Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Nelson Mandela dan Konflik PSSI

26 Maret 2012   06:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:28 624 0
Bertahun-tahun olahraga Rugbi menjadi milik warga kulit putih yang ada di Afrika Selatan. Sedangkan warga kulit hitam, yang merupakan masyarakat kelas dua di negeri ini lebih memilih olahraga sepak bola.

Namun di tangan Nelson Mandela, perbedaan ini tak berlaku lagi. Sadar akan potensi Rugbi yang cukup besar di negaranya, Mandela memilih olahraga ini sebagai alat pemersatu bagi warga kulit putih dan kulit hitam.

Kejadian ini terekam jelas dalam sebuah buku karya seorang wartawan, John Carlin yang berjudul 'Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game That Changed a Nation'. Kisah ini juga diangkat ke layar lebar dengan judul "Invictus" yang dibintangi oleh Morgan Freeman dan Matt Damon.

Saat itu, Morgan baru saja terpilih sebagai presiden Afrika Selatan. Sebelumnya Mandela sempat mendekam di penjara selama 27 tahun akibat perjuangannya melawan sistem aparteid yang dianut negaranya selama puluhan tahun. Dia dijebloskan ke balik terali besi atas dakwaan terlibat serangkaian aksi sabotase.

Terpilihnya Mandela tentu menjadi kemenangan bagi kaum kulit hitam yang telah tertindas selama puluhan tahun. Sebaliknya, bagi warga kulit putih, munculnya Mandela sebagai presiden dianggap sebagai ancaman. Keresahan warga kulit putih akan munculnya politik balas dendam membuat suasana di Afsel rentan mengalami perpecahan lagi.

Namun Mandela cukup jeli melihat situasi ini. Selain harus berhadapan dengan masalah pengangguran dan tingginya angka kriminalitas, Mandela juga berusaha keras untuk menjaga perpecahan tidak terjadi lagi di Afsel.

Nah, saat mengetahui Afsel terpilih sebagai tuan rumah kejuaraan dunia rugbi, Mandela langsung menemui komite olahraga Afsel yang pengurusnya sudah didominasi oleh warga kulit hitam. Dalam sebuah pertemuan, Mandela meminta agar mereka mengutus tim Springboks mewakili Afsel pada kejuaraan itu.

Springboks selama ini identik dengan warga kulit putih. Apalagi mayoritas pemainnya merupakan warga kulit putih. Begitu juga sang kapten, Francois Pienaar yang diperankan oleh Matt Damon adalah warga kulit putih.

Awalnya banyak yang menentang usul Mandela. Mereka ragu, Rugbi bakal mampu mempererat persatuan di Afsel. Namun Mandela tetap pada pendiriannya dan meminta semua warganya mendukung perjuangan Springboks di kejuaraan dunia itu.

Mandela juga menyakinkan kapten tim, Francois Pienaar bahwa kemenangan Springboks pada kejuaraan ini akan menggugah semangat persatuan di Afrika Selatan. Mandela tak lupa menitipkan sebuah puisi berjudul 'Invictus' kepada Pienaar. Puisi yang dibacakan di akhir kejuaraan ini, merupakan puisi yang telah mengilhami Mandela saat masih di penjara.

Upaya Mandela membuahkan hasil. Springboks berhasil keluar sebagai juara dunia usai mengalahkan Selandia Baru di final. Yang mengagumkan, selama pertandingan, Springboks mendapat dukungan dari warga kulit hitam dan kulit putih. Di akhir pertandingan, Mandela juga terlihat mengenakan jersey dan topi Springboks.

"Mandela telah menghabiskan 30 tahun di dalam sel sempit ini dan dia keluar siap untuk mengampuni orang-orang yang menempatkan dia di sana," kata Pienaar saat mengunjungi lokasi penjara Mandela.

Sayang kisah 'Invictus' ini sepertinya tidak berlaku bagi PSSI di bawah kendali Djohar Arifin Husin. Rezim baru yang terbentuk melalui Kongres Luar Biasa (KLB) di Solo itu lebih mengadopsi 'The Winners Take All."

Setelah sukses menumbangkan rezmi Nurdin Halid yang berkuasa selama delapan tahun, Djohar justru fokus pada bersih-bersih produk rezim lama.
Api dendam justru lebih dominan dalam mendasari setiap keputusan Djohar dan pengurusnya dalam menentukan setiap kebijakan.

Di bawah kendali pengusaha Arifin Panigoro, rezim Djohar berusaha menyingkirikan apapun yang merupakan warisan dari pengurus lama. Mulai dari program, format kompetisi, lembaga, hingga beragam kebijakan yang dihasilkan oleh kepengurusan sebelumnya.

Baru beberapa hari setelah terpilih lewat Kongres Luar Biasa (KLB) Solo, PSSI langsung memecat pelatih timnas Alfred Riedl yang dianggap sebagai prodak rezim lama. PSSI beralasan bahwa pelatih asal Austria itu hanya menandatangani kontrak kerja secara personal dengan wakil ketua umum PSSI, Nirwan Bakrie.PSSI juga memilih untuk tidak mengakui hasil Kongres Tahunan PSSI yang digelar di Bali, Januari lalu.

Format kompetisi juga dirombak. Bila sebelumnya kompetisi level tertinggi diikuti oleh 18 tim, PSSI era Djohar berniat menambah enam tim gratisan.Langkah ini mendapat protes keras dari anggota-anggota PSSI. Bahkan beberapa orang yang sebelumnya merupakan pendukung setia Djohar kini berbalik dan memilih untuk berseberangan.Kondisi semakin tidak terkendali saat Djohar semakin untuk bertangan besi dalam menjalankan roda organisasi PSSI. Dengan bertameng kepada instruksi FIFA, PSSI mulai mengumbar sanksi.

Empat anggota komite eksekutif yang dipilih lewat KLB Solo dicopot dari jabatannya. Tonny Apriliani, Erwin Budiawan, Robertho Rouw, dan La Nyalla Mattalitti yang kerap memprotes kebijakan Djohar cs dipecat lewat majelis etik.

Resistensi terhadap kebijakan Djohar pun semakin meluas. Sebagian besar klub-klub yang berlaga di ISL memilih untuk menghidupkan kembali pengelola liga PT Liga Indonesia yang sebelumnya telah dibekukan PSSI.

Mereka menolak untuk tampil di Indonesian Premier League (IPL) yang dikelola PT Liga Prima Indonesia Sportindo (PT LPIS) yang telah dibentuk PSSI menggantikan PT Liga Indonesia. Situasi semakin tidak terkendali saat PSSI kemudian melarang pemain-pemain yang berlaga di ISL untuk membela timnas.

PSSI beralasan bahwa mereka hanya mengikuti instruksi FIFA setelah langkah rekonsiliasi yang ditawarkan kepada klub gagal total.Pelatih timnas U-23, Rahmad Darmawan memilih mengundurkan diri karena kebijakan ini. Selain merasa gagal mempersembahkan emas bagi Indonesia pada SEA Games 2011 lalu, Rahmad merasa tidak nyaman dengan kebijakan PSSI menganaktirikan pemain-pemain ISL.

"Sebagai pelatih akan sulit bagi saya untuk memilih pemain terbaik bila PSSI melarang pemain ISL masuk timnas," katanya.

