Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar, Kayyis bersemangat melanjutkan studinya di SMP Budi Utomo Makassar, sembari menimba ilmu agama di Pondok Pesantren Roudhotul Jannah di Daya Makassar. Dengan langkah optimis, dia melangkah maju menghadapi dunia baru yang menantangnya.
Namun, ketika tiba saatnya untuk tinggal di pondok pesantren, perasaan sedih menyergapnya. Kayyis harus berpisah dengan orang tua tercinta, menjalani hidup mandiri tanpa ditemani sosok yang selalu ada di sampingnya. Rasa kehilangan itu melintas begitu mendalam dalam hatinya, namun dia tahu bahwa di balik perpisahan ini, ada kesempatan besar untuk tumbuh dan berkembang.
Saat berjalan masuk ke lingkungan pondok yang baru, hati Kayyis campur aduk. Dia merasa gugup dan cemas, namun juga penuh harap dan semangat. Pertemuan dengan teman-teman barunya menjadi kilas balik yang menghangatkan, namun juga menambah kepedihan hati yang sedang dia rasakan.
Setiap hari di pondok pesantren, Kayyis menyadari betapa besar tantangan yang dihadapinya. Dia menghadapi beragam pelajaran agama, mulai dari memahami Al-Qur'an hingga mendalami hadis. Semangatnya tak pernah surut, dan dia berusaha menyerap ilmu sebanyak mungkin untuk mencapai tujuannya menjadi mubaligh yang diidolakan.