Tidak ada satu pasalpun dalam UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Sidang Istimewa MPR untuk memberhentikan Presiden sebelum masa jabatannya berakhir. Beberapa orang, menggunakan rujukan Pasal 8 UUD 1945, untuk dijadikan dasar pemakzulan. Sedangkan norma dalam pasal ini, tidak memuat kewenangan Sidang Istimewa MPR dan maksud dari pemberhentian. Pasal 8 UUD 1945, pernah menjadikan landasan untuk menyatakan keabsahan mundurnya Presiden Suharto pada tahun 1998. Hampir semua ahli hukum, dintaranya Mahfud MD (saat itu Menhan), Akil Mochtar (saat itu anggota DPR), Harun Al Rasyid, dan Yusril Ihza Mahendra (saat itu Mentri Hukum dan Ham), menyatakan pemakzulan atas Gus Dur di luar hukum dan konstitusi. Karena konstitusi tidak mengaturnya. Atau istilah lain terjadi “krisis konstitusional”. Dengan demikian pemakzulan tersebut inkonstitusional, atau menurut Harun Al Rasyid, cacat hukum.
Pemakzulan atas Gus Dur lewat Sidang Istimewa MPR pun diakui oleh hampir semua pihak yang saat itu terlibat, di luar konstitusi. Termasuk oleh Amin Rais sebagai ketua MPR yang menyatakan tuntutan mundurnya Gus Dur dari tapuk Presiden, menghadapi tembok tebal konstitusi. Sidang Istimewa MPR adalah jalur cepat merespon tuntutan tersebut. Jadi jelas, alasan politik yang dikedepankan bukan konstitusi. Pun pendapat Jimly Asidiqie, yang menyatakan bahwa keputusan MPR tersebut terserah rakyat untuk mematuhinya atau tidak. Inipun menyangkut keabsahan politik, bukan keabsahan konstitusi.
Ketika terjadi krisis konstituisional saat itu, ada dua opsi yang ditawarkan: pertama, pelimpahan tugas konstitusional dan kedua, menggunakan Tap MPR Nomor III tahun 1978. Opsi pertama ditawarkan oleh Gus Dur melalui Tim Tujuh dari Pemerintah, kepada Megawati sebagaiWakil Presiden. Opsi ini juga atas saran Akbar Tanjung sebagai ketua DPR, sebagai solusi jalan tengah yang sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945. Dengan terlebih dahulu, Gus mengundurkan diri dan selanjutnya pelimpahan kewenangan diserahkan kepada Megawati. Kompromi ini ditolak oleh para politik yang ada di senayan saat itu. Meskipun, Gus Dur sudah bersedia mundur dan melimpahkannya kepada Megawati. Agar proses pergantian tersebut dibenarkan dan diabsahkan oleh konstitusi. Politisi senayan lebih memilih opsi menggunakan Tap MPR No III tahun 1978 sebagai dasar pemakzulan. Disinilah pelanggaran-pelanggaran norma hukum terjadi.
Pelanggaran pertama, pemakzulan dengan menggunakan pasal 7 Tap MPR No. III tahun 1978, bersifat ekstra konstitusi. Keputusan hukum yang ditempatkan di atas konstitusi. Padahal dalam tata urutan perundang, Tap MPR berada dibawah konstitusi (Tap MPRS XX/MPRS/1966). Praktek ini menunjukan MPR telah menabrak produk hukum yang telah dibuatnya sendiri.
Solusi saat itu sudah diberikan. Dengan merujuk pasal 37 UUD 1945, MPR terlebih dahulu melakukan amandemen pasal 8 UUD 1945 dengan memasukan pasal 7 Tap MPR III/1978. Sehingga pemakzulan memiliki kekuatan hukum secara konstitusional. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh MPR. Amandemen ketiga tentang pemakzulan baru dilaksanakan pada bulan November 2001. Setelah pemakzulan atas Gus Dur terjadi pada 23 Juli 2001. Amandemen UUD 1945 ketiga dengan menambahkan pasal 7A dan 7B, yang tidak lain dari norma yang terkandung dalam pasal 7 Tap MPR III/ 1978. Dengan kata lain, pemakzulan atas Gus Dur (Juli 2001), MPR tidak menggunakan konstitusi tetapi Tap MPR III/1978.
Pelanggaran kedua, penggunaan pasal 7 Tap MPR III/ 1978 bukan saja menyandang status ekstra konstitusi namun juga bertentangan dengan konstitusi. Apa yang disebut body of constitution, dengan adanya dua katagori kuasa dan relasi competence dari MPR, Presiden dan DPR. Menurut pasal 3, pasal 6 ayat 2 dan pasal 37 UUD 1945, MPR tidak mempunyai kompetensi menentukan jalannya pemerintahan. Karena relasi pemerintahan ada pada kuasalegislatif [pouvoir legislatif] yang dipegang oleh DPR dan Presiden secara seimbang. Berikut prinsip pemerintahan dalam konstitusi menganut sistem Presidensiil. Sedangkan pasal 7 MPR III/ 1978, menganut prinsip parlementer. Bilapun demikian sistem parlementer memberi kuasa kepada DPR bukan kepada MPR.
Hal yang patut dicermati, lahirnya Tap MPR III/ 1978, dibawah kekuasaan rezim Suharto. Produk hukum yang sengaja dibuat untuk melindungi kekuasaan (baca: Presiden) yang tidak bisa dijatuhkan menggunakan dasar konstitusi. Karena Presiden tidak bisa dijatuhkan melaluiTap MPR tetapi harus berlandaskan konstitusi. Tap MPR ini dibentuk oleh MPR dengan komposisi keanggotaan 1:2 dengan DPR. Penunjukan langsung utusan daerah dan golongan makin memperkuat posisi MPR dibanding DPR saat itu. Sehingga upaya pemakzulan atas diri Suharto sangat tidak mungkin dilaksanakan karena bukan saja tidak berdasarkan konstitusi tetapi komposisi MPR dan DPR makin mengunci posisi DPR sebagai pemegang kuasa atas nama perwakilan rakyat.
Pelanggaran ketiga, isi dari memorandum I dan II sudah melampaui batas kewenangan DPR sebagaimana tertera dalam pasal 7 ayat 2 Tap MPR III/1978. Kutipan ayat 2 sebagai berikut: “Apabila DPR menganggap Presiden sungguh-sunggung melanggar Haluan Negara, maka DPRmenyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden”. Sedangkan materi memorandum I dan II, berbunyi: “patut diduga bahwa presiden Abdurahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog”. Bentuk pelanggarannya:
·Kata “patut diduga” bersifat sementara, sedangkan Tap MPR mensyaratkan adanya “sunguh-sunguh”, yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud MD dan Akil Mochtar, bahwa Gus Dur tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum atas kasus dana Yanatera Bulog dan dana bantuan Sultan Brunai. Alasan ini berdasarkan pemeriksaan Jaksa Agung secara projustisia yang mengumumkan secara resmi Presiden bersih dari soal hukum dalam kasus tersebut. Pada kaitan ini DPR sudah melampaui kewenangan dengan menjadi Yudikatif.