Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Berkelit di Celah Sempit

5 Juli 2011   12:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:55 225 0

Suara pukulan martil berderu, berkali-kali, trak-trak-trak. Lantas, gesekan gergaji dan dentingan paku juga bersahutan, membuat telinga terasa ngilu. Beberapa pekerja sibuk mengangkat sak semen dan mengaduk adonan pasir. Itulah suasana kantor majalah Mangle di Jalan Lodaya, Kota Bandung, Senin (23/11). “Kita sedang melakukan renovasi kantor,” ujar seorang pria berperawakan kecil. Dialah Oedjang Daradjatoen, sang komodor Mangle yang sudah memimpin Mangle selama 23 tahun.

Oedjang lantas mengajak saya ke ruangannya. Sebuah ruangan yang tidak terlalu istimewa. Di sana tampak tiga buah sofa berwarna hitam, bersih seperti baru. Meja besar yang terletak di sudut ruangan menampung beberapa eksemplar surat kabar dan alat tulis kantor. Sementara di bagian atas, tergantung sebuah pendingin udara, kusam, kontras dengan dinding berwarna putih yang baru dicat. Paradoks itu pula yang barangkali ada pada diri Mangle, sebuah majalah berbahasa Sunda beroplah empat ribu, sementara jumlah orang Sunda sendiri diperkirakan mencapai 27 Juta orang.

***

Oedjang lahir di Bogor pada 14 Juli 1950, tujuh tahun sebelum orang tuanya, R. H. Oeton Mochtar dan R.H.E Rohamina Sudarmika mendirikan Mangle. Ayahnya pegawai jawatan kehutanan sementara Ibunya guru sekolah rakyat. Saat kecil, tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk meneruskan Ayah dan Ibunya di Mangle. “Cita-cita saya jadi dokter, tapi gagal karena nilai kimia saya jelek,” terangnya sembari tersenyum.

Atas saran kakak iparnya, Ir. Sukanda Kartasasmita –yang juga salah satu pendiri Mangle, Oedjang akhirnya kuliah di Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran (sekarang Fakultas Ilmu Komunikasi). Meski gagal kuliah di fakultas kedokteran, Oedjang malah senang kuliah di Fakultas Publisistik. “Saya dapet beasiswa penelusuran minat dan bakat lho,” ujarnya dengan terkekeh.

Di kampus, Oedjang cukup aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Oedjang aktif di redaksiGempa, sebuah media yang diterbitkan Universitas Padjadjaran. Ia juga aktif di Dewan Mahasiswa Unpad dan Senat Mahasiswa Fakultas Publisistik. Tapi Oedjang tidak seperti mahasiswa pituin Sunda lain yang umumnya aktif di Organisasi Daya Mahasiswa Sunda. “Tapi saya kenal semua pentolan-pentolan Damas,” ungkapnya.

Oedjang mengaku, selama sekolah, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dirinya tidak pernah diproyeksikan untuk meneruskan kepemimpinan ayah dan ibunya di Mangle. “Pas kuliah saya mau bantu-bantu juga dilarang, saya harus selesaikan dulu sekolah,” terangnnya. Barulah setelah lulus dari Fakultas Publisistik tahun 1980, Oedjang  dititahkan meneruskan tampuk pimpinan di Mangle. “Kamu kan udah lulus, udah sarjana, sekarang teruskan usaha ini (Mangle),” tutur Oedjang menirukan wejangan ibunya.

Setelah lulus Oedjang tidak serta merta duduk di kursi nomor satu, ia diharuskan magang sebagai wakil pemimpin redaksi selama lima tahun, dari 1980 hingga 1985. Sebuah loncatan yang luar biasa, darifresh graduate langsung menjadi wakil pimpinan redaksi. “Ibu yang merekomendasikan saya untuk magang sebagai wapimred,” katanya.

Setahun kemudian, barulah Oedjang menjadi pemimpin redaksi. Hal pertama yang ia benahi adalah tampilan majalah Mangle yang menurutnya amburadul. “Fotonnya orang jadul (zaman dulu) semua, gak menarik,” katanya sembari berkelakar. Melihat kondisi itulah, Oedjang mulai menggeluti fotografi sampai akhirnya menjadi hobi. “Saya sampai hunting foto ke Majalengka, Tasikmalaya, Jawa Barat lah,” katanya dengan nada meyakinkan.

Jatuh bangun

Di medio 1960an, Mangle pernah mencapai masa kejayaannya. Saat itu oplah Mangle pernah mencapai 90 ribu eksemplar. Namun, seiring perkembangan zaman, oplah Mangle mengalami tren penurunan. Menurut Oedjang, maraknya media elektronik seperti radio dan televise membuat pembaca Mangle lari. “Iklan juga pada lari ke radio dan televise karena lebih efisien,” ujarnya getir.

Saat Oedjang menjadi pemimpin redaksi oplah Mangle berada di titik nadir, hanya lima ribu eksemplar. Lantas Oedjang memutar otak bagaimana caranya untuk menggenjot penjualan. Hal yang Oedjang lakukan adalah melakukan pendekatan terhadap orang-orang Sunda Inohong di ibukota, seperti mantan menteri pertahanan dan panglima abri,Eddi Sudradjat.

Oedjang memanfaatkan kedekatan emosional tersebut dalam bentuk order berlangganan Mangle. Ia menjelaskan, kepada setiap tokoh Sunda Inohong, ia manawarkan berlangganan Mangle dalam kurun waktu tertentu. “Jadi pak Edi bayarin biaya langganan Mangle untuk 50 orang waktu itu,” tuturnya. Dari trik tersebut, oplah Mangle sempat naik hingga 10 ribu eksemplar.

Namun, peningkatan oplah Mangle tersebut tidak bertahan lama. Strategi yang mulai dibangun pada 1990-an itu runtuh ketika badai krisis moneter mulai melanda Indonesia. Oplah Mangle langsung turun drastis. Hal ini selain disebabkan kolapsnya perekonomian nasional, juga disebabkan perubahan struktur kelembagaan. Dinas peneranagan misalnya, instansi yang cukup loyal berlangganan Mangle, dibubarkan di era pemerintahan Abdurahman Wahid. Imbasnya, oplah Mangle kini hanya berkisar di angka 4000-5000 eksemplar.

Kendala

Sejak pertama kali memimpin Mangle, Oedjang akrab dengan kendala. Ia mengakui, media berbahasa daerah adalah bisnis yang tidak menguntungkan secara materi. Suami Hj Ratu Heriastuti ini mengungkapkan, kendala sumber daya manusia dan keuangan selalu menghantui eksistensi Mangle. “Kalo media nasional kan banyak tuh SDM-nya, nah kalo bahasa daerah apa banyak juga,” tuturnya.

Selain itu, lanjut Oedjang, penutur bahasa Sunda juga semakin  sedikit, terutama pengajar. Ia mengakui, menjadi guru bahasa daerah tidak menjanjikan. Ia melihat mahasiswa-mahasiswa sastra Unpad atau pendidikan bahasa Sunda di UPI  enggan  jadi reporter atau penulis Sunda. Oedjang sendiri memaklumi, honorarium kepada penulis bahasa Sunda terbilang kecil.“Kita baru mampu menggaji penulis paling tinggi 1 – 1,5 juta per bulan,” ujarnya dengan nada prihatin

Secara normatif, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memang telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 5 tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara Sunda. Kurikulum pendidikan juga sudah disusun untuk mengakomodasi kewajiban yang tercantum dalam perda tersebut.

Oedjang berpendapat, intervensi pemerintah lewat perda dan kurikulum pendidikan tidak berdampak secara signifikan terhadap pelestarian bahasa Sunda. “Orang kampung aja kan sekarang ngomongnya gue-elo,” katanya.

Oedjang sangat prihatin jika melihat kondisi bahasa Sunda saat ini. Ia sangat miris, secara jumlah, etnis Sunda adalah etnis kedua terbesar setelah Jawa. Tapi perlahan tapi pasti, bahasa ibunya sendiri sudah mulai ditinggalkan. Oedjang punya asumsi sendiri, menurutnya, orang Sunda terlalu adaptif terhadap nilai-nilai luar.

Ia hanya berharap, bahasa Sunda tidak punah. Ia yakin, selama masih ada suku bangsanya, bahasanya pun masih tetap ada. Ia sendiri sadar, bahasa daerah menjadi bahasa kedua setelah bahasa nasional. “Bahasa daerah itu turut memperkaya bahasa nasional kok,” terangnya.

Ada anggapan, bahasa Sunda sulit dipelajari dan diaktualisasikan karena adanya undak-unduk basa atau tingkatan bahasa. “Jadi gak masalah pake bahasa kasar juga, gak masalah, yang penting berani ngomong bahasa Sunda,” tegasnya. Oedjang sependapat dengan Ajip Rosidi bahwa bahasa Sunda tidak mengenal tingkatan bahasa. Ia manambahkan, Undak-unduk basa muncul karena pengaruh Jawa. Secara tegas Oedjang mengatakan, Orang muda sekarang harus berani menggunakan bahasa Sunda sebagai identitas diri karena siapa lagi yang akan menggunakan basa Sunda selain orang Sunda itu sendiri.

Regenerasi

Kritikus Sastra Sunda, Hawe Setiawan menilai ada  beberapa tantangan bagi Mangle dan majalah Sunda lainnya, yakni, regenerasi pengelola, pemeliharaan dan pengembangan bahasa, juga pengadaptasian sajian dengan perkembangan zaman.

Menurut mantan pemimpin redaksi majalah Cupumanik ini, Mangle sedang menghadapi perubahan mendasar, khususnya dalam hal pengelolaannya.”Saya kira Mangle lebih lepas dari pengelolaan manajemen keluarga, ” ungkapnya. Meski begitu, Hawe menilai Mangle cukup konsisten karena bisa bertahan hingga lebih dari setengah abad.

Hal senada juga diungkapkan oleh Aceng Abdullah,Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ini mengatakan, meski  mutu cetak dan kertasnya turun drastis,  tapi Oedjang Darodjatoen  tetap konsisten dengan kemangleannya dalam menghadapi  segala rintangan yang ada. Aceng sendiri rutin membaca Mangle di medio 1982 – 1985. Menurutnya, saat itu kondisi Mangle sedang bagus, mutu cetak dan kertasnya lux. “Isinya juga menurut saya berkualitas,” tuturnya.

Tak hanya orang luar Mangle yang salut akan konsistensi Oedjang dalam memimpin Mangle. Karno Kartadibrata juga memberikan penilaian serupa dengan Aceng. “Oedjang orangnya gak macem-macem, beliau konsisten menjalankan amanah orangtuanya ,” ujar pria yang sudah berkecimpung di Mangle sejak 1977 ini.

Juli nanti, Oedjang genap berusia 60 tahun. Sepertiga dari usianya dicurahkan untuk mengurus Mangle. “Saya telat nikah, saya nikah umur 37 lho,” ujarnya sembari mengumbar senyum. Diantara ketiga anaknya, Firly, Hanif, dan Rafiq, tak satupun yang berniat meneruskan kepemimpinanya di Mangle. “Saya gak pernah maksa anak-anak saya untuk jadi penerus, saya bebaskan mereka memilih jalan hidup sendiri,” tuturnya.***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun