Pertanyaan kemudian sebetulnya apakah memang orang yang diminta memakai otaknya itu, betul tidak menggunakan otaknya sebelum berkata atau bertindak? Bukankah si lawan bicaranya itu dapat berkata atau bertindak demikian karena telah melalui proses berpikir yang artinya telah menggunakan otaknya pula.
Hanya saja yang menjadi masalah adalah yang satu memakai otaknya untuk berpikir dengan caranya, sementara yang satu lagi, berpikir dengan caranya juga. Ujung-ujungnya, tidak ketemu.
Sementara kalau dilihat dari sudut pandang orang yang diminta memakai otaknya itu, akan pasti mempunyai cara pikir yang sama, kenapa bukan dia saja yang memakai otaknya supaya perkataaannya ataupun tindakannya menjadi benar, menurut versinya tentu.
Sebetulnya, kedua-duanya ketika akan bertindak atau berkata-kata, sudah memakai otaknya terlebih dahulu, cuma saja, kedua-duanya menggunakan cara yang berbeda, melihat dari sudut pandang yang berbeda, jadi, hasilnya, yang satu ke kiri, yang satu ke kanan, jauh panggang dari api.
Apakah berpikir itu sebetulnya? Apa betul sama antara kata berpkir dan menggunakan otak seperti pada contoh di atas?
Kalau dalam gerakan pantomim, si peraga pantomim akan memeragakan gerakan (seolah-olah) berpikir dengan cara menempelkan telunjuknya di kening, menunjukkan kalau aktivitas berpikir itu berpusat di kepala.
Kalau anak saya, tiga tahun usianya, gayanya sewaktu berpikir, kedua matanya menghadap ke atas (entah apa yang dilihatnya), digerak-gerakan ke kanan dan ke kiri, persis seperti bola bekel sambil mulutnya dimajukan sedikit (manyun) dan pipinya sedikit dikembungkan, jadi seperti ikan buntal. Lucu sekali, mungkin karena saya ayahnya, jadi segala tingkah lakunya semuanya lucu. Tapi itulah geraknya sewaktu berpikir.
Jadi, berpikir itu berpusat di kepala? Di otak?
Otak adalah bentuk fisik yang terdapat dalam kepala, dalam tulang tengkorak. Otak bertanggung jawab terhadap proses yang disebut sebagai proses neuronal elektrokimia. Proses yang terkait dengan pengaturan segala fungsi di dalam tubuh termasuk didalamnya adalah sebagai respon terhadap informasi dari luar. Dalam istilah biologi dasar, dikenal sebagai kepekaan terhadap rangsang (irritabilitas).
Sementara pikiran merupakan proses yang terkait dengan sifat-sifat rohaniah atau kejiwaan. Sifat-sifat rohaniah ini seperti misalnya kepercayaan, keinginan, pendapat, anggapan dan lain sebagainya.
Otak dan pikiran tidak terpisah dalam melaksanakan prosesnya tetapi terdapat hubungan kait mengkait diantaranya, hubungan antara proses rohani dan neuronal. Sehingga, yang disebut dengan proses berpikir itu merupakan campuran olah otak dan olah rasa. Perkembangan munculnya olah otak dan olah rasa ini ditandai dengan berkembangnya budaya. Budaya sendiri memiliki dua pengertian yaitu olah budi dan olah daya. Budaya, mengacu kepada proses terjadinya, semestinya dapat berkembang dengan dinamis, tidak statis.
Kembali kepada pengertian berpikir, otak tidak bekerja sendirian, terjadi olah otak, olah rasa dalam nuansa olah budi dan olah daya. Dalam proses berpikir, terjadi aliran menyerap informasi yang diterima, memproses informasi yang diterima tersebut, ditambah hasil dari ‘olah-olah’ tersebut – dimana didalamnya dilakukan proses analisa berdasarkan referensi yang dimilikinya selama ini, kemudian sebagai hasil adalah bisa setuju, menolak terhadap informasi tersebut, atau dihasilkan pandangan lain (baru) terhadap informasi itu, yang lain daripada yang sekedar menyetujui maupun yang tidak menyetujui.
Apakah yang menyetujui terhadap informasi awal itu lebih mendekati kebenaran? Apakah justru yang tidak menyetujui informasi itu yang benar? Ataukah pendapat lain yang muncul itu yang disebut mendekati kebenaran?
Jawabannya dikembalikan kepada referensi yang digunakan dan kebenaran apa yang akan dicapai, kemudian, sejauh mana hasil pikiran itu bisa bermanfaat.
Dua contoh sederhana dari penggunaan pikiran itu akan dicoba disajikan di bawah ini:
Contoh satu:
Seorang (calon) pencuri mendengar bahwa rumah di jalan x nomor y akan kosong selama beberapa waktu karena siempunya rumah, yang juga termasuk golongan berada akan mudik lebaran. Diapun sudah mendapat informasi lainnya bahwa pemilik rumah tersebut tidak akan dijaga oleh siapapun selama ditinggal. Si (calon) pencuri tersebut kemudian melakukan beberapa langkah sebelum melakukan aksinya, antara lain: melakukan pengamatan situasi sekitar, melakukan persiapan, melaksanakan simulasi (hanya dalam pikiran) – mulai dari melakukan aksinya sampai dengan selesai. Pada hari H, hari yang direncanakan, si pencuri (sudah bukan calon lagi, tetapi sudah benar-benar menjadi pencuri) itupun mulai melakukan aksinya. Ternyata semuanya sesuai dengan yang telah direncanakannya, maka si pencuripun berhasil menunaikan aksinya dengan gemilang.
Contoh dua:
Saya coba mengambil contoh dari film sang pencerah, yang sedang marak belakangan ini. Dari tokoh utamanya, KH. Ahmad Dahlan, beliau mendapati kondisi di sekitarnya di Yogyakarta waktu itu yang menurutnya dari segi agama yang diketahuinya, dalam kondisi yang memerlukan perubahan. Kemudian, berbekal ilmu pengetahuan Islam yang dipelajarinya, mulailah beliau mencoba memperhitungkan langkah-langkah yang bisa dilakukannya untuk memperbaiki kondisi dan situasi tersebut. Perlahan-lahan dilaksanakanlah langkah-langkah yang telah diperhitungkannya tersebut. Walaupun pada awalnya banyak mendapatkan tentangan, namun pada akhirnya, kesuksesanlah yang diraihnya.
Dari contoh di atas, bukan hendak menyamakan capaian tokoh ulama tersebut dengan pencuri, tetapi lebih menunjukkan bahwa proses berpikir bisa dilakukan oleh siapa saja, dalam bentuk apa saja untuk mencapai tujuan apa saja. Proses berpikir masuk kedalam segala lini kehidupan.
Untuk contoh satu, dari sisi pencuri, dia sudah melakukan proses berpikir itu. Menurut pencuri itu, apa yang sudah dilakukannya sudah benar. Yang penting berhasil dan si pencuri itu cukup untuk menyambung hidupnya. Mencuri disamakan dengan mencari nafkah. Dari sisi si empunya rumah, jelas, ini merupakan kerugian baginya karena harta bendanya disikat oleh pencuri. Menurutnya, tidak ada benarnya, mencari nafkah dengan cara merugikan orang lain. Pendapat ini pun berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya selama ini, berdasarkan proses berpikirnya pula.
Untuk contoh dua, tokoh pencerah itu pun melakukan proses berpikir. Berpikir untuk memperbaiki kondisi keagamaan umat Islam di Yogyakarta khususnya. Banyak langkah perubahan yang akan dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dipelajari dan dimilikinya. Namun reaksi yang berbeda muncul dari lingkungan yang merasa bahwa perubahan yang dilakukannya justru menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri. Mereka yang memunculkan reaksi berbeda dengan tokoh sang pencerah inipun mendasarkan pendapatnya kepada ilmu yang mereka miliki selama ini dan kepada proses berpikir yang telah dilaluinya, hanya saja, proses tersebut menghasilkan hasil pemikiran yang berbeda dengan tokoh sang pencerah itu.
Jadi, pada dasarnya, tidak ada yang salah dalam proses berpikir, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mendayagunaan proses berpikir itu sehingga hasilnya dapat diterima oleh banyak pihak serta memberikan manfaat, dan melandaskan proses berpikir kepada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selamat berpikir, sebagai tanda bahwa kita memaksimalkan fungsi-fungsi berpikir yang kita miliki.
[Sudah diposting juga di: http://netsains.com/2010/10/berpikirlah-maka-kita-ada/ - Oct 4, 2010]