Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Pengalaman Mengurus SIM di Jakarta - Hari Bhayangkara

1 Juli 2010   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:10 1485 0
Beberapa hari ini topik mengenai polisi dan Kepolisian RI banyak memenuhi media massa. Mulai dari polisi dengan ‘celengan babinya' di Majalah Tempo, postingan beberapa Kompasianers di Kompasiana dan Kompas hari ini yang memuat sekurangnya 4 (empat) artikel mengenai POLRI, yang bertepatan dengan Hari Bhayangkara (1 Juli 2010) plus satu sentilan Mang Usil di Pojok Kompas.

Pokoknya mengenai POLRI deh, termasuk postingan ini. Cuma kali ini terkait dengan pengalaman kolega saya yang kemarin (30 Juni 2010) mengurus perpanjangan SIM A (mobil) nya di Jakarta.

Tadi pagi, ketika kolega saya ini saya telepon, sebut saja namanya Resye, Resye dengan semangat, menceritakan betapa jengkelnya kemarin ketika mencoba untuk mengurus perpanjangan SIMnya tersebut.

"Bagus deh kamu telepon nih, saya mau ngeluarin unek-unek saya, kejengkelan saya ketika kemarin mengurus SIM, jengkel bin kesel deh."

"lho ... memangnya kenapa?" jawab saya sambil penasaran juga untuk mendengar cerita lanjutan kejengkelannya itu.

"Kan gini....." (mulailah ia bercerita secara panjang kali lebar kali tinggi, lengkaplah pokoknya)

Rupanya, kemarin Resye ditemani adiknya mencoba mengurus perpanjangan SIM A-nya yang sudah habis masa berlakunya.

Adiknya sudah mengingatkan Resye, bahwa mungkin ada ‘perubahan' nih di situ karena POLRI baru saja mengumumkan perubahan kenaikan tarif, termasuk untuk pengurusan SIM, seperti dilansir di sini.

Ternyata benar, perubahan itu sudah tampak dari mulai pintu masuk. Pada awalnya, adik Resye, yang seorang laki-laki itu tidak diperkenankan masuk (mungkin dikhawatirkan sebagai calo? - walaupun hal ini seperti mengada-ada), tapi setelah ditunjukkan KTP (untung alamat di KTP sama), akhirnya diizinkan masuk.

Setelah berada didalam kompleks pengurusan, adik Resye mencoba untuk menghubungi kenalannya yang seorang anggota POLRI di situ. Jawabannya adalah,"Wah ... mas... maaf... sekarang lagi tidak bisa ‘bantu', lagi ‘steril' soalnya, maaf ya." Klek, lalu telepon pun terputus.

Adik Resye pun segera berkomentar,"wah... bakalan nightmare (mimpi buruk) nih sepertinya."

Ternyata apa yang diperkirakan adik Resye itupun tidak terlalu meleset.

Ini dimulai ketika ternyata Resye mengalami kesulitan untuk memperpanjang SIM A-nya itu. SIM A yang dimiliki Resye adalah SIM A Makassar. Sementara, Resye sudah pindah kembali ke Jakarta sejak tahun 2007, bahkan sudah kembali memiliki KTP DKI Jakarta. Sementara SIM A Makassarnya itu baru habis masa berlakunya bulan Juni lalu.

"Ibu harus mengurus mutasi SIM dulu, tidak bisa langsung mengurus perpanjangan, karena SIM A ibu bukan SIM Jakarta." Itu yang dikatakan petugas itu tanpa senyum.

"Betul pak, ini bukan SIM Jakarta, coba deh bapak lihat, itu SIM Makassar, apa saya harus ke Makassar untuk urus mutasinya, apa tidak ada cara lain yang lebih memudahkan?1) Ini kan masih dalam lingkungan POLRI juga kan pak? Dan masih di Indonesia kan?" Begitu Resye mencoba berargumen. Karena dia tidak bisa membayangkan berapa biaya dan waktu yang harus dikeluarkan untuk pergi ke Makassar untuk mengurus SIMnya itu.

"Tidak bisa bu, itu sudah peraturannya begitu. Ibu harus menemui Bagian Tata Usaha di Makassar (POLDA) untuk mengurus mutasi SIM A ibu. Atau kalau mau, ibu mengurus pembuatan SIM A baru aja untuk mendapatkan SIM A Jakarta, dan itu bukan di loket di sini, ibu harus pergi ke loket 18." Itulah jawaban akhirnya yang diperoleh.

Terpaksalah Resye kemudian mendaftarkan diri untuk proses mendapatkan SIM A Jakarta. Tes kesehatan dan tes tertulis. Rupanya, untuk proses pendaftaran baru ini, Resye perlu mengalami proses sama seperti mereka yang baru mendaftar untuk pertama kali memiliki SIM, tanpa melihat bahwa orang-orang seperti Resye ini telah memiliki SIM sebelumnya. Dan sewaktu mengurus SIM baru tersebut, Resye mendapati beberapa orang yang ‘senasib' dengan dirinya. Ada yang dari Bandung, ada yang dari Nganjuk. Merekapun pada akhirnya mendaftar untuk mendapatkan SIM baru, karena terbentur dengan peraturan didalam kepolisian itu sendiri.

Lelah mengalami proses memperoleh SIM baru itu, dank arena sudah waktunya makan siang, Resye dan adiknyapun kemudian menuju kantin yang ada di lingkungan tersebut. Rupanya, di kantin itupun obrolan ‘perubahan suasana' di lingkungan pembuatan SIM itupun tidak kalah serunya. Tetapi rata-rata bersikap skeptis dengan perubahan tersebut, apakah benar-benar ditujukan untuk kepentingan POLRI ataukah untuk kepentingan masyarakat luas. Komentar-komentar seperti dibawah ini banyak muncul.

"Suasana ‘steril' ini bukan pertama kali terjadi kok."

"Paling juga seminggu sterilnya, nanti juga ‘biasa' lagi."

"Alah... paling ini karena besok POLRI mau ultah, ntar juga ga lagi."

Wallahualam bissawab, waktulah yang membuktikannya nanti. Yang pasti, pada akhirnya, Resye mengalami kekecewaan lagi karena hasil tes tertulisnya dinyatakan tidak lulus, tanpa Resye bisa melihat hasil jawaban yang sudah dibuatnya tersebut. Resye hanya bisa menerima hasilnya saja. Resyepun dijadwalkan untuk tes susulan beberapa minggu kemudian.

Sekedar bertanya-tanya pada pihak POLRI,


  • Apakah tidak ada mekanisme yang lebih mudah untuk memperpanjang SIM yang berasal dari lain daerah tersebut. Dari pengalaman Resye (dan juga yang senasib dengan Resye, termasuk yang pertanyaannya sering muncul di website POLRI sendiri di sini), Kepolisian di Makassar, Kepolisian di Jakarta adalah Kepolisian dalam naungan Republik Indonesia juga, tentu ada cara untuk mempermudah mekanisme tersebut. Seperti yang Resye alami ketika berurusan dengan pihak Bank (lihat catatan di bawah).
  • Apakah dalam pembuatan SIM baru, bagi mereka yang telah memiliki SIM daerah tetapi mengalami kesulitan dalam perpanjangan seperti kisah Resye di atas, tidak dibedakan dalam prosesnya dengan mereka yang benar-benar membuat baru karena tidak memiliki SIM sebelumnya. Sepertinya pihak POLRI perlu mempertimbangkan hal ini.
  • Apakah suasana ‘steril' seperti yang disampaikan oleh pihak-pihak dalam lingkungan pembuatan SIM tersebut bisa dipertahankan keberlanjutannya? Ataukah memang hanya sementara saja? Resyepun berterus terang kepada saya, bahwa melihat seperti ini, ia lebih baik minta bantuan dengan ‘orang dalam' seperti dulu, tetapi satu hari selesai prosesnya, dibandingkan dengan suasana steril seperti ini, yang bagi dia terasa lebih menyulitkan, masih harus menyediakan waktu untuk kembali lagi dan lain sebagainya, dan lain sebagainya (walaupun dalam hati saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataannya itu, mungkin lebih baik, kalau suasana seperti suasana steril ini tapi urusannya menjadi lebih mudah, sama seperti kalau diurus oleh 'orang dalam' tersebut, bagaimana?).
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun