Satu pihak selalu mengaitkan Prabowo dengan peristiwa penculikan aktivis, padahal 5 tahun lalu capres ini bersanding menjadi cawapresnya Megawati yang notabene adalah ketua partainya Jokowi. Demikian pula dengan Jokowi yang selalu dicela karena dianggap belum beres menata Jakarta dan dianggap ingkar janji karena meletakkan jabatan Gubernur Jakarta.
Yang lebih miris, kampanye hitam ini bukan hanya dilakukan oleh simpatisan biasa, tengok saja lini masa twitter para tokoh negeri ini, yang bukannya memberi contoh baik tapi malah sebaliknya.
Sebut saja Wimar, yang beberapa waktu lalu melakukan blunder dengan mengunggah foto bertuliskan "Gallery of Rouges, Kebangkitan Bad Guys" disana ditampilkan foto KH Abdullah Gymnastiar disandingkan dengan para tokoh teroris. Aa Gym salah apa??. Kelakuan beliau tentu saja menyakiti hati jutaan umat muslim Indonesia, apalagi difoto tersebut juga terdapat logo beberapa organisasi Islam termasuk Muhammadiyah.
Seminggu kemudian giliran Ahmad Dhani yang melakukan blunder, kali ini ia muncul di video klip dukungan terhadap salah satu capres dengan memakai seragam mirip NAZI. Hingga kemudian beberapa media internasional memberitakannya dan menggangapnya kurang pantas karena bisa menyakiti hati korban NAZI di luar negeri sana. Yang pasti nama Ahmad Dhani kian melambung di dunia internasional gara-gara seragam itu.
Kemunculan Ahmad Dhani dengan seragam mirip NAZI tersebut kemudian meluas dengan dihembuskannya isu akan bangkitnya Fasisme di Indonesia jika capres tertentu menang. Di pihak lain dihembuskan pula isu akan bangkitnya komunis di Indonesia jika capres yang lain menang. Pertanyaannya apakah lo yakin akan muncul Fasisme di Indonesia? Apakah lo yakin komunis bakal bangkit di Indonesia jika capres tertentu menang??? Baru pilpres kali ini rasanya faham-faham tersebut di bawa-bawa kampanye.
Bukan hanya di dunia maya, kebetulan saya pernah menghadiri kampanye baik capres nomor 1 dan nomor 2, namun sayang bukannya visi dan misi yang dikedepankan dalam kampanye akbar dihadapan ribuan warga di daerah, dalam kampanye tersebut masih juga disisipkan kampanye hitam. "Sebelah mana yang korupsi sapi? sebelah mana yang korupsi haji?" kata seorang tokoh yang menjadi juru kampanye berapi-api, padahal jumlah korupsi terbesar ada di partai utama pengusung capres tersebut. Pun di kampanye capres yang lain saya mendengar teriakan yang hampir sama. "Jangan sampai negera ini dikuasai maling saudara-saudara!" kata juru kampanye, padahal salah satu ketua partai pendukung capres tersebut terbukti korupsi.
Demikian pula dengan media, terutama 2 media TV berita, kini sangat membosankan untuk ditonton. Stasiun TV yang satu memberitakan salah satu calon bak malaikat tanpa cela dan menjatuhkan calon lainnya. Hal serupa dilakukan pula oleh TV yang satu lagi, independensi kedua media ini hilang selama pilpres, tergantung bosnya masing-masing.
Sudahlah...., sebentar lagi Ramadhan, tak baik kalau kita terus mencela dan menjelekan capres/cawapres, seharusnya yang lebih dikedepankan justru mengenai visi misi kedua capres/cawapres ini. Prabowo atau Jokowi, salah satu dari kedua capres ini kelak akan menjadi pemimpin kita, yang tentunya harus dihormati bukan malah dicela. Bagaimana luar negeri mau menghormati pemimpin kita, jika kita sebagai warganya tak menghormati tokoh bangsa sendiri.
Harusnya kita bangga dan merayakan pesta demokrasi ini. Indonesia adalah negara demokrasi ke-3 terbesar di dunia. Negara-negara tetangga kita iri dengan proses demokrasi di Indonesia, bahkan jurnalis Malaysia kerap kali menulis artikel agar beberapa proses demokrasi Indonesia diterapkan di Malaysia. Demikian pula dengan Myanmar bahkan Fiji, sebuah negara di Samudera Pasifik sana, jauh-jauh belajar demokrasi dari Indonesia.
Sekali lagi, mari kita akhiri saling cela dan saling hujat, apalagi mau masuk bulan Ramadhan. Seperti dikutip dari tweet-nya kang Doel Sumbang, "Cape ningali jelema silih gorengkeun, Weureu!!!"
Dan sampai saat ini saya belum putuskan pilih Wo atau Wi, ada yang bisa bantu?? :)