“Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah”.
Ibu ku bernama Siti Marpuah....
Itu, salah sebuah pepatah yang sangat popular. Sementara, di masyarakat, pepatah kerapkali diposisikan sebagai semacam ‘kalimat suci’, yang tak terbantahkan. Benarkah? Pepatah di atas menggambarkan bahwa kasih ibu kepada sang anak tak berbatas, laksana jalan yang tak berujung. Sementara, kasih anak kepada sang ibu berbatas, sebagaimana penggalah (tongkat).
Ketika berusia setahun, ibu suapkan makanan dan memandikan kita. Cara kita ucapkan terima kasih kepadanya hanyalah dengan menangis sepanjang malam.
Ketika berusia 2 tahun, ibu mengajar kita bermain. Kita ucapkan terima kasih dengan berlari sambil ketawa apabila dipanggil. Menjelang usia kita 3 tahun, ibu menyediakan makanan dengan penuh kasih saying. Kita ucapkan terima kasih dengan menumpahkanya ke lantai.
Ketika berusia 4 tahun, ibu membelikan sekotak pensil warna. Kita ucapkan terima kasih dengan mencoret-coret dinding kamar.
Berusia 5 tahun. Ibu membelikan sepasang pakaian baru. Kita ucapkan terima kasih dengan bergolek-golek dalam tempat kotor.
Setelah berusia 6 tahun. Ibu menggandeng tangan kita ke sekolah. Kita ucapkan terima kasih dengan menjerit “tidak mau, tidak mau”.
Saat berusia 7 tahun. Ibu belikan sebuah bola, kita ucapkan terima kasih dengan melemparkan bola sehingga memecahkan kaca tetangga.
Menjelang usia 8 tahun. Ibu belikan es krim, kita ucapkan terima kasih dengan mengotori pakaian ibu.
Ketika berusia 9 tahun. Ibu mengantar ke sekolah. Kita ucapkan terima kasih dengan buru-buru masuk kelas.
Berusia 10 tahun. Ibu menghabiskan waktu sehari suntuk menemani kita kemana saja, kita ucapkan terima kasih dengan tidak bertegur sapa dengannya.
Ketika berusia 12 tahun. Ibu menyuruh mengerjakan PR, kita ucapkan terima kasih dengan menonton televisi.
Menjelang usia 13 tahun. Ibu suruh pakai pakaian menutup aurat. Kita ucapkan terima kasih dengan mengatakan pakaian itu ketinggalan zaman.
Ketika berusia 14 tahun, ibu terpaksa berhemat untuk membayar uang asrama, kita ucapkan terima kasih dengan tidak menulis sepucuk suratpun.
Berusia 15 tahun, ibu pulang dari kerja dan rindu pelukan, kita mengatakan terima kasih dengan menutup bilik. Menjelang usia 18 tahun, ibu menangis gembira ketika diterima masuk perguruan tinggi negeri, kita ucapkan terima kasih dengan bersuka ria dengan kawan-kawan.
Ketika berusia 19 tahun, ibu bersusah payah mengantar ke kampus dank e asrama, kita ucapkan terima kasih dengan mengatakan selamat jalan pada ibu diluar asrama karena malu dengan kawan-kawan.
Berusia 20 tahun, ibu Tanya kita ada teman istimewa? Kita kata dengan “ itu bukan urusan ibu”.
Setelah berusia 21 tahun, ibu mencoba memberikan pandangan mengenai kerja, kita katakana, “saya tak mau jadi seperti ibu”.
Berusia 22-23 tahun, ibu membelikan perabot untuk rumah kita, kita mengatakan, “pilihan ibu tidak menarik, tidak berkenan dihati”.
Menjelang usia 24 tahun, ibu bertemu bakal menantu dan bertanya mengenai rancangan masa depan. Kita menjeling dan merengut dengan mengatakan, “ ibu, tolonglah….!”
Ketika berusia 25 tahun, ibu bersusah payah menanggung biaya perkawinan. Kita ucapkan terima kasih dengan berpindah jauh meninggalkan ibu.
Pada usia 30 tahun, ibu menelpon memberi nasehat dan petuah mengenai penjagaan bayi, kita malah berkata, “itu dulu, sekarang zaman modern”.
Ketika berusia 40 tahun, ibu mengingatkan mengenai acara di kampong, kita mengatakan sibuk, tak ada waktu untuk datang.
Ketika berusia 50 tahun, ibu jatuh sakit and minta kita menjaganya, kita bercerita tentang kesibukan dan kisah ibu bapak yang menjadi beban. .
Sumber : Citra Karya