Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Menulislah Jika Ingin Batas Usia Pensiun Diperpanjang

1 Juni 2011   04:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:59 491 1
Salah satu kebijakan pendidikan tinggi yang terbaru adalah perpanjangan batas usia guru besar, yang salah satu pertimbangannya adalah produktifitas menulis. Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Dikti No. 739/E/C/2011 yang ditandatangani pada tanggal 24 Mei 2011. Kebijakan tersebut berlaku untuk pengajuan perpanjangan batas usia pensiun mulai hari ini, 1 Juni 2011. Sebuah kado istimewa di hari lahirnya Pancasila bagi para Guru Besar menjelang pensiun normal namun tetap produktif menulis. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor Tahun 2008, usia pensiun normal PNS adalah 65 tahun. Khusus untuk Guru Besar, batas usia pensiun tersebut dapat diperpanjang samai usia 70 tahun.

Surat Edaran tanggal 24 Mei tersebut sebenarnya hanya memperjelas Surat Edaran Dirjen Dikti sebelumnya, yaitu No. 306/E/C/2011 tertanggal  “Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk masyarakat, sehingga profesor yang tidak melaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kewajiban khusus tersebut dalam 1 (satu) terakhir, tidak layak untuk diberikan perpanjangan batas usia pensiun”. Tidak sembarang karya tulis yang harus dipublikasikan. Surat Edaran tersebut menyebutkan bahwa “Karya ilmiah yang dipersyaratkan tersebut yakni karya ilmiah yang dipublikasikan pada Jurnal International dan yang terdaftar pada “SCOPUS” atau yang setara”.

Pasti selalu ada pertimbangan atau kondisi yang melatarbelakangi kebijakan baru tersebut. Saya menduga itu sebagai respon terhadap sinyalemen negatif tentang “pergurubesaran” di Indonesia. Saya mencoba mengulas beberapa hal terkait dengan sinyalemen tersebut.

Tak bisa dipungkiri bahwa guru besar adalah jabatan akademik tertinggi yang bisa diraih oleh Dosen. Penghargaan dan apresiasi tinggi pun diberikan oleh pemerintah, yaitu dengan memberikan tunjangan kehormatan dan sertifikasi pendidik. Apresiasi tersebut merupakan amanah dari UU Guru dan Dosen. Salah satu dampak signifikan dari pemberian insentif tersebut adalah semakin antusiasnya dosen di Indonesia untuk mengurus kepangkatan, atau yang sering disebut angka kredit atau KUM. Peningkatan jabatan akademik memang didasarkan pada seberapa besar angka kredit yang bisa dicapai oleh dosen. Jumlah angka kredit minimal untuk meraih Guru Besar adalah 850- atau jika mau mantap, mencapai poin 1000, yang dikumpulkan dari kegiatan pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, atau kegiatan khusus. Intinya ada tata cara penilaian terhadap setiap prestasi atau kegiatan yang dilakukan dosen.

Semangat yang menggebu-gebu untuk mendapatkan kepangkatan atau jabatan akademik tersebut kadang melupakan etika ilmiah yang seharusnya dijunjung tinggi. Memang kita bisa berkilah bahwa itu ulah oknum. Namun ketika itu terjadi di dunia pendidikan, kejujuran atau integritas adalah harga mati. Kita pun sering mendengar jargon bahwa plagiat adalah “dosa besar” yang tidak patut diampuni. Berbicara soal plagiarsime memang ada tingkatannya, atau “derajat dosa”-nya. Mulai dari yang terberat yakni mengakui karya orang lain sebagai karya milik sendiri. Cuma diganti nama penulisnya, sedangkan judul dan isi sama. Atau bisa juga mencuplik sebagian besar dari karya orang lain. Modus lainnya yang cukup marak adalah self-plagiarism, atau bisa juga sekedar mendaur ulang paper lama untuk dimodifikasi menjadi paper baru untuk dipublikasikan di tempat lain. Apapun kadar pelanggarannya, semua itu bisa mencederai integritas dosen di perguruan tinggi. Mulai tahun ini Dikti pun mengharuskan setiap pengajuan perhitungan kepangkatan harus menandatangani pakta integritas. Sebuah upaya yang baik, walaupun bukan menjadi jaminan pelanggaran etika tidak terjadi lagi di perguruan tinggi.

Beban anggaran tunjangan memang semakin besar jika semakin banyak dosen yang memperoleh sertifikasi profesi sebagai pendidik, serta semakin banyaknya Guru Besar di Indonesia. Tunjangan setifikasi dan tunjangan kehormatan pun menyedot anggaran pendidikan yang menurut UU minimal sebesar 20 persen. Wajar dan memang perlu jika akhirnya pemerintah selalu meminta pertanggungjawaban pemberian tunjangan tersebut. Seperti profesi lainnya, program pengembangan profesionalisme berkelanjutan pun telah diterapkan dalam profesi pendidik. Secara reguler, setiap dosen yang sudah memiliki sertifikasi pendidik, diwajibkan melaporkan kiprah atau kinerjanya setiap semester. Kewajiban pelaporan kinerja tersebut malah lebih berat untuk level Guru Besar. Jadi bisa dimengerti kebijakan tentang perpanjangan usia pensiun ini.

Sebagai jabatan akademik tertinggi, tulisan Guru Besar pun harus berkualitas tinggi. Salah satu ukurannya adalah tulisan tersebut dapat dipublikasikan pada Jurnal International. Namun saat ini, tidak semua Jurnal International mempunyai tingkat mutu yang sama. Dikti pun menyadari hal itu. Memang ada beberapa ukuran lain yang dapat menilai mutu karya ilmiah yang dipublikasikan pada Jurnal International, salah satunya adalah “Citation Index”, yaitu seberapa banyak karya ilmiah tersebut dikutip oleh orang lain. Dikti pun menyebutkan secara khusus tentang SCOPUS yang merupakan basis data karya ilmiah di sleuruh dunia. SCOPUS tersebut juga memberikan informasi tentang Citation Index dari setiap karya ilmiah. Penyebutan secara khusus SCOPUS mungkin berkaitan erat dengan sistem pemeringkatan “World-Class University”  dari QS Rating System. Dan jumlah dosen dan karya ilmiah yang terdaftar di SCOPUS merupakan salah satu indikator pada lembaga pemeringkat tersebut. Untuk indikator ini saja, Indonesia memang masih tergolong negara yang kurang produktif menulis di Jurnal International.

Jadi marilah kita menulis terus, biarpun hanya di Kompasiana ini :)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun