Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Elfa's Singer di Ekspedisi Kompas 2008

13 November 2008   10:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:24 935 0
Kelompok vokal Elfa's Singer Jumat pukul 19.00 akan manggung di halaman Gedung Bentara Budaya Jakarta. Lima lagu -- mungkin lebih -- akan disajikan sebagai awalan untuk membuka  Pameran Foto "Jalan Perubahan" dan peluncuran tiga seri buku ekspedisi Kompas. Tiga buku ekspedisi yang merupakan kumpulan reportase wartawan Kompas akan diluncurkan secara bersamaan Jumat, 14 November 2008, jam 18.30.  Ketiga buku ekspedisi itu adalah Ekspedisi Anjer-Panaroekan-Jalan (Untuk) Perubahan (2008) merupakan kumpulan reportase wartawan Kompas yang menyusuri jejak sejarah Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Daendels. Buku setebal 445 halaman itu dieditori wartawan Kompas Sidik Pramono -- meski dalam buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas-- tertera Editor: Tim Penerbit. Buku yang terdiri dari Prolog, tujuh bab dan Epilog itu mengajak pembacanya untuk melihat jauh ke belakang ketika jalan itu dibangun Daendels (1808-1811) yang panjangnya mencapai 1.100 kilometer. Realitas fakta, kemiskinan, kenestapaan, kehancuran ekologis, mau yang sangat optimistis terpapar dalam buku tersebut. Dalam epilog, Tim Ekspedisi menulis: "Baik dan buruk, sedih dan gembira, harapan dan keputusasaan adalah dua titik dikotomis yang saling menunggu. Toh, setiap manusia adalah makhluk yang dikaruniai kebebasan untuk bersikap dan memaknai apa yang dihadapinya. Seseorang bisa bersikap kritis bahkan sinis melihat fakta yang ada, bisa pula bersikap kritis sekaligus optimistis dengan fakta yang sama pula (hal 428). Guna melengkapi narasi panjang dalam buku Harian Kompas juga memamerkan paling tidak lima puluh karya foto fotografer Kompas yang menyusuri Jalan Raya Pos dimulai dari Mercu Suar Cikoneng, Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Pemilihan foto sepenuhnya ditangani fotografer Kompas Julian Sihombing. Terdapat pula foto dokumentasi yang dipinjam Kompas dari Haw Ming, seorang kolektor foto di Jakarta yang masih menyimpan foto-foto tahun 1910-an di sepanjang jalan anyer-panarukan.  Sedang fotografer Kompas yang lain Arbain Rambey menulis, "Manakala rana kamera selesai dijepretkan, saat itu pula rekaman sejarah dengan sebuah foto menjadi final. Rekaman foto memang unik karena dia tidak bisa ditambahi apa-apa lagi selayaknya sebuah rekaman tulis. Rekaman foto lengkap secara visual, namun di sisi lain sesungguhnya dia kehilangan beberapa dimensi yang hanya bisa diwakili tulisan." Apa yang dilakukan Kompas adalah sebuah ikhtiar, sebuah upaya untuk memotret kondisi kekinian di Tanah Air. Liputan jurnalistik model ekspedisi dirasakan  menjadi oase di tengah kejenuhan liputan rutin dan harian yang sifatnya lebih langsung dan terasa stagnan. Model ekspedisi memberikan ruang yang cukup bagi wartawan untuk melakukan eksplorasi terhadap apa yang dilihatnya, diperkaya dengan dokumen historis, dilengkapi dengan sebuah diskusi mini, menjadikan laporan ekspedisi bisa memberikan sesuatu kedalaman kepada pembacanya. Serial laporan jurnalistik yang telah dimuat di harian Kompas kemudian diperkaya dan  dibukukan sehingga pada akhirnya akan menjadi sebuah dokumen yang berharga mengenai bagian dari Indonesia yang kontemporer.  Ia bukan sebuah buku akademis yang rumit dan berat untuk dibaca, melainkan tulisan jurnalitik yang mengalir, bertutur, dan tentunya (serta harapannya) menjadi  enak dibaca. Selain buku Anjer-Panaroekan juga akan dlincurkan buku Ekspedisi Tanah Papua. Buku setelah 293 halaman yang terdiri dari delapan bab dan epilog itu merupakan cerita pengembaraan wartawan Kompas menyusuri belantara Papua. Papua adalah sebuah provinsi di ujung timur Indonesia yang kaya, namun juga masih memendam perasaan ketidapuasan terhadap Jakarta. Dalam buku Ekspedisi Tanah Papua itu terdapat tulisan wartawan Kompas Ahmad Arif, Aryo Wisanggeni Genthong dan Luki Aulia yang tahun lalu meraih penghargaan Mochtar Lubis Award. Hal lain yang menarik dari buku ini adalah sosok yang telah menyumbangkan diri pada tanah pengabdian (bab enam) Jiwa petualangan wartawan Kompas juga tampak terlihat dalam penyusuran Sungai Bengawan Solo. Sungai yang terkenal atau makin diperkenalkan oleh Gesang itu juga menjadi bagian ekspedisi Kompas tahun 2007. Reportase wartawan Kompas saat menyusuri sungai Bengawan Solo telah menggambarkan kehancuran ekologis. Sebuah pesan telah disampaikan oleh Kompas dalam Tajuk Rencana 23 Juni 2007: bahwa kita tidak bersahabat dengan alam, termasuk sungai."...sungai kita lihat sebagai ancaman. Banjir yang kita rasakan setiap tahun kita persalahkan karena perilaku sungai. Tidak pernah kita berani untuk mengatakan bahwa perilaku kita yang keliru itulah yang membuat aliran sungai menjadi tidak terkendali dan kemudian menyebabkan banjir." Rangkaian acara Jumat malam ini akan dibuka penampilan Elfa;s Singer di panggung depan Bentara Budaya. Selanjutnya diteruskan dengan sambutan dari pihak Kompas, pihak sponsor dan penyerahan serial buku ekspedisi kepada sejumlah orang. usai penyerahan buku, pengunjung bisa menyaksikan pameran foto yang ditempatkan di halaman dalam gedung Bentara Budaya yang selama ini selalu digunakan sebagai tempat pameran.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun