Di sebuah warung kopi pinggiran Jakarta, empat sahabat karib duduk melingkar sambil memandang layar ponsel masing-masing. Kobar, sang seniman yang selalu mengenakan syal di leher meski cuaca panas, tampak gusar. Kahar, kritikus seni amatiran yang lebih sering kritik makanan di media sosial, duduk sambil menyeruput kopi hitam. Badu, pebisnis kecil-kecilan dengan mimpi besar, mengunyah pisang goreng. Rijal, mahasiswa filsafat yang baru saja menamatkan buku Nietzsche ketujuhnya, duduk termenung sambil memainkan sendok.
KEMBALI KE ARTIKEL