Pekan lalu saya bertemu dengan sobat lama yang merasa telah "letih" menekuni urusan "dunia". Dia mengembangkan wirausaha membantu mereka yang sangat ingin berangkat haji atau umroh namun terkendala biaya. Sebagai economist dan fund manager, saya cermati dan nilai business model usaha sobat tersebut sangat menarik sebab dapat mempertemukan nilai spiritual dan kesejahteraan duniawi.
Pertemuan itu mengingatkan pengalaman kesulitan dana untuk naik haji yang pernah saya alami. Namun, alhamdulillah, berkat karunia rezeki dari Allah, kami suami istri dimudahkan menunaikan haji tahun 2001.
Untuk mengabadikan pengalaman haji yang demikian berkesan, saya membuat catatan Kesaksian Spiritual Haji yang telah lama diposting di berbagai situs, termasuk Pengajian Tawakal yang saya ikuti: http://www.tawakal.or.id/2003/10/kesaksian-spiritual-haji
Bersama istri, saya ingin mengembangkan usaha perlengkapan haji yang praktis untuk membantu jemaah. Kemudahan dari Allah terasa melimpah. Alhamdulillah saya dimudahkan untuk menjadi pemilik situs www.mabrur.com. Suatu nama situs yang bakal mudah dijual. Tapi saya tidak ingin begitu saja menjual situs yang hampir delapan tahun menganggur. InsyaAllah situs itu akan segera aktif memberikan informasi seputar ibadah haji dan umroh, serta peluang usaha bersama.
Sebagai ungkapan kesyukuran, saya postingkan kembali pengalaman tersebut melalui Kompasiana. Semoga bermanfaat. Silakan disebarkan. Semoga hidayah dan kerinduan yang tumbuh setelah membaca dan menyebarkan tulisan itu berbuah limpahan berkah dari Allah.
Sekira Anda memiliki sahabat atau kenalan yang sangat sangat sangat merindukan berangkat haji dan umroh, dan mengalami kesulitan biaya, serta tertarik untuk menekuni usaha bersama, silakan hubungi saya melalui haji@mabrur.com
Salam,
Budi Hikmat
---------------------------------------
Kesaksian Spiritual Haji
---------------------------------------
Tiba-tiba kurasakan tangannya tersentak hingga jabat tangan kami terlepas. “Rezekimu untuk berangkat haji telah disiapkan. Nanti juga semua pengeluaranmu akan diganti” Aku hanya terdiam. Kupikir ada cara untuk menguji ucapannya. Bahkan untuk membuktikan apakah agama dan Tuhan yang selama ini kupercaya bukanlah dusta: Akan kukatakan kepada banyak orang bahwa aku akan berangkat haji. Tahun ini!
Panjar ONH Dibayar Mertua
Kerinduan berangkat haji semakin menguat setelah adikku dan istrinya berhaji menyusul Ibu dan Bapak yang sudah berangkat tahun sebelumnya. Salah satu cara merawat kerinduan itu dengan memasang hiasan keramik bergambar Masjidil Haram di dinding mushola rumah. Namun, berdasarkan proyeksi kondisi keuangan, kami mungkin baru dapat berangkat tahun 2002. Ketika mendengar pertimbangan kami, bapak mertua tegas berkata: “Berangkatlah kalian haji tahun ini. Bapak beri pinjaman untuk panjar ONH kalian berdua.”
Setelah membayar panjer ONH suami istri US$2000, aku memperingatkan istri untuk kemungkinan menjual mobil Kijang guna menutupi ongkos haji.
Ongkos Hajimu Sudah Disiapkan!
Aku tertarik untuk meminta doa kepada seorang Ustadz yang materi kutbah Jumatnya sangat menyentuh. Aku menandai Ustaz itu. Sebab, pernah tiga kali sholat Jumat secara berturut-turut, di kota yang berbeda, surat Al A'laa dan Ghaasyiyah dibacakan dalam sholat. Dan Ustadz itu imam sholat yang ketiga dengan bacaan serupa.
Sembari memberi salam, aku mengulurkan jabat tangan, “Pak Ustadz, saya ingin sekali naik haji. Tolong doakan saya.
Wajah Ustadz itu nampak teduh saat memejamkan matanya. Berdoa. Tiba-tiba kurasakan tangannya tersentak hingga jabat tangan kami terlepas. “Rezekimu untuk berangkat haji telah disiapkan. Nanti juga semua pengeluaranmu akan diganti…”
Ustadz itu nampak demikian yakin. Tetapi tak urung keraguan meliputiku. Bagaimana mungkin dengan kondisi bisnis di kantor yang sedang menurun? Aku hanya terdiam. Kupikir ada cara untuk menguji ucapannya. Bahkan untuk membuktikan apakah agama dan Tuhan yang selama ini kupercaya bukanlah dusta: Akan kukatakan kepada banyak orang bahwa aku akan berangkat haji. Tahun ini!
“Ramalan” Ustaz itu tidak hanya kusampaikan kepada istriku, tetapi juga kepada mertua, sanak saudara dan teman-teman. Aku sengaja mengikat diriku dengan beban. Dan aku ingin menyaksikan bagaimana beban yang melilitku itu dilepaskan.
Akhir Tahun Menegangkan
Sebagaimana karyawan lain, 23 Desember 2000 adalah hari yang menegangkan bagiku. Sebab pada hari itu akan diumumkan keputusan manajemen perusahaan terkait dengan THR dan bonus.
Aku gelisah sejak dini hari dan selama makan sahur. Biaya ONH harus segera dilunasi dalam beberapa hari kemudian. Setelah subuh aku tidak ingin tidur. Istriku memahami kekegelisahanku. Kami harus rela menjual mobil untuk menutupi ongkos haji. Akhirnya kami putuskan untuk pasrah saja. Kami isi waktu dengan jalan-jalan pagi di sekitar kompleks sambil mengarang lagu Islami untuk anak-anak. Aneh, inspirasi mengarang lagu demikian lancar mengalir. Setiba kembali di rumah aku menulis bait-baik itu dengan komputer dan mencetaknya untuk dibagi kepada teman-teman.
Aku terlambat tiba di kantor. Tidak sempat ikut rapat pagi. Melewati ruangan atasan dengan sungkan. Terbersit prasangka negatif saat tangannya melambai memanggilku. Duh, mau diapain aku?
Rupanya ia ingin mengajakku bicara mengenai hal yang paling ditunggu semua orang hari itu. Atasanku belum lama mengisi jabatan di bagianku. Aku dimintai saran sebab menurutnya aku staff paling senior. Dia belum tahu cara menyampaikan kepada bawahannya keputusan manajemen perusahaan mengenai THR dan bonus serta pesan pimpinan tertinggi.
Kepadanya kusarankan untuk memanggil karyawan satu per satu masuk ke dalam ruangannya untuk diberikan penjelasan secara pribadi. Atasanku mengganguk setuju. Karena aku sudah berada di ruangannya, dia memutuskan menjadikanku bawahan pertama yang menerima penjelasan. Kepuasan hakikatnya adalah posisi relatif antara harapan dan kenyataan. Aku tidak berharap banyak. Takut kecewa.
Lega rasanya hati ini saat atasanku menyampaikan keputusan rapat pimpinan untuk tetap memberikan bonus meski kondisi bisnis saat itu kurang menggembirakan. Suka cita itu bertambah setelah mengetahui besar bonus sebanding dengan tahun sebelumnya. Alhamdulillah, terbayang bonus itu melebihi ongkos haji kami. Pak Ustadz itu benar!!!
Ya Allah, telah Engkau cukupkan rezeki untuk biaya perjalanan haji kami. Maka karuniakan pula kepada kami keselamatan dalam perjalanan, kelancaran segala urusan, dan yang terpenting karuniakan kepada kami kekhusyukan selama peribadatan. Lindungi pula harta dan keluarga yang kami tinggalkan.
Salam untukmu wahai Nabi
Perjalanan haji dimulai menyelesaikan ritual sholat Arbain dan berziarah ke tempat-tempat bersejarah di Madinah. Roudoh, wilayah sempit antara makam dan mimbar Nabi, sebagai tempat ijabah berdoa menjadi incaran para jamaah. Aku memutuskan untuk mengunjungi Roudoh di malam hari. Allah mengabulkan doaku. Tepat jam 2:30 aku terbangun, lalu mandi dan memilih pakaian bersih terbaik. Sepanjang jalan menuju masjid Nabawi dan Raudoh aku berdoa dan banyak mengirim sholawat untuk Nabi. Sepagi itu kulihat banyak orang berduyun ingin masuk Roudoh. Aku ikut antri. Informasi yang kuketahui Roudoh ditandai dengan karpet putih.
Ketika merasa karpet yang diinjak berwarna putih, aku bertanya kepada seorang jamaah untuk menghilangkan keraguan. “Excuse me brother, where is Roudoh?”
“This is Roudoh! Shalat here two rakaat.” Jawab laki-laki itu sangat bersahabat sambil memberikan tempatnya kepadaku untuk sholat. Saat selesai sholat dan berdoa, aku mendengar suara riuh askar yang melarang orang sholat di sekitar makam Nabi. Demikian kuat Islam menolak syirik.
Aku ingin mendekat menuju mimbar untuk sholat dan berdoa sekali lagi. Dengan perlahan berjingkat melewati celah sempit jemaah yang sedang sholat atau duduk. Dari arah berlawanan, nampak seorang laki-laki ingin keluar. Ia juga harus melewati barisan jemaah. Tiba-tiba badannya agak oleng, hampir terjatuh. Alhamdulillah, lengannya dapat kutahan supaya tidak jatuh. Aku tidak persis ingat mukanya, namun laki-laki itu mengecupkan tangan kanan di bibirnya. Nampak berdoa. Kemudian ia menempelkannya tangannya di dadaku.
Suatu kenangan yang tidak terlupakan. Sebab ketika mengunjungi lagi Roudah, ada tangan yang menahanku agar tidak terjatuh. Barangsiapa mengerjakan kebajikan dengan penuh keikhlasan, maka Allah tidak pernah menyia-nyiakan amalannya.
“Suara-Suara” Itu Kembali Terdengar
Jemaah haji senantisa kembali dengan cerita-cerita yang sering kali tidak masuk akal. Sahabat pembaca, sadarilah pengalaman mereka adalah kesaksian spiritual yang memantapkan keimanan. Boleh jadi pengalaman itu terdengar memalukan. Tetapi nikmatilah. Sebab itu teguran Allah di dunia. Pasti lebih ringan ketimbang di akhirat. Dan aku hanyalah menambah koleksi kesaksian itu.
Kesaksianku adalah kembali mendengar ‘suara-suara’. Patut kuingatkan ‘suara-suara’ itu bukan produk akustik yang dapat didengar setiap orang. ‘Suara-suara’ itu melintas di dalam hati dalam bentuk dialog maupun teguran. "Suara" itu mengurai hikmah di balik peristiwa, menjawab pertanyaan kritis, atau menyertai diri menghalau ketakutan. “Suara” itu sangat kuat saat menjalani ibadah tawaf.
Teguran Allah: Jangan Menunda Berbuat Baik
Saat itu kami telah mengenakan busana ikhrom. Baru tiba di sebuah penginapan di Mekkah dekat kawasan Pasar Seng dari miqot Bir Ali. Badanku terasa letih. Selain perjalanan cukup jauh dan lalu lintas Mekkah padat, jemaah harus memindahkan koper yang cukup berat. Sebagai yang pertama kali masuk kamar, aku merasa mendapat hak memilih tempat tidur yang paling menyenangkan. Kamar itu memuat lima tempat tidur, empat di antaranya bertingkat dua. Jadi tidak salah bila aku memilih tempat tidur tunggal.
Aku merebahkan diriku sejenak, melepaskan penat. Sayup terdengar satu per satu teman-temanku datang. Ada yang bergembira mendapat dipan bawah. Namun ada yang berceloteh sebab mesti menempati dipan atas. Kulirik yang terakhir datang adalah seorang kakek yang harus menempati dipan atas terakhir. Dan terjadilah konflik bathin. Haruskah aku memberikan tempatku?
Karena merasa letih aku memutuskan untuk menunggu sampai teman-temanku saja yang menempati dipan bawah rela memberikan tempatnya. Tiba-tiba aku merasa mual. Dan muntah tak terkendali muncrat mengotori sepre. Tibatiba terdengar "suara": “Mengapa kamu seperti itu, padahal kamu sudah mengenakan ikhrom?”
Segera aku istigfar. Ya Allah, ampunilah perbuatan buruk hambaMu. Muntahku tidak kunjung reda. Istriku datang menghampiri setelah diberitahu kondisiku. Kepadanya kubisikkan bahwa aku sedang ditegur. Akhirnya kuputuskan untuk membersihkan tempat tidurku dan memberikannya kepada sang kakek. “Pak, pindah saja ke tempat saya. Tetapi maaf yah, tempatnya agak kotor kena muntah.” Usulku sambil sambil membuka sepree untuk dipindahkan.
“Terima kasih Mas, nggak apa-apa kok. Tempatnya masih bersih.” Sang kakek itu menyetujui tawaranku. Namun, rasa mualku belum reda. Rasa malu bertambah ketika hampir semua jemaah sudah berangkat tawaf umrah dan pimpinan rombongan berkata: “Wah kalau Mas Budi masih sakit, tawaf umrahnya bisa diundur besok saja.” Tidak ada lain yang dapat kukerjakan kecuali memperbanyak istigfar. Sementara istri dengan setia menggosok minyak angin di sekitar leher dan dada. Secara berangsur badan terasa segar. Dan aku putuskan ikut rombongan terakhir untuk tawaf umrah.
Ada rasa takzim saat pertama kali memasuki pintu Babus Salam Masjidil Haram. Alhamdulillah, aku bisa melihat masjid itu. Teringat cerita seorang karibku yang lebih dulu pergi haji. Ada salah satu anggota jemaahnya yang tidak bisa melihat masjid sebesar itu. Jemaah itu baru bisa melihatnya setelah istigfar beberapa kali.
Karena pelataran utama padat sekali, kami memutuskan untuk tawaf di lantai dua yang lebih lowong. MasyaAllah!!! Aku yang dikira kurang sehat ternyata mampu tawaf dengan penuh semangat. Bahkan sering ditegur karena berada jauh di depan meninggalkan rombongan. Pimpinan rombongan kaget, “Lho, tadi Mas Budi kelihatannya sakit. Kok sekarang nampak sehat sekali”
Allah tidak saja Maha Pengampun, Allah membalas kebaikan dengan kebaikan. Aku mendapat ganti tempat tidur yang lebih baik. Lebih empuk, lebih dekat ke kamar mandi dan kamar makan. Juga ada jendela kaca sehingga aku bisa melihat kondisi jalan di luar. Subhanallah. Teguran itu pelajaran seumur hidupku.Tidak ada rasa malu sedikitpun untuk menceritakannya kepada siapapun. Berbuat baik jangan ditunda-tunda!
