Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Nasi aking dibalik perang ketupat

23 September 2011   01:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:42 143 0
Perang ketupat, yang dalam bahasa lokal Bali disebut perang tipat-bantal, terlihat meriah seperti yang saya saksikan di televisi kemarin pagi (22 September 2011) juga liputan tertulisnya di Kompas online (20 September 2011) lalu.

Tipat berarti ketupat, makanan berbahan baku beras terbungkus daun kelapa maupun daun pandan dan dibentuk menyerupai bentuk belah ketupat (mungkin ini pula yang membuat bentuk seperti itu disebut dengan istilah 'belah ketupat'). Ketupat adalah makanan umum yang biasanya muncul dalam acara-acara khusus. Di Jakarta dan Makassar, ketupat biasa ditemui sehari-hari yaitu ketupat sayur dan teman makan coto Makassar. Sementara bantal, adalah makanan yang terbuat dari tepung ketan dan kelapa. Mungkin seperti kue unti yang biasa saya kenal (?).

Yang saya saksikan di televisi adalah bahwa warga dibagi kedalam dua kubu kemudian dengan meriahnya saling melempar ketupat dan bantal tersebut kepada masing-masing pihak lawan. Penontonpun, diluar kedua kubu tersebut turut ambil bagian dalam 'perang' ini. Jika ketupat dan bantal tersebut mengenai tubuh 'lawan', riuhlah ketawa para pelempar tersebut. Tidak hanya itu, terlihat makanan yang dilempar-lempar itu berserakan di jalan.

Malam sebelum saya menyaksikan tayangan perang ketupat, yang merupakan kebiasaan tahunan ini, saya menyaksikan tayangan dimana ada keluarga di suatu daerah di Indonesia, yang dikarenakan himpitan ekonominya tidak mampu lagi membeli beras yang harganya saat ini tengah melambung.  Sebagai gantinya, keluarga ini mengkonsumsi nasi aking. Nasi aking ini diperoleh mereka dari mengumpulkan nasi-nasi sisa yang kemudian dijemur. Setelah kering, kemudian nasi kering tersebut dimasak lagi seperti memasak nasi biasa. Inilah yang disebut nasi aking.

Karena ketidakmampuannya, membeli laukpun dirasa berat, sebagai gantinya, mereka menggunakan kelapa parut sebagai teman memakan nasi aking ini.

Jangan tanya soal rasa, karena menurut mereka, nasi aking ini cukup 'berbau', hanya saja mereka tidak memiliki pilihan lain, daripada kelaparan!

Menyaksikan tayangan-tayangan itu, kok hati saya menjadi miris ya. Di satu tempat, makanan, sebagai bagian dari tradisi, berakhir dengan terbuang percuma berserakan di jalan, sementara di tempat lain, ada saudara kita yang kekurangan makanan sehingga mengkonsumsi makanan yang sebenarnya tidak layak untuk dikonsumsi.

Terlepas dari tradisi yang sudah berlangsung secara rutin ini, alangkah cantiknya kalau bisa dipikirkan bagaimana makanan yang menjadi 'konsumsi' perang ketupat itu bisa disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Atau mengganti bahan baku ketupat dan bantal itu dengan benda lain yang bukan berupa makanan, seperti pasir dan kertas misalnya, sehingga tidak terkesan ada perbuatan percuma dalam tradisi ini.

Saya yakin, Tuhanpun akan sangat bergembira jika kita bisa membuat sesuatu hal menjadi lebih bermanfaat terutama bagi mereka yang dalam kondisi sangat membutuhkan.

Salam hangat Kompasiana.

Bogor, 23 September 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun