Presiden, secara hukum konstitusional, memiliki kedudukan tertinggi baik sebagai kepala pemerintahan maupun kepala negara di Indonesia. Undang-Undang mengatur bahwa presiden dicalonkan oleh gabungan partai politik. Memang wajar bahwa presiden mendengarkan aspirasi partai politik pengusungnya tetapi kekuasaan eksekutif tetap berada di tangan Presiden. Ibaratnya para ketua umum partai politik pengusung adalah komisaris, maka Presiden Joko Widodo adalah direktur utamanya. Tidak lantas semua keputusan harus mendapatkan restu dari para ketua umum partai pengusung, terutama Megawati Soekarnoputri. Seperti dalam hal perubahan pencalonan Kapolri dari Budi Gunawan ke Badrodin Haiti, itu merupakan hak prerogatif Presiden untuk mengusulkan dan DPR untuk memprosesnya.
Sebaiknya Megawati mencontoh Alm Lee Kuan Yew (Perdana Menteri Pertama Singapura) yang melepas kursi PM di tahun 1990 (pada usia 67 tahun) dan secara ikhlas memberi kesempatan kepada Goh Cok Tong untuk menjadi PM sambil membersiapkan putranya (Lee Hsien Loong) untuk menjadi PM berikutnya. Setelah mundur sebagai PM, Lee Kuan Yew tidak pernah membuat pidato yang merendahkan atau mengerdilkan penerusnya (Goh Cok Tong). Bahkan Lee tau diri bahwa sambutan utama diberikan oleh Goh Cok Tong (sebagai Ketua Umum Partai Aksi Rakyat) pada kongres partai itu selama Goh menjabat PM Singapura. Lee tau betul jika PM dan para menteri menaruh hormat kepadanya, itu sesuatu "yang diberikan secara tulus" bukan sesuatu yang "harus diminta".
Saya juga kecewa melihat pidato Megawati di Kongres PDIP kemarin yang dengan angkuhnya mengatakan untuk keluar dari partai bagi para kader PDIP yang tidak ingin disebut petugas partai. Apalagi Megawati tidak memberikan kesempatan kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan sambutan! Jika merasa diri lebih hebat dari Jokowi, mengapa tidak mencalonkan diri saja pada saat pilpres tahun lalu. Jika menyadari bahwa dirinya sudah tidak laku (peluangnya kecil untuk menang), maka seharusnya Megawati bersikap hormat kepada Jokowi (sebagaimana Lee tua kepada Goh) sambil mempersiapkan Puan atau Prananda sebagai penerusnya kelak. Jika masih angkuh seperti ini, suara PDIP akan turun di pemilu mendatang apalagi jika Jokowi keluar dari PDIP.
Partai politik adalah bagian dari pemerintahan. Kepala Pemerintahan adalah Presiden. Dengan demikian petugas partai yang terpilih menjadi Presiden, telah mendapatkan mandat dari rakyat (sebagaimana diatur UUD 1945) sebagai pemimpin tertinggi. Tentunya ini lebih tinggi dari posisi Megawati sendiri sebagai Ketua Umum. Sudah seharusnya Megawati menghormati Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia. Sudah seharusnya pula, Puan Maharani belajar banyak dari Joko Widodo. Sebelum semuanya terlambat.