Tawaf Latihan Berislam
Buku Haji karangan Dr. Ali Syariati – semoga Allah membalas kemurahannya membagi ilmu – menegaskan jemaah haji hendaknya berlaku pasif selagi tawaf. Pasif dalam kepasrahan sepenuhnya mengikuti simulasi gerak objek semesta di dalam orbitnya masing-masing mengelilingi pusat semesta. Pasif seperti elektron berotasi seputar inti atom. Pasif seperti aliran sungai menuju samudera. Jemaah harus menghindari lonjakan ekspresi hawa nafsu yang menimbulkan gesekan atau membuat diri terlempar keluar orbit. Pasrahkan jiwa sepenuhnya di dalam genggaman pengaturan dan pewalian Allah. Leburlah diri di dalam penghayatan doa yang melantunkan kepapaan hamba di hadapan Allah, Rabb Semesta Alam Yang Maha Perkasa dan Maha Agung.
Aku memperingatkan istri untuk disiplin menghayati makna tawaf itu. Ketika memulai tawaf haji, kami memutuskan untuk mendekap sikut sebab kuatir tidak sengaja menyikut orang lain. Pandangan kami lebih sering tertumpu ke lantai. Bila ada barang yang dapat mengganggu, seperti tissue atau peniti, kami pungut sembari berdoa: “Ya Allah, sebagaimana hambaMu membuang halangan ini, maka hilangkan pula halangan dalam perjalanan hidup hamba.”
Kami bergerak mengambang mengikuti arus. Pada putaran keenam kami terdorong mendekati bangunan Kabah hingga menempel di dindingnya. Alhamdulillah, aku tetap diberikan disiplin memperingatkan diri sendiri dan istri "Ingat, ini hanya batu bangunan biasa. Tidak memberikan mudharat atau manfaat. Kalau ingin menyentuhnya, sentuh saja sekarang tanpa mengharap apa-apa."
Kami menempelkan tangan sekali di dinding Kabah. Lalu melanjutkan tawaf.
Kesempatan Mencium Hajar Aswad
Melewati Rukun Yamani, kami melihat banyak orang berebut ingin mencium Hajar Aswad. Dalam hati aku merintih, “Ya Allah, tentu saja hambaMu ini ingin mengikuti sunah rasulMu mencium Hajar Aswad. Namun bila untuk itu kami harus menyakiti orang lain, kami tidak mau.”
Terdengar ‘suara’, “InsyaAllah, engkau akan diberikan kesempatan mencium Hajar Aswad.” Tangan kananku tak terkendali bergerak sehingga terkecup bibir. Aku sampaikan pesan ‘suara’ itu kepada istriku Adelina yang rapat memegang pinggangku.
Kami terus ikut mengambang mendekati Hajar Aswad. Ketika jaraknya semakin mendekat, kulihat seorang mengambil tongkat dari balik gamisnya. Aku kaget. Untuk apa tongkat itu? Ketika memperhatikan orang-orang saling berebut, aku sempat histeris dan memperingatkan semua orang dalam bahasa Indonesia dan Inggris, “Jangan menyakiti orang di sini. Don’t hurt anybody here!” Teriakku lantang beberapa kali.
Situasi tidak membaik. Akhirnya aku kembali membathin. “Ya Allah, hambaMu ini tidak ingin mencium Hajar Aswad sebab nanti akan menyakiti orang lain.”
Kami kemudian terdorong keluar mendekati Maqom Ibrahim dan sudah memulai putaran ketujuh. Terakhir! Ya, itu putaran terakhir. Jadi tidak mencium Hajar Aswad adalah ketentuan Allah. Kami pasrah.
Tiba-tiba aku teringat bahwa tempat sesuci ini tentunya dijaga oleh banyak Malaikat. Lalu kucoba membuka komunikasi, meminta mereka untuk mendoakan kami. “Wahai para Malaikat yang menjaga tempat ini, tidakkah kalian ketahui bahwa selama ini aku selalu mengakui keberadaan kalian dengan berdzikir kepada Allah. Dengan membacakan ayat suci Al Quran yang mengabadikan pernyataan kalian pada saat-saat awal penciptaan Adam.”
Sepulang haji sering kurenungkan mengapa kata "kalian" terpilih digunakan kepada Malaikat yang suci? Rasanya pilihan kata itu arogan. Apakah kata itu terpaksa kupilih sekedar untuk mendudukkan keistimewaan manusia dibanding Malaikat di hadapan Allah?
Setelah membaca super-istigfar aku lalu melafazkan Al Baqarah ayat 32 yang memuat pengakuan para Malaikat. “Subhanaka laa ilmalanaa illa maa allam tanaa innaka antal ‘alimul hakiim.” Maha Suci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Terdengar kembali suara, “Bersabarlah sebentar di sini.” Tidak ada lagi yang kukerjakan kecuali bersabar. Tidak memaksakan diri. Tenang-tenang saja menunggu giliran. Kami semakin mendekati Hajar Aswad. Terlihat dua orang wanita tipikal Timur Tengah. Salah satu dari keduanya berteriak lantang kepada orang-orang sekitar. Mungkin mereka mengharapkan para laki-laki memberi mereka kesempatan mencium Hajar Aswad.
Rasanya tidak terduga kami sudah berada tepat di depan Hajar Aswad. Kucermati penampilannya. Nampak banyak tonjolan seperti batu bopeng. Tanganku bergerak mengusap. Dingin. Tak terasa istimewa. Aku tidak menciumnya. Mungkin karena tadi tanganku telah kukecup. Kemudian kuminta istriku untuk menciumnya.
Dia kaget dengan kesempatan ini. Dia nampak ragu dan memberikan dulu kesempatannya kepada dua orang wanita tadi dengan bahasa Inggris seadanya. “Sisters, kiss kiss.” Kedua wanita itu mencium Hajar Aswad bergantian. Istriku tetap bengong menatap Hajar Aswad. Suatu kesempatan yang sangat langka mengingat demikian banyaknya orang di situ. Waktu serasa berhenti untuk kami. Hingga aku terpaksa berteriak, “Adek, cepat cium!” Lalu istriku menciumnya. Dua kali. Aku melihat seorang di depan kami berteriak lantang menunjuk ke arah kami. “Barkah. barkah. barkah!”
Oh, anak-anak kami. Pahamilah kesaksikan ini sebagai tanda keberadaan Tuhan kita. Berislam sesungguhnya mendidik jiwa menghayati ketentuan dan pewalian Allah sajalah yang terbaik. Ya Allah, karuniakan kepada kami lebih banyak kesaksian nikmatnya hanya menjadi hambaMu.
Doa Di Depan Multazam
Setelah Hajar Aswad kami mendapat kesempatan berdoa di depan Multazam, pintu Kabah yang terbuat dari emas. Tempat terbaik untuk berdoa. Allah kembali menjaga disiplin kami. Dengan penuh keharuan, aku berseru sambil menunjuk Multazam, “Kami tidak datang ke sini untuk melihat gedung ini. Tetapi kami ingin bertemu dengan Pemiliknya!”
Rasa haru semakin meliputi dada. Air mata hangat menetes mengaliri pipi. Merasakan kenikmatan itu sebagai pertanda penerimaan Pemilik rumah tua itu. Namun masih tersisa keraguan. “Ya Allah, jangan sampai air mata yang mengalir ini dari seorang yang munafik. Karena seorang munafik menitikkan air mata dengan menggersangkan hatinya.”
Sahabat, kenikmatan saat itu tidak terbelikan uang. Air mata tumpah semakin deras. Sementara dada terasa terangkat mengembang. Nikmat. Tenang. Damai. Tak terlintas kuatir atau cemas. Ya Allah, hambaMu datang memenuhi panggilanMu.
Kupanjatkan doa dengan terlebih dahulu memohon ampun atas segala dosa dan kesalahanku selama ini. Termasuk atas kebodohanku meminta sesuatu yang tidak pantas. Tidak pantas dalam ilmuNya. Tidak sesuai dengan yang telah ditetapkanNya untukku.
Begitu puas rasanya berdoa di situ. Aku mensyukuri nikmat bimbingan Allah selama ini. Musibah yang mengguncangkan jiwa selama ini reaksi terhadap dekapan kasihNya. Guncangan itu membuka mata bathin yang selama ini tertutup deru amarah, bujukan syahwat, dan prasangka buruk kepada Allah. Aku juga mensyukuri menerima undanganNya menunaikan haji.
Di depan Multazam itu, aku menyebutkan kembali satu per satu “empat kata” yang selama ini diperdengarkan kepadaku: “Bersih, Sabar, Syukur, Ilmu.” Empat kata yang menadai pintu-pintu hikmah. Hanya diperlukan satu kunci untuk dapat memasuki semua pintu hikmah: Cinta!
Dapatkan Cinta Allah dengan mencintai makhlukNya. Kami berdoa agar Allah menjaga mahligai rumah tangga kami. Membimbing kami sebagai orang tua yang diberi amanah mendidik anak keturunan menjadi hambaNya yang bertakwa. Tentu saja, ada juga permintaan khusus untuk anak-anak kami yang tidak ingin kuceritakan di sini.
Sekembali ke Indonesia, aku menjaga empat kata tersebut dengan menjalankan sholat Dhuha empat rakaat setiap pagi sebelum berangkat ke kantor. Rakaat pertama, selesai Fatihah, aku membaca ayat yang berkenaan dengan Bersih. Rakaat kedua Sabar, ketiga Syukur dan terakhir Ilmu.
Sholat di Hijr Ismail
Setelah itu kami menuju Hijr Ismail untuk sholat. Alhamdulillah kami mendapat tempat yang baik untuk sholat. Kamipun berdoa untuk diri kami sendiri. Dan juga menyampaikan doa pesanan teman-teman. Di tempat ini berdoa lebih leluasa. Bisa lebih lama. Hijr Ismail adalah bagian dari bangunan Kabah. Jadi tidak sah dijadikan tempat tawaf. Setelah puas, kami memberikan tempat kepada jemaah lain agar mereka juga mendapat keleluasaan menunai sholat dan berdoa.
Puas Meminum Air Cinta Kasih
Selesai berdoa di Hijr Ismail, kami mengikuti arus putaran tawaf hingga dapat keluar dengan mudah. Lalu bersiap sholat menghadap Maqom Ibrahim. Setelah itu kami bersiap menuju Sumur Zam Zam. Ketika hendak menuju Sumur aku membathin bahwa kami akan meminum air sebagai penghargaan Allah untuk ikhtiar cinta kasih seorang Ibu Hajar mempertahankan kehidupan bayinya Ismail. Belum jauh masuk ke daerah Sumur, tiba-tiba ada orang yang selesai minum keluar sehingga aku langsung mendapatkan tempat minum. Di situ aku minum sepuasnya air yang sejuk itu. Termasuk membasuh muka dan kepala. Setelah itu keluar, menunggu istriku Adelina selesai meminum air Zam Zam di bilik kaum perempuan.
Bersihkan Niatmu
Sesampai di penginapan, kami bertukar pengalaman. Kami menceritakan kepada teman-teman kemudahan mencium Hajar Aswad. Seorang teman menceritakan ‘kegagalannya’ mencium Hadjar Aswad. Padahal, saat itu dia sudah demikian dekat. Ketika itu dia merasa badannya dengan ringan diangkat "seseorang" menjauhi Hajar Aswad. Kepada kami dia mengakui sempat mempunyai niat kurang baik saat ingin mencium Hajar Aswad.
Sai’: Kuatkan Dirimu Dalam Beriktiar
Berbeda dengan tawaf yang pasif, ketika menunaikan Sai jemaah harus aktif menguatkan ikhtiar. Kewajiban setiap muslim hanyalah berikhtiar sekuatnya. Jangan mengharapkan hasil lebih dulu. Sebab mengharapkan hasil setara menabur bibit kekecewaan yang engkau akan tuai apabila harapanmu tidak tergapai. Kuatkan ikhtiarmu, engkau akan menjadi seorang profesional dalam bidangmu. Hargai anakmu berdasarkan disiplinnya mengerjakan tugas, bukan dari nilai yang dia peroleh. Hargai kegigihan ikhtiar suamimu mencari nafkah, bukan besar uang yang dibawanya pulang.
Alhamdulillah Sai dapat kami tunaikan dengan lancar. Seorang teman menceritakan "teguran" untuk istrinya saat Sai. Sang istri terlepas dari pegangannya. Seolah hilang tertelan di antara kerumunan orang banyak. Sang istri dijumpanya kembali di penginapan dalam keadaan menangis. Temanku menceritakan langsung bahwa kejadian itu hanya terjadi seketika. Beberapa detik saja. Dia tidak menemukan istrinya di daerah Sai.
Jumrah: Melempar Kejahatan Dalam Dirimu
Rangkaian ibadah yang cukup berat adalah melempar jumrah. Sebab seringkali, jemaah yang kurang memahami hakikatnya berdesakan hingga memakan korban. Buku “Haji” Ali Syariati mengupas secara mendalam makna melempar jumrah. Ketiga berhala yang dilempar melambangkan tiga atribut Allah (Rabb, Maalik dan Ilah) yang ingin dimiliki makhluk.
Hayatilah Surat Al Fatihah dan An Nass, pembuka dan penutup Al Quran. Keduanya memuat kesepadanan ketiga atribut Allah diatas. Ingatlah, sesungguhnya kita melempar kejahatan syetani yang ada di dalam diri kita. Jangan sampai justru kita yang meragakan syetan, melempar dengan penuh nafsu.
Aku berdoa kepada Allah untuk memberikan keselamatan dan kemudahan saat mengerjakan rangkaian ibadah ini. Aku berkonsentrasi menghayati kedua surat diatas, banyak beristigfar, dan menunggu bimbingan. Kembali “suara” itu terdengar menunjukkan jalan, belok kiri atau belok kanan. Setelah menunaikan lemparan salah satu jumrah, kami menepi untuk berdoa, bersyukur kepada Allah.
Tidak terlupakan saat “suara” itu menyuruhku berhenti padahal kulihat ada jarak untuk masuk mendekati Jumrah Aqobah. Tiba-tiba aku merasa mengerti maksudnya. Jarak itu berguna untuk menyelamatkan jemaah yang berada di depan dari tekanan orang yang datang. Seorang jemaah yang ingin keluar memelukku. Ia berterima kasih mendapatkan ruangan. Kemudian kami dapat masuk mendekati jumrah. Melempar untuk diri sendiri dan anggota jemaah yang berhalangan. Saking dekatnya dengan jumrah, terasa beberapa kali kepalaku menerima lemparan batu kecil.
Arafah: Padang Kebijakan
Arafah puncak haji. Tidak sah haji tanpa kehadiran di Arafah. Meski menemukan banyak pepohonan hijau, daerah itu sangat panas. Setelah mendengar kutbah Arafah, kami keluar mencari tempat sendiri-sendiri untuk merenung. Ada buku doa Arafah milik anggota jemaah yang kubaca. Bagus sekali isinya. Sampai menangis. Lalu buku itu diedarkan untuk dibaca jemaah lain. Istriku sangat tertarik dengan buku itu. Sepulang haji, ia mengcopy beberapa eksemplar untuk dibagikan kepada jemaah calon haji.
Setelah berdoa, aku tertarik memantau kondisi sekitar. Sebagaimana di Mina, begitu banyak sampah di Arafah. Terutama bekas makanan dan minuman yang melimpah di tempat itu. Banyak orang berderma membagikan makanan kepada jemaah. Aku berdisplin tidak ingin membuang sampah sembarangan. Bila ada kesempatan membersihkan sampah, aku berdoa "Ya Allah, sebagaimana hambaMu ini tidak ingin mengotori bumiMu yang suci, maka sucikan pula hati hamba dari kemusyrikan dan kemunafikan"
Doa Orang Tua Terkabul
Begitu banyak kenikmatan yang kami rasakan selama menunaikan ibadah membuatku bertanya. Mengapa semua kemudahan itu aku rasakan? Pertanyaan itu kuajukan setelah selesai sholat di lantai dua Masjidil Haram menghadap ke Multazam. Terdengar kembali "suara" itu menjawab: "Itu karena doa Ibumu…"
Sontak aku menangis terharu. Tidak mempedulikan tangis itu bakal terdengar siapa saja. Berkali-kali aku memanggil ibuku. Untuk berterima kasih. Allah menitipkan kasihNya kepada setiap orang tua, terutama Ibu, agar kita mengenal cintaNya.
Aku teringat "kebangkitan" spiritualku awal 1997. Hanyalah doa ibu yang menyelamatkanku dari goncangan kejiwaan saat pertama kali aku mendengar "suara-suara". Saat semua orang tidak berdaya dengan masalahku, ibuku datang. Kukatakan kepada beliau bahwa aku sedang mengalami "sesuatu". Aku hanya minta didoakan keselamatan. Aku sangat menyakini doa Ibu sangat mustajab. Tidak terhalang atau mampu dihalangi oleh syetan atau iblis durjana sekalipun.
Ibuku lalu mengajarkan sepasang doa. Doa pertama dibaca oleh sang anak. Kemudian dibalas oleh orang tua. Doa itu kami senantiasa ajarkan kepada anak-anak kami. Dan Ibuku benar. Setelah didoakan keadaanku membaik. Kemudian "suara" itu menjelaskan banyak hal, termasuk kandungan surat Al Fatihah. Peristiwa itu kami abadikan sebagai nama putri kami Dina Zahra Fatihah.
Dalam keharuan, aku menyampaikan kesaksian kepada Allah bahwa kedua orang tuaku telah menunaikan amanah mereka mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya. Aku mendoakan kebaikan untuk keduanya. Di sanalah, aku berdoa kepada Allah semoga mudah menghapalkan ayat 23 dan 24 surat Al Israa untuk bacaan sholat:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil"
Sobatku, bacalah dan hafalkan ayat itu dengan tartil. Nikmatilah alunan Firman Allah itu. Resapi pesan moral yang dikandung. Ada awal untuk menghadirkan dan menikmati Tuhan melalui kepandaian kita berterima kasih menghargai pengorbanan orang tua.
Sholat Di Atap Masjid dan Jemaah Mesir
Saat sholat Jumat kali kedua, aku terlambat datang sehingga sulit mendapatkan tempat yang menyenangkan. Sholat Jumat sebelumnya, akupun tidak memperoleh tempat datar, terpaksa harus berdiri di tangga. Pengalaman pertama kali sholat Jumat yang tidak memungkinkan sujud. Demikian padatnya keadaan Masjidil Haram saat sholat Jumat.
“Suara” itu terdengar menyarankan, “Mengapa engkau tidak mencoba sholat di bagian atap Masjid?” Usulan tidak menarik. Sholat di lantai dekat pintu Babus Salam saja panas, apalagi di atap. “Nggak ah, mana tahan. Terik sekali!”
"Suara" itu kembali menjawab. Malah menantang. “Tidak! Akan menyenangkan. Ayolah.”
Kuputuskan mengikuti saran’nya’. Akhirnya terpilih tempat yang cukup strategis, tetapi tetap saja terpanggang panas. Lalu kukenakan topi payung dan selendang untuk menahan panas.
Tidak berapa lama datang seorang jamaah, yang akhirnya kukenal berasal dari Mesir. Ia membawa payung. Teduh bayangan payung jatuh tepat ke arahku, melindungiku dari sengatan panas. Ingin sekali aku mengaji. Tetapi suaraku serak. Sebab sedari selesai Subuh hingga Dhuha aku membaca Al Quran di dalam Masjid.
Jemaah Mesir itu membaca Al Quran dengan dialek khas namun bacaannya jelas. Tiba-tiba dia terbatuk. Dengan cepat, kutawarkan permen menthol. “Good for your throat” bujukku. Dia menerimanya, tetapi tidak memakannya. Ketika ingin membaca surah yang lain, aku memberanikan diri ‘memesan’ surat Al Mulk untuk dia baca. Dan diapun membaca dengan baik.
Ketika surat Al Mulk selesai, dia kembali batuk. Aku lalu tawarkan Komix. Dia menerimanya. Dan aku kembali ‘memesan’ surah Ar Rahman. Dia menyetujui, lalu membacanya dengan tartil.
Selesai membaca surat Ar Rahman, aku menawarkan dirinya untuk istrirahat minum. Kutunjukkan botol mineral Dua Tang yang aku bawa dari Indonesia. Aku peragakan bagaimana air tidak akan muncrat bila knopnya ditekan dan air akan muncrat bila knop ditarik. Kuberikan kepadanya sebagai hadiah. Dia senang sekali. Tetapi sekali lagi kembali “memesan” surah Al Waqiah. Dia kembali dengan suka hati membacanya dengan baik.
Selesai dia mengaji, kami ngobrol sebentar. Dia nampak tidak banyak mengerti bahasa Inggris. Ketika dia menyebutkan Egypt, aku menduga dia berasal dari Mesir. Spontan aku berkata: “Oh Firaun? Firaun!” Dia hanya tersenyum simpul membenarkan.
Meski pakai bahasa tarzan, suasana menyenangkan. Tidak terasa sengatan terik matahari. Namanya Ahmad. Dia mendoakanku suatu hari dapat mengunjungi negerinya Mesir. Sobat, jangan menyepelekan doa di Masjidil Haram. InsyaAllah, suatu saat aku – malah kudoakan beserta anak mantuku – berziarah ke Mesir.
Akhirnya saat sholat Jumat tiba. Ada keraguan panas akan menyengat meski seorang yang badannya tinggi berada di depanku. Keraguanku tercampakkan, saat semilir angin terasa sejuk membelai kulitku berulang-ulang. Ya Allah, janjimu benar. Sholat di atap Masjidil Haram menyenangkan. Sejuk. Dan aku dapat mendengarkan surah yang ingin kubaca pada hari Jumat lewat perantaraan lisan seorang jemaah Mesir.
Minuman Hangat Sebelum Tahajjud
Aku menguatkan niat untuk Tahajjud di Masjidil Haram. Saat terbangun, aku ingin lebih dulu menyenangkan diri dengan minuman hangat. Teh Susu misalnya. Namun sayang sekali, pemanas air di penginapan kami belum berfungsi. Air masih dingin untuk membuat seduhan. Aku mengharapkan dalam situasi dini hari seperti ini masih ada penjual minuman. “Suara” itu kembali terdengar, “InsyaAllah, engkau akan mendapatkan penjual minuman teh susu hangat.”
Aku melanjutkan langkah menelusuri pertokoan Pasar Seng yang masih sepi. Kucoba memperlambat langkah sembari mengawasi jika ada penjual minuman. Ternyata tidak ada hingga mendekati tangga atas Masjidil Haram. Aku langsung kembali membathin. Tak apalah. Minum air Zam Zam saja cukup.
Ketika hendak masuk pintu masjid, aku melihat seseorang melintas sambil hati-hati memegang gelas yang nampak mengepul. Nah, pasti di sekitar sini ada penjual minuman. Lalu kucoba mengikuti jalan yang agak mendaki. Masya Allah, tidak jauh kulihat satu-satunya kedai yang masih buka. Langsung ku hampiri membeli segelas teh-susu.
Berhajilah Selagi Muda
Ketika kami selesai sholat di lantai dua menghadap Multazam, aku merasa ada tangan seseorang yang menyentuh pundakku. Ketika aku menoleh, kulihat seorang bapak yang cukup tua. Tersenyum. Namun tiba-tiba dia menangis. Aku salah tingkah. Mau bertindak apa? Kudekati saja sambil meletakkan tanganku di pundaknya. Seolah merangkul. Aku menunggu hingga dia puas menangis. Masih dalam keadaan terisyak, bapak itu berkata: "Bapak terharu melihat kalian. Masih begitu muda, tetapi sudah memenuhi panggilan Allah berhaji"
Kami jadi turut terharu. Sembari berusaha keras menutup rapat celah-celah kesombongan yang ditiupkan syaitan, aku menyarankan supaya bapak itu untuk mendoakan semoga anak-anaknya dapat berangkat haji selagi muda. Bapak itu mengangguk. Dia kemudian menceritakan asal dan kondisi anak-anaknya. Ya Allah, mudahkanlah bagi anak keturunannya menunaikan haji selagi muda.
Doa Untuk Pak Sabeni
Setelah merampungkan tawaf haji, kami menghubungi bapak mertua di Jakarta. Ada kabar duka. Pak Sabeni, supir kami yang baik hatinya, berpulang tiba-tiba. Kami memanjatkan doa untuknya. Aku membacakan Surat Yasin khusus untuknya di Masjidil Haram. Semoga Allah mengabulkan doa kami, mensejahterakan almarhum di alam barzahnya. Memberi kesabaran dan keikhlasan kepada keluarga yang ditinggalkan. Istriku sangat terkejut. Ia mengenang kebaikan almarhum yang akan menjaga anak-anak kami selama kami menunaikan ibadah haji.
Penutup
Kami cukupkan penuturan pengalaman haji kami di sini. Penuturan ini hanyalah sebagian ekspresi kesyukuran kami kepada Allah. Tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun dari siapapun. Kecuali dari Allah. Semoga penuturan ini dapat menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi calon jemaah haji khususnya.
Rawatlah kerinduan Anda berhaji dengan menyakini haji adalah kewajiban. Niatkan pergi haji dengan menyisihkan sejumlah uang tabungan pembuka. Semoga Allah menjadikan perjalanan haji sebagai bagian penting untuk kematangan spiritual kita. Semoga Allah berkenan menunjukkan sebagian tanda-tanda keagunganNya saat Anda berhaji. Amien