukan hasil yang demikian. Penelitian psikologi begitu terfokus pada penyakit dan patologi. Dia menyimpulkan bahwa bidang psikologi telah menyimpang jauh dari tujuan awalnya-untuk mendefinisikan apa yang terbaik bagi manusia-untuk menyembuhkan penyakit, dan untuk membantu orang-orang hidup lebih baik, hidup lebih bahagia. Apa dampaknya bagi psikologi? Para psikolog terlalu terfokus pada pendefinisian “penyakit-penyakit baru” yang diidap manusia. Para psikolog kemudian miskin pengetahuan mengenai cara menuju bahagia, karena lebih tekun mencari cara menyembuhkan penyakit. Dalam kedokteran dan ilmu pengobatan, wacana defisit diusung oleh dunia barat yang berseberangan dengan wacana positif yang diyakini oleh dunia timur. Perbedaan wacana ini tercermin dari istilah yang digunakan yaitu “medicine” versus “healing”. Medicine yang berati mengobati atau menyembuhkan tentu sangat berlawanan dengan pengertian menyehatkan dari healing. Dengan pengobatan, fokus utama kita adalah terhadap penyakit dan dengan sendirinya mengurangi perhatian terhadap manusia secara menyeluruh. Sementara, wacana penyehatan, yang seringkali dimarginalisasi dengan sebutan pengobatan alternatif, justru lebih terfokus pada manusia dan upaya-upaya untuk menyehatkan manusia agar tahan menghadapi penyakit. Dalam dunia pertanian, peptisida dan pupuk organik yang disarankan oleh para pakar bukannya semakin meningkatkan kualitas tanah dan pertanian tetapi justru membuat tanah dan pertanian semakin rusak, tergantung dari formula yang satu ke formula yang lain. Alih-alih menciptakan pertanian yang sehat, upaya menyelesaikan suatu penyakit melalui penggunaan zat kimia justru melahirkan penyakit-penyakit baru karena adanya resistensi dan kreativitas mahluk hidup yang disebut sebagai penyakit oleh manusia. Tak heran kemudian saat ini banyak petani yang kembali melakukan dan mengembangkan pertanian organik. Apa dampak penggunaan paradigma defisit dalam kehidupan kita? Berdasarkan hasil rangkuman beberapa tulisan dan refleksi pengalaman pribadi, ada beberapa kesimpulan tentang dampak dari wacana defisit ini, yaitu:
- Menimbulkan rasa sakit karena orang dipaksa untuk mengingat kembali kesalahan di masa lalu
- Melahirkan sikap defensif seperti saling tuding, lempar tanggung jawab dan mencari kambing hitam
- Membuat orang tidak percaya diri untuk melakukan tindakan positif, karena apapun tindakannya akan dilihat sisi kelemahan dan kekurangannya
- Jarang melahirkan visi baru karena hanya terfokus pada kenyataan, jarang merefleksikan tujuannya
- Seringkali upaya menyelesaikan persoalan tidak pernah benar-benar menyelesaikan, hanya memindahkan persoalan atau justru menimbulkan persoalan baru
KEMBALI KE ARTIKEL