Bulan puasa adalah bulan menahan diri.
Bullshit.
Bulan puasa adalah bulan bermunafik kepada Tuhan dan mengumbar ego.
Menurut saya.
***
Pernahkah Anda melihat cover CD Final Fantasy IV: Celtic Moon? Di salah satu malam bulan Ramadhan, menjelang buka puasa, saya menengadah ke langit. Disana, di tengah guratan biru muda dan lembayung senja, rembulan mengintip dari balik cakrawala, tinggi menggantung di dalam samudera langit. Pemandangan itu betul-betul serupa dengan cover FFIV Celtic Moon yang saya maksudkan; perbedaannya hanyalah lanskap yang mewarnai area bumi dibawah bulan itu: di cover FFIV Celtic Moon, latar buminya adalah tebing cadas dan laut perak, sedangkan, dari lanskap yang kulihat, terpotret pepohonan yang hijau tua ditelan malam dan kabel-kabel telepon yang semrawut berseliweran.
Sungguh indah. Bulan seperti kue lembut yang berpendar di tengah kebiruan. Apalagi, saat itu adalah bulan bernama Ramadhan… wajah rembulan yang epic dan putih seakan menunjukkan sifatnya yang begitu mengumandangkan suara Tuhan.
Sayang, sayang, manusia jalang.
Jika pada intro diatas saya menuliskan bait-bait sinis, maka wajah manusia di bulan Ramadhan betul-betul worth it untuk menerima segala macam kesinisan tersebut. Ironis, bukan? Di sebuah negara yang ‘katanya’ mayoritas penduduknya beragama Islam, dalam bulan yang katanya penuh pengendalian atas hawa nafsu dan setan pun dibelenggu, ternyata manusia menjadi lebih bernafsu dari biasanya.
Capek. Puasa capek. Puasa hanya menyiksa badan: bangun pagi, berlapar, haus dahaga, lalu merokok di tengah siang. Enak. Itulah puasa. Lalu, pulang jam 3 sore dan mengendarai kendaraan umum alias angkot, yang supirnya senantiasa berserapah. Memang, mereka tidak puasa. Buat apa sih, tanya mereka. Tapi, kelakuan para pengendara di sore bulan Ramadhan sungguh luar biasa. Di jalan raya, mobil menyerempet, menggebu mendobrak bemper yang lain seperti babi hutan yang beringas. Pengendaranya memacu gas dan rem bersahut-sahutan sehingga mobil triping ajot-ajotan. Semua ingin berbuka puasa di rumah.
Lalu lintas di sore Ramadhan memang luar biasa. Sinis. Mobil dan angkutan kota seperti temali yang kusut semrawut; saya tak pernah habis pikir bagaimana supir dari angkot yang saya tumpangi bisa mencari celah dari segala macam kepusingan itu. Semua ingin duluan, susul menyusul. Hm. Sedih memang, saat semua orang kalah oleh rasa ingin buka puasa di rumah. Saya pikir tadinya bulan puasa akan jadi saat dimana lalu lintas lebih teratur dari biasanya. Ternyata saya salah. Semua orang malah kalah oleh rasa ingin buka puasa di rumah dan menjadi makhluk-makhluk egois yang mengacuhkan rambu dan marka. Saya bingung, bukankah puasa itu intinya menahan nafsu? Tapi, akhirnya, kulminasi keburukan lalu lintas dalam kota ternyata terjadi justru di saat puasa. Puasa = menahan nafsu? Wrong.
Setelah sampai di rumah dari segala macam kendaraan yang terus berjejalan, hampir semaput oleh monoksida, buka puasa menyongsong dengan segala hidangan yang ada. Banyak hidangan, pastinya, karena sehari penuh tidak mengonsumsi apa-apa. Makan. Minum. Menyeruput, menelan, menenggak. Klisenya: balas dendam. Banyak makanan yang terus menerus dimasukkan ke dalam perut yang meraung kelaparan, tanpa henti hingga meja makan licin tandas. Perut membuntal seperti ikan fugu, sakit karena usus yang penuh sesak. Pertanyaannya: jika sehari puasa telah usai, apakah nafsu boleh begitu saja dilepas tanpa norma? Anekdot yang sering saya ceritakan/tanyakan pada teman saya adalah: “Ada tidak ya, orang yang membatalkan puasa dengan orgasme seksual? Jadi, begitu adzan mereka langsung berejakulasi…” Tidakkah anekdot ini sempurna untuk melukiskan ‘balas dendam atas nafsu yang terkekang’?
Pergi tarawih ke masjid bukan lagi menjadi ritual spiritual, tapi lebih kepada tradisi kultural. Betapa tidak? Apa sih yang dilakukan orang di masjid? Mencatat ceramah untuk tugas sekolah, bergosip, dan bercengkrama ria. Setelah sebelumnya bervandal tanpa tedeng aling-aling, membudegkan telinga mereka dengan ledak petasan. Memang luar biasa bulan puasa ini. Begitulah.
***
Hanya itu yang dilakukan di bulan puasa. Lebih ironisnya lagi, banyak orang yang justru tidak menjadi lebih sabar dengan berpuasa: malah menjadi lebih tidak sabar, karena perutnya lapar. Apakah puasa itu hanya sebatas menahan lapar dan haus? Lebih jauh lagi, orang mungkin bilang: juga menahan marah dan nafsu seksual. Tapi, bagaimana misalnya, menahan nafsu membuang duit, berbelanja, dan kegiatan2 lain yang sedianya hanya beralaskan sebantal hasrat. Apakah mereka juga dilarang saat berpuasa?
Teoretisnya: Ya.
Realitasnya: ???
Realitasnya, saya melihat bulan puasa sebagai bulan untuk bermunafik ria kepada Tuhan. Kita memperlihatkan kepada Tuhan bahwa kita adalah manusia-manusia kuat dengan meriyakan puasa kita, padahal segala nafsu kecuali nafsu yang secara eksplisit dilarang (makan, minum, seks) tetap saja menguasai setiap micron dari sel-sel otak dan lembaran hati kita. Banyak juga yang berpuasa karena ego; karena malu sama teman sekost kalau tidak puasa, malu sama keluarga, dsb. Anak-anak, sebuah ladang inosens yang (harusnya) menjadi lahan subur bagi benih spiritualitas, dicekoki dengan mentahnya oleh iming-iming puasa berhadiah angpau, uang tunai, kupon, voucher belanja, dsb. Ego membuat puasa menjadi sebuah dinding yang visible; jika tiada manusia, dinding ini tak perlu ada. Puasa adalah dinding yang hanya ada saat mata manusia ada. Ego.
***
Rembulan pucat seperti susu, hamparan lembut kebiruan di belakangnya terbasuh oleh lembayung. Senja itu langit tenang dan indah. FFIV Celtic Moon. Namun, di bawah itu semua, nafsu memakan bulat-bulat satu per satu kepala manusia, dan Homo sapiens beragama Islam dengan galak memacu mobil mereka di tengah kemacetan. Saya sadar bahwa saya sendiri bukanlah orang yang sangat sempurna dalam berpuasa sehingga bisa mencela mencaci semua yang berpuasa di hadapan saya. Tidak juga. Apakah diskursus saya adalah celaan dan makian, saya tidak tahu. Tapi, saya sadar, ini kesadaran. Saya hanya menengadah kepada bulan lalu ingin berpuasa setenang dia. Bisakah saya? Bisakah Anda? Bisakah dunia…?