Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Menyoal Gaji Para Bankir

31 Maret 2011   07:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:15 676 0
Saya tertarik dengan dua judul berita di Kompas Online,  "BI Akan Mengatur Gaji Para Bankir" pada tanggal 17 Maret dan "Bankir Kecam Aturan Remunerasi BI" pada tanggal 30 Maret 2011. Mari kita dengar dulu argumentasi dari dua kubu, Bankir vs BI. "Bank sentral menilai, tingginya remunerasi bankir menjadi salah satu unsur efisiensi perbankan. Inefisiensi ini membuat bunga kredit tinggi sehingga industri nasional sulit bersaing dengan industri di negara lain". Namun  2 minggu kemudian, ada reaksi dari para bankir pada berita kedua, "Alasan mereka nyaris sama: penetapan gaji, bonus, ataupun fasilitas lain menjadi urusan pengurus bank dan pemilik atau pemegang saham. ...... pemberian gaji dan bonus benar-benar berdasarkan kinerja". Argumentasi dari masing-masing kubu cukup  menarik untuk dicermati. Yang menarik adalah keduanya  berdalih pada konsep yang sama yaitu kinerja. BI melihat kinerja bank dalam konteks eksternal, sedangkan bankir melihat ukuran kinerja dalam konteks internal. Namun saya melihat kesan para bankir lebih menyoroti bentuk intervensi BI, bukan dalam penghitungan besaran remunerasinya. Dalam Manajemen SDM, dikenal istilah reward system atau sistem insentif, yaitu memberikan apresiasi finansial atau non-finansial kepada SDM yang telah menunjukkan prestasi atau kinerja tinggi.  Rumus perhitungannya sederhana dan tidal jelimet. Konsep kinerja inilah yang menjadi dasar perhitungan nemunerasi para bankir. Berbagai skim insentif atau bonus pun menunggu para bankir ketika mereka berhasil mencapai bahkan melampaui target kinerja yang telah ditetapkan. Jadi, jika NIM sebuah bank naik, atau jumlah aset atau DPK melonjak luar biasa, bank merasa itu "syah-syah saja"  memberikan bonus atas jungkir-balik-nya para bankir. Namun mari kita lihat sudut pandang BI dalam hal kinerja ini. BI lebih melihat kinerja bank dalam konteks kontribusi perbankan dalam perekonomian, malah lebih spesifik lagi BI mengutip bahwa inefisiensi perbankan nasional adalah yang terendah di lingkup ASEAN. Menurut BI, muara akhir dari inefisiensi ini adalah daya saing perbankan nasional yang rendah di tingkat international. Dalam konteks ekonomi nasional masih banyak keluhan tentang fungsi intermediasi bank yang belum optimal sebagai lokomotif pertumbuhan sektor riil. Memang aset dan dana masyarakat tumbuh luar biasa. Namun jika dicermati perkembangan suku bunga simpanan dengan inflasi, nilai uang masyarakat yang tersimpan di bank tidak meningkat, kalau tidak bisa disebut tergerus. Masyarakat debitur pun bisa saja menanggung ketidakefisienan bank dengan menanggung tingkat suku bunga pinjaman yang seharusnya bisa lebih rendah jika perbankan nasional lebih efisien. Ulasan saya mengenai indikasi masyarakat mensubsidi ketidakefisienan bank sudah saya bahas di tulisan berjudul "Ayo Menyumbang ke Bank".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun