Suatu hari dalam hidup saya (bukan saat sebelum berangkat haji) pernah mendengar seorang ahli ceramah berujar: "...berangkat haji ke Mekkah bagi yang mampu." Pada saat lain dan ahli ceramah lain membuat analisis bahwa kata "bagi yang mampu itu" lebih identik dengan persoalan keimanan. Tapi, ahli ceramah lain menafsirkan kata "bagi yang mampu" itu identik dengan biaya.
Banyak ahli ceramah yang membuat tafsir, sehingga ibadah yang satu ini menjadi sangat "menakutkan". Naik haji ke Mekkah menjadi begitu eksklusif.
Tapi pada hari lain, seorang ahli ceramah, mencak-mencak. "Naik haji ke Mekkah itu gratis. Kagak bayar. Yang bayar itu ongkos ke sana."
Saya lebih tertarik dengan ahli ceramah yang terakhir. Naik haji itu gratis, kagak bayar. Yang bayar, ongkos berangkat ke sana. Maka, soal ongkos itu, mari kita hitung.(Hitung-hitungan ini berkaitan dengan pelaksanaaan ibadah haji di Mekkah).
***
Itulah pengantar kisah ini. Ini kisah tentang suami istri, Triono dan Triana. Keduanya orang Lampung, tinggal di kaki Gunung Tanggamus, dan sehari-hari hidup sebagai petani kopi. Mereka tak dikarunia keturunan, meskipun selalu berharap. Hasil kopi tak banyak, tapi mereka "berhasil" hidup hemat. Dan, akhirnya, mereka bisa berangkat haji ke Mekkah tahun 2010.
Orang lain berpikir, mereka termasuk keluarga miskin. Pemerintah setempat memasukkan nama mereka ke dalam daftar penerima BLT--meskipun setiap jadwal pengambilan dana BLT di Kantor Pos, mereka justru tak kebagian. Jarak dari rumah mereka ke Kantor Pos menghabiskan dana BLT itu saking jauhnya. BPS saat survey beberapa bulan lalu mengkatagorikan mereka sebagai keluarga miskin.
Tapi, begitulah, meskipun keluarga miskin, mereka mampu hemat. Mereka menabung. Hasil panen kopi yang tak banyak, ditabung bertahun-tahun. Akhirnya, pada 2010, mereka berangkat haji ke Mekkah.
Suami istri yang sudah tua ini masuk kloter 19. Kebetulan saya dalam kloter itu. Keduanya orang tua ini menarik perhatian saya, karena sepanjang perjalanan dari Lampung ke Mekkah keduanya tampak sangat akur. Saling memperhatikan, saling mengingatkan, berpegangan tangan, dan..ah, mesra banget.
Ada juga pasangan suami istri lain, tapi kemesraan Triono dan Triana luar biasa. Karena itu, saat tiba di Madina, saya mencoba akrab dengan mereka.Tapi sulit, karena mereka tak bisa bahasa Indonesia. Setiap kali saya ajak ngobrol, mereka ngobrol pakai bahasa Jawa. Ampun. Saya orang Batak.
Makanya, saya hanya memperhatikan mereka dari jauh. Sambil mengagumi betapa cinta yang terbina di antara mereka telah tumbuh begitu perkasa, lebih perkasa dari tubuh mereka yang tua dan ringkih.
***
Suatu hari saat di Armina, saat makan pagi, seperti biasa terjadi antrean panjang. Triono, seperti biasa, ikut antre. Dalam hati, ia berniat membawakan makanan untuk istrinya. Tapi, usai shalat Subuh, Triono belum bertemu istrinya. (Maklum, tempat penginapan alias tenda terpisah). Triana sendiri, ketika jadwal makan pagi itu, masih di kamar mandi (ikut antrean panjang di depan pintu kamar mandi).
Karena tak bertemu istrinya, Triono berniat mengambil makanan untuk istrinya. Ia ikut antre panjang. Orang setua Triono tak mendapat prioritas. Urusan makan, dimanapun, memang tak melihat usia. Saya sendiri jauh di belakang Triono. Triono tetap tegar. Kekuatannya, saya yakin, karena ia berniat mengambilkan makanan untuk istrinya. Ia laki-laki yang luar biasa. Untuk istrinya, ia siap antre berjam-jam. Kaki-kaki tuanya, sendi-sendi lemahnya, seolah masih 17 tahun.
Triono memang top.
Tapi, ketika giliran Triono tinggal empat orang lagi, mendadak si pembagi makanan berteriak: "Habis!" Itu tandanya jatah makanan habis. Padahal, masih bannyak yang belum kebagian. Triono lesuh. Triono sedih. Triono, mungkin, membayangkan istrinya yang tak akan makan. Triono, seperti juga jemaah haji lainnya, hanya bisa bersabar.
Saya yang masih muda, justru tak bisa sabar. Bukan karena terlalu lapar, tapi tak tahan melihat wajah lesuh Triono. Saya teringat pada percakapan dengan seorang petugas haji di Daker, beberapa hari sebelumnya. Petugas haji dari kementrian urusan haji itu berkata: "Ongkos haji yang dibayarkan jemaah haji Indonesia itu dipilah-pilah untuk pembayaran: penginapan haji, transportasi haji, makan haji, biaya sampah (kebersihan) di Mekah, kesehatan haji, asuransi haji, dan lain sebagainya."
Saya berpikir, para jemaah haji adalah konsumen yang mesti dilayani Pemerintah Arab Saudi. Berbekal tahu soal melayani konsumen, saya datangi petugas pembagi makanan. Saya tanya kenapa makanan habis. Petugas bilang jatah sudah habis sambil menunjukkan tempat makanan yang sudah kosong. Saya melotot. "Masih banyak yang belum makan, kenapa jatah Kalian kurangi?"
"Tidak dikurangi. Sama kok dengan sebelumnya."
"Kalau sama, kenapa masih ada yang belum makan?"
"Kami tidak tahu."
"Ini kan tanggung jawab Kalian?"
"Kami sudah menjalankan tanggung jawab kami."
"Buktinya masih banyak yang belum kebagian. Coba kau lihat barisan yang masih antre itu. Apa ini bukti tanggung jawab Kalian?"
"Pokoknya jatah sudah habis."
"Kamu ini mengerti nggak. Kami ini jemaah haji Indonesia. Negeri kami kaya raya, makanya bisa sampai ke sini. Kami bayar untuk sampai ke sini, termasuk bayar makanan ini. Mahal kami bayar. Di Indonesia, kami bisa makan hanya dengan Rp10.000. Di sini, semua harga mahal. Itu pun tak kau kasih meski kami sudah bayar. Mana tanggung jawabmu?"
"Kami tak tahu urusan itu."
"Kau tahunya apa?"
"Saya hanya bertugas membagi-bagi. Yang mengatur, ada petugas di dapur."
"Suruh ke mari petugas itu! Jangan sampai semua orang yang tak kebagian ini menjadi marah."
***
Petugas pembagi makanan itu berasal dari Pakistan. Mereka buru-buru menemui petugas di dapur. Petugas di dapur menemui pengelola maktab (pihak yang bertanggung jawab soal makan dan minum, pengusaha penginapan yang dipercaya oleh pemerintah Arab Saudi). Petugas Maktab itu datang tergopoh-gopoh dan menemui saya.
Dengan sikap tak senang, ia langsung teriak. "jatah habis."
Tentu saja saya jadi emosi. Maklum, orang Arab volume suaranya tinggi. Saya bilang: "Kami bayar semua ini. Termasuk kamu sudah kami bayar sejak dari In donesia. Apa begini cara orang Arab memperlakukan konsumen. Tidak amanah."
Karena saya ngomong begitu, petugas Maktab itu pucat. Ia langsung ke dapur dan memerintahkan orang untuk menambah jatah makanan.
Dan, pagi itu, saya lihat Triono pun tersenyum sambil membawa dua piring makanan. Ketika Triono keluar dari barisan, muncul Triana dari arah kamar mandi. Kedua orang tua itu tersenyum dan makan bersama.
***
Jemaah haji asal Indonesia sering mendapat perlakuan kasar dari pengelola Maktab. Mereka membentaki jemaah haji Indonesia sesuka hati. Jemaah haji Indonesia, karena merasa di Tanah Suci, memilih bersabar. Tapi, setiap kali mereka bersabar, setiap kali pula mereka dianggap remeh oleh petugas Maktab.
Tidak seharusnya jemaah haji hanya mengandalkan sabar. Untuk urusan ibadah, mereka memang harus banyak sabar. Tapi, urusan makan (termasuk di dalamnya hak mendapat perlakuan sebagai konsumen yang sudah membayar ongkos haji), jemaah haji tidak boleh sabar.
Tapi, kesabaran jemaah haji ini terjadi karena mereka tidak tahu bahwa mereka sebetulnya konsumen. Mereka tidak pernah mendapat penjelasan dari petugas haji bahwa ongkos biaya haji yang mereka keluarkan sudah bersamaan dengan biaya-biaya lain selama di Tanah Suci.
Sebab itu, ke depan, petugas harus bisa menjelaskan hak-hak para jemaah haji di Tanah Suci. Petugas harus transparan sehingga jemaah haji tidak lagi mendapat perlakuan yang kurang hajar dari petugas Maktab (orang-orang Arab) itu.
Kisah Triono dan Triana adalah kisah jemaah haji yang lemah, yang dipaksa untuk selalu sabar. Padahal, perjuangan mereka bertahun-tahun untuk bisa berangkat haji ke Mekkah mengharuskan siapa saja untuk menghormati hak-hak mereka sebagai pembayar ingkos naik haji.