Mitos, sejarah, atau rumor bisa menjadi sebuah pengetahuan yang melekat abadi ketika hal itu ditangkap oleh pikiran manusia. Memang itu tidak pasti. Semua tergantung kepada orangnya masing-masing. Namun, dalam keseharian kita- khususnya pada saat berdiskusi dengan orang lain, kita jarang melakukan
cross-check tehadap kebenaran materi dikusinya. Itu biasanya berhubungan dengan masalah keseharian yang dianggap tidak penting. Minimal, bukan sesuatu yang tingkat urgensinya tinggi. Bukan prioritas. Obrolan biasa-biasa saja. Dan obrolan semacam itu sering dijumpai tatkala berkomunikasi dengan masyarakat di tempat wisata. Herannya, tidak jarang kita pun ikut-ikutan menyampaikan informasi tersebut kepada orang lain. Akhirnya obrolan pun selalu diawali dengan kata-kata sepeti:
konon,
katanya, atau
kayaknya begitu deh. Sebuah benteng atau tameng untuk menutup ketidakyakinan kita akan kebenaran informasinya. Atau, sebuah bentuk kemalasan untuk menyelidiki apakah informasi tersebut benar atau tidak. Ketika informasi menyebar ke mana-mana, bisa terjadi bias informasi. Distorsi, pembelokan arti, bahkan bisa berbalik artinya. Yang salah seolah benar, yang benar berubah salah. Salah satu skenario akhirnya, informasi tersebut bisa menjadi "pengetahuan" bersama yang turun-temurun, terlepas dari benar dan salah. Fakta atau fiksi seolah berbaur ketika berhubungan dengan tradisi lisan.
Pesona Masa Lalu Begitulah yang terjadi dengan berbagai informasi yang diterima ketika kami berkunjung ke Senggigi dan Gili Trawangan di Pulau Lombok. Begitu banyak simbol dan jejak masa lalu, serta fakta simbol budaya masa kini di sana. Semuanya merasuk dan terdokumentasi pada memori kita, terlepas apakah ingatan tersebut akan menempel selamanya, atau sekedar numpang lewat saja, lalu terdesak oleh informasi baru. Lupa dan terlupakan begitu saja. Namun penghuni di sana- atau minimal orang yang ikut mengais rezeki, tetap berupaya untuk melestarikan cerita dulu dan pesona kini demi melayani pelancong dari dalam dan luar negeri.
KEMBALI KE ARTIKEL