Sikap PSSI akhirnya berbuah petaka. Indonesia yang diperkuat oleh pemain-pemain dari IPL dibantai Bahrain 10-0 pada laga pamungkas penyisihan Grup E Pra Piala Dunia (PPD) 2014, Februari lalu.Ini merupakan sejarah kelam timnas Indonesia setelah 38 tahun terakhir. Tak hanya itu, laga ini juga sedang diselidiki FIFA karena dianggap tidak lazim mengingat skor pertemuan Indonesia dan Bahrain tidak pernah seperti ini. FIFA perlu melakukan investigasi, karena dalam duel ini Bahrain butuh kemenangan besar untuk melaju ke babak selanjutnya meski akhirnya gagal karena di laga lain, Qatar berhasil menahan imbang pimpinan grup Iran 2-2

Kebencian terhadap kepengurusan Djohar semakin meluas saat salah seorang pemain Malaysia, Safee Sali yang bermain di ISL masih bisa membela negaranya saat beruji coba melawan Filipina di hari yang sama saat Indonesia kalah 0-10 dari Bahrain.

Pemerintah juga geram akibat kekalahan ini. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar PSSI segera menyelesaikan konflik yang melanda sepak bola Indonesia. SBY juga meminta agar PSSI lebih mendengarkan suara rakyat Indonesia.

PSSI kembali berkelit. Djohar dalam sebuah acara jumpa pers justru menuding wasit sebagai biang keladi kekalahan memalukan timnas. PSSI bahkan terkesan berlindung di balik investigasi FIFA dan juga menuding pihak-pihak yang berseberangan lah yang membuat situasi menjadi kacau.

Sanksi pun diumbar. Sebanyak 32 klub dan 25 pengurus Provinsi dibekukan. Mereka juga dicoret peserta Kongres Tahunan yang akan digelar PSSI di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

PSSI sempat bernafas lega saat timnas U-21 lolos ke final Turnamen Sultan Hassanal Bolkiah. Pengurus yang berada di Jakarta pun menggelar acara nonton bareng untuk menyambut kemenangan Garuda Muda yang akan berhadapan lawan Brunei Darussalam.

Harapan untuk memenangkan laga cukup besar. Pasalnya selama ini Brunei kerap tak berkutik saat menghadapi Indonesia. Sayang di final BHT tersebut, Andik Vermansyah justru kalah 0-2. Kekalahan ini semakin membuat posisi PSSI Djohar terpojok.

PSSI akhirnya membuka jalur rekonsiliasi. Namun upaya ini dijalankan setengah hati. Bahkan belakangan, PSSI menuding Komite Olahraga Nasional Indonesia ( KONI) yang memediasi PSSI dan lawan-lawannya justru berat sebelah.

Sebaliknya kubu lawan yang tergabung dalam Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) menganggap agenda rekonsiliasi sudah terlambat. Komite yang dibentuk oleh anggota-anggota PSSI ini memilih untuk menggelar KLB dan membentuk PSSI tandingan di bawah komando La Nyalla Mattalitti.

Di lain pihak, PSSI juga menggelar Kongres Tahunan di Palangkaraya, Kalteng. Kongres yang dihadiri oleh pengusaha Arifin Panigoro ini mengeluarkan 14 keputusan, di mana salah satu poinnya adalah mengakui kompetisi ISL dengan lima persyaratan yang mustahil diikuti klub-klub yang selama ini memilih berseberangan.

Konflik kini semakin meruncing. KPSI telah melaporkan PSSI ke Badan Arbitrase Olahraga Dunia (CAS). Sedangkan KONI menganjurkan agar perselisihan diselesaikan di Badan Arbitrase Olahraga Republik Indonesia (BAORI), namun ditolak oleh PSSI.

Konflik PSSI juga dibahas di Rapat Exco AFC yang berlangsung beberapa hari lalu. Begitu juga dengan FIFA yang sebelumnya telah memberi tenggat waktu hingga 22 Maret 2012 kepada PSSI untuk menyelesaikan dualisme kompetisi yang melanda Indonesia. Bila dianggap gagal, maka Indonesia berpotensi mendapat sanksi FIFA. Situasi yang tak perlu terjadi seandainya Djohar dan pengurusnya mengambil langkah yang sama dengan Mandela dalam menjalankan program dan membuat kebijakannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun