Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ayo Menyumbang ke Bank

26 Maret 2011   17:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:24 612 0
"KPPU Monitor Suku Bunga Kredit Bank", "Empat Bank BUMN Raup Laba Rp 22 Triliun", "Bank RI Keruk Untung Bunga Paling Tinggi", "Posisi 10 Bank Terbesar RI Tak Tergoyahkan", "Tak Menyerah, KPPU Kejar Bukti Praktik Kartel Perbankan", "BI: Bunga Kredit Tinggi, Bank RI Belum Efisien".   Itulah beberapa headline di media online dalam kurun waktu sebulan terakhir ini, dua headline pertama di Kompas Online, sisanya di detikfinance. Ada benang merah yang cukup menggelitik untuk dikaji, khususnya mengenai dugaan adanya kartel perbankan yang berpotensi praktek  pengendalian suku bunga oleh bank. Sinyalemen pengendalian suku bunga tersebut berpotensi merugikan pasar, atau nasabah bank. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun berupaya melakukan investigasi, namun para bankir pun rame-rame menepis "tuduhan" tersebut.  "Bankir: Tak Ada Kartel Bunga",  "Mengumpulkan Bankir Saja Susah, Apalagi Mau Kartel".  Begitulah headline lain yang menunjukkan argumentasi- kalau tidak boleh dikatakan sebagai sikap reaktif dari  para bankir. Sebenarnya apa yang menjadi masalah utama dengan sinyalemen tersebut, atau lebih tepatnya siapa yang dirugikan andaikan Bank berhasil mengeruk keuntungan tinggi ?

Pemetik Bunga

Saat ini perbankan Indonesia secara umum masih sangat mengandalkan Interest Margin yaitu perbedaan antara biaya dana yang harus dikeluarkan bank untuk dana yang berhasil dikumpulkannya dari masyarakat (source of fund) dengan keuntungan bunga yang diperoleh bank dari kegiatan penyaluran dana (Use of Fund)- misalnya dari aktiva produktif bank.  Interest Margin pun akan tinggi jika biaya dana bank adalah rendah- misalnya dengan menekan tingkat suku bunga simpanan, namun keuntungan bank tinggi- misalnya dengan tingkat suku bunga pinjaman tinggi. Prilaku penetapan "harga jual" (tingkat suku bunga rata-rata dari penyaluran dana) yang tinggi dengan menekan biaya produksi (cost of fund) serendah-rendahnya merupakan prilaku bisnis yang bisa diterima untuk lembaga yang profit oriented. Sesederhana itulah prinsip bisnis perbankan. Jadi tidak heran jika NIM (Net Interest Margin) perbankan nasional tergolong tinggi yaitu mencapai 5,8 persen per desember 2010, padahal Negara ASEAN lainnya tidak sebesar itu.  Per Desember 2010 kelompok bank yang menunjukkan nilai NIM tertinggi berturut-turut adalah kelompok Bank Umum Non Devisa (9,10%), BPD (8,74%) dan Bank Persero (6,11%), sedangkan Bank Campuran dan Bank Asing justru mempunyai NIM terendah yaitu 3,83% dan 3,54%.  Patut diduga bahwa perbedaan angka-angka tersebut menunjukkan perbedaan prilaku penetapan suku bunga dan tingkat efisiensi perbankan.

Hebatnya, perbankan nasional masih dapat memperoleh keuntungan bersih yang relatif besar ketika  perbankan nasional dianggap tidak efisien.  Kita kutip lagi headline yang terkait dengan efisiensi perbankan nasional yang rendah, "BI: Bunga Kredit Tinggi, Bank RI Belum Efisien - Kompas.com, 17/03/2011". Inefisiensi perbankan di Indonesia terlihat dari tingginya rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). BI mencatat, rasio BOPO perbankan Indonesia 88,6 persen. Bandingkan dengan BOPO bank di Malaysia yang hanya 40 persen dan Filipina 74 persen . "Salah satu penyebab tingginya BOPO adalah biaya gaji yang tinggi," kata Direktur Direktorat Penelitian dan Perbankan BI Wimboh Santoso (Kompas.com, 17/03/2011). Namun para bankir kembali "membela diri", "Perbanas: Tak Masalah Gaji Bankir Besar, Asal Kinerja Bagus- Detik.com, 18/03/2011".  Kinerja bankir bagus, keuntungan bank tinggi, namun mengapa kondisi tersebut menjadi sorotan? Mari kita lanjutkan diskusinya dengan mendalami perspektif kepentingan Bank Indonesia, bank atau para bankir, serta di sisi lain, dari perspektif kepentingan masyarakat.

Dominasi Sepuluh Besar

"Saya melihat terdapat sesuatu permasalahan besar, yaitu dalam kondisi likuiditas perbankan berlebih, peran perbankan dalam pertumbuhan ekonomi masih rendah. Rasio kredit terhadap PDB pada 2010 hanya sekitar 26,1 persen, hanya sedikit meningkat dari 25,7 persen pada 2009," kata Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution dalam acara Pertemuan Tahunan Perbankan di Jakarta (Kompas.com, 17/03/2011). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kontribusi perbankan nasional terhadap perkembangan ekonomi masih rendah, atau dilihat dari prinsip perbankan, fungsi intermediasi perbankan belum berjalan optimal. Kita lihat angka atau statistik perbankan terlebih dahulu sebagai gambaran perkembangan perbankan nasional.

Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia dari BI per Desember 2010, total aset perbankan Indonesia sudah mencapai Rp 3009 Triliun untuk Bank Umum dan Rp 46 Triliun untuk BPR. Total aset bank umum tersebut meningkat sebesar 104 persen, atau lebih dari dua kali lipat dibandingkan posisi tahun 2005.  Namun total aset perbankan tersebut didominasi oleh kelompok bank persero dan bank umum swasta nasional yang masing-masing mempunyai total aset sebesar Rp 1116 Triliun dan Rp 1203 Triliun per Desember 2010. Yang menarik adalah 64,75% total aset dikuasai oleh sepuluh bank besar. Struktur pasar yang didominasi oleh sebagian kecil bank tersebut dapat mengarah ke oligopoli yang berpotensi mengarah ke prilaku monopoli, kartel  atau persaingan yang tidak sehat. Salah satu dampak dari prilaku monopolis tersebut adalah pengaturan tingkat suku bunga di pasar oleh sebagian kecil bank.  Hal inilah yang dikhawatirkan oleh KPPU, namun masih memerlukan investigasi lebih lanjut untuk membuktikan adanya praktek kartel di perbankan Indonesia.

Lalu bagaimana penyaluran dana bank yang menjadi sorotan terkait dengan fungsi intermediasi bank? Sumber dana dari masyarakat yang masuk ke 122 buah bank umum mencapai Rp 2564 Triliun. Dari total penyaluran dana sebesar Rp 2766 Triliun, hanya Rp 1766 Triliun yang disalurkan ke kredit, atau hanya 69%. Nilai LDR untuk bank umum mencapai 75,21%, atau meingkat cukup signifikan dibandingkan nilai LDR pada tahun 2005 yang tercatat hanya sebesar 59,66%. Perkembangan perbankan nasional secara statistik yang cukup pesat tersebut di satu sisi merupakan salah satu indikator keberhasilan tahap pemulihan perbankan nasional, yang salah satunya ditandai dengan pencanangan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada tanggal 9 Januari 2004 sebagai langkah awal pada tahap konsolidasi perbankan nasional.

Prilaku perbankan nasional saat ini mungkin saja didorong atau sebagai respon dari regulasi atau kebijakan yang telah ditetapkan Bank Indonesia. Dalam kerangka API, BI  telah menargetkan pembentukan bank interntaional dengan modal minimum lebih dari 50 Triliun sebanyak 2-3 bank atau bank nasional dengan modal antara Rp 10 - 50 Triliun sebanyak 3 - 5 Bank. Persyaratan modal minimum bank umum sebesar Rp 100 Milyar pada Desember 201o pun berhasil dipenuhi oleh perbankan nasional. Terkait dengan laba atau NIM perbankan nasional yang relatif tinggi, bisa saja itu merupakan konsekuensi logis dari upaya bank memperkuat permodalan, misalnya dengan memperbesar laba di tahan untuk memperkuat permodalan di tahun fiskal berikutnya. Selain itu, NIM, BOPO, atau LDR merupakan indikator yang menjadi ukuran kinerja bank, yang tertuang dalam sistem penilaian kesehatan bank berdasarkan Peraturan Bank Indonesia nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 serta ketentuan pelaksanaannya sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004. Walaupun ketiga indikator tersebut hanya sebagian kecil indikator dari sistem penilaian tingkat kesehatan bank yang sering disebut dengan Metode CAMELS Rating System, bank pasti akan berupaya memperoleh skor maksimal untuk indikator tersebut. Namun mari kita lupakan sejenak dengan angka atau statistik di atas karena fungsi perbankan tidak hanya sekedar kinerja internal atau dilihat dari sudut pandang mikro saja.

Menunggu Sumbangsih Bank

"CAMEL ratings are based only on internal operations, they measure only the current financial condition of a bank and do not take into account regional or local economic developments that may pose future problems but that are not yet reflected in the bank’s condition - FDIC". Jadi idealnya keberhasilan recovery perbankan nasional tersebut harus seiring dengan recovery atau perkembangan perekonomian nasional. Dalam tulisan ini, kita belum mengutip berbagai hasil analisis atau riset mengenai kontribusi sektor perbankan terhadap perekonomian nasional. Atau, kajian akademis mengenai apakah perkembangan sektor perbankan masih didorong oleh perkembangan ekonomi, bukan sebaliknya mendorong atau menjadi motor perkembangan perekonomian Indonesia? Toh di tataran empiris atau praktisi, pergunjingan tentang indikasi kartel atau fungsi intermediasi yang belum berjalan optimal sudah menjadi sinyal bahwa kinerja perbankan dalam konteks perekonomian nasioal masih ada yang mempertanyakan. Bahkan menurut KPPU, sinyalemen kartel pertama kali dihembuskan oleh BI sendiri. Dan BI sendiriyang menyatakan bahwa kontribusi perbankan terhadap PDB masih perlu ditingkatkan. Ini menunjukkan self-assessment dari otoritas moneter atau regulator tersebut. Lagian,  BI sendiri sudah berupaya mendorong fungsi intermediasi tersebut yaitu dengan serangkaian paket deregulasi, diantaranya adalah Paket  Deregulasi 2006 yang salah satu tujuannya adalah untuk mendorong perbankan nasional dalam meningkatkan penyaluran kredit tanpa mengabaikan prinsip kehatihatian. Asal jangan perbankan nasional berdalih dibalik kehatihatian akhirnya justru tidak terdorong untuk meningkatkan penyaluran kredit.  Upaya terbaru dari BI adalah  memberikan skema insentif terhadap bank yang mempunyai nilai LDR yang ditargetkan dalam perhitungan Giro Wajib Minimum (GWM), selain insentif terhadap nilai CAR dalam perhitungan GWM yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/10/PBI/2011 tanggal 9 Februari 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing. Namun apakah upaya BI tersebut berjalan efektif?

Semoga sikap reaktif para Bankir dan Perbanas terhadap investigasi KPPU atau penyataan BI mengenai  kontribusi perbankan terhadap perekonomian Indonesia yang masih rendah masih dalam koridor atau kerangka membangun sistem perbankan Indonesia yang tangguh. Para pelaku dan pemangku kepentingan perbankan nasional tentunya tidak lupa dengan 6 pilar API. Katakanlah kita bisa menerima fakta bahwa gaji para bankir tergolong tinggi. Kita pun bisa menerima argumetasi bahwa mereka telah susah payah atau menunjukkan kinerja yang tinggi dalam membawa peningkatan aset dan keuntungan banknya masing-masing. Namun sangat disayangkan jika kehebatan SDM dan perbankan nasional tersebut terjadi ditengah-tengah perkembangan perekonomian Indonesia atau kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya bisa ditingkatkan melalui kontribusi sektor perbankan. Toh dana masyarakat juga yang telah membantu perkembangan sektor perbankan berkembang pesat seperti saat ini.  "Perlindungan Konsumen" pun sudah disepakati sebagai pilar ke enam dari API. Jadi kita kembalikan saja ke kebijakan dan kebajikan para bankir dan praktisi perbankan dalam menyikapi gonjang-ganjing perbankan saat ini. Memang sebuah pilihan sikap yang relatif persuasif dan akomodatif. Namun pertanyaan terakhir sekedar mengingatkan, sudahkan nasabah atau masyarakat Indonesia memperoleh manfaat dari perkembangan sektor perbankan, minimal "terlindungi" ?

Bunga itu semakin layu

Sebagai financial intermediary, kita tidak bisa memungkiri bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah tergolong "Bank Minded". Lalu lintas dan alat transaksi perbankan pun sudah menjadi bagian dari kegiatan ekonomi masyarakat. Itulah sebagian dari keberhasilan kiprah perbankan dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Namun apakah dana masyarakat yang tersimpan di bank bisa berkembang atau dengan kata lain, apakah bank bisa memberikan keuntungan dari sisi finansial?  Pada periode Januari sampai Desember 2010 tingkat suku bunga giro berkisar antara 1,76 sampai 2,30 persen untuk giro rupiah. Tingkat suku bunga giro yang sangat kecil ini bisa dimaklumi karena motif masyarakat membuka giro lebih banyak untuk mendukung kelancaran transaksi giral. Suku bunga tabungan bergerak antara 2,27 sampai 3,11%, sedangkan untuk deposito berkisar antara 5-7 persen sepanjang tahun 2010. Walaupun masih satu digit, secara nominal uang masyarakat memang tetap tumbuh sesuai dengan tingkat suku bunga pada setiap jenis simpanan tersebut. Namun jika dibandingkan dengan inflasi pada bulan Februari 2011 menurut Bank Indonesia sebesar 6,84% (year on year), tingkat suku bunga simpanan bank secara umum lebih rendah dibandingkan inflasi, terutama untuk Giro, Tabungan, dan Deposito jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa nilai riil uang masyarakat justru berkurang jika menyimpan di bank.

Namun yang menarik adalah menyusutnya uang masyarakat tersebut tidak menyurutkan minat masyarakat untuk menabung di bank. Jumlah dana masyarakat atau Dana Pihak Ketiga (DPK) selama tahun 2010 justru tetap tumbuh hampir sebesar 20 persen, yaitu naik dari Rp 1951 Triliun menjadi Rp 2339 Triliun. Sebuah fenomena yang agak mengherankan, kalo tidak bisa disebut anomali.  Fenomena tersebut bisa disebabkan oleh ketidatahuan nasabah,  memang nasabah menyimpan di bank tidak bermotif untuk memperoleh bunga bank, atau teralu kuatnya dominasi perbankan sebagai institusi depository sehingga masyarakat belum mempunyai alternatif lain untuk menyimpan atau menginvestasikan kelebihan dananya? Atau jangan-jangan nasabah sudah merelakan atau mengikhlaskan "kehilangan bunga" tersebut untuk mensubsidi ketidak efisienan bank atau memberikan "sumbangan" untuk gaji para bankir?  Semoga kondisi ini menjadi bahan pemikiran Bank Indonesia. para bankir dan pelaku bisnis perbankan di Indonesia agar perbankan nasional menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Dan semoga slogan ajakan "Ayo Manabung" tidak diplesetkan menjadi  "Ayo Menyumbang ke Bank".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun