Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Insentif Berkeadilan, Solusi Peningkatan Mutu Layanan BPJS

26 Juni 2014   16:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:48 540 0
Program Jaminan Kesehatan Nasional yang dijalankan BPJS sudah lebih dari 100 hari. Masih banyak kekurangan yang membutuhkan pembenahan disana sini.

Keluhan berasal bukan hanya dari masyarakat peserta BPJS, tetapi juga dari para tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS.

Keluhan masyarakat lebih banyak mengacu pada rendahnya mutu layanan, lamanya waktu tunggu dan panjangnya antrian. Program Jaminan Kesehatan Nasional memang telah membuka akses masyarakat seluas-luasnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan hanya membayar premi BPJS, masyarakat tidak perlu lagi mengkhawatirkan biaya pengobatan karena sudah dicover oleh BPJS. Akibat yang terjadi adalah demand dan animo masyarakat untuk berobat ke fasilitas kesehatan meningkat tajam. Dengan meningkatnya animo masyarakat untuk berobat, tentu saja membuat fasiitas kesehatan seperti Rumah Sakit kebanjiran pasien hingga melebihi kapasitas. Akibatnya, panjangnya antrian pendaftaran dan lamanya waktu tunggu tidak bisa dihindarkan lagi. Hal ini jelas membuat masyarakat yang ingin menggunakan jasa pelayanan kesehatan menjadi tidak nyaman.

Membludaknya jumlah kunjungan, tentu saja menyebabkan beban kerja para tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit menjadi bertambah berat. Beban kerja yang berat dan tidak diiringi insentif yang memadai akan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan. Padahal seperti kita ketahui,  kualitas pelayanan kesehatan sangat tergantung pada sikap, perilaku, kualitas, kompetensi dan motivasi para tenaga kesehatan. Bagaimana para pemberi pelayanan kesehatan dapat memberikan pelayanan yang bermutu bila tidak ditunjang oleh imbalan dan insentif yang adil sesuai dengan beban kerjanya?

Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, BPJS Kesehatan memberlakukan 2 metode pembayaran kepada fasilitas kesehatan yang bekerjasama. Sistem kapitasi diberlakukan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama atau disebut layanan primer. Layanan primer mencakup Puskesmas, Klinik Pratama dan Praktek Dokter/Dokter Gigi. Sedangkan pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjut seperti RS diberlakukan sistem fee for service dengan besaran tarif berdasarkan paket tarif dalam INA-CBGs. Yang menjadi pokok persoalan adalah besarannya.

Tarif kapitasi dihitung berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar kepada fasilitas kesehatan layanan primer. Tarif kapitasi dibayarkan perbulan. Besarannya bervariasi. Puskesmas dan setaranya mendapatkan 3-6 ribu rupiah per peserta per bulan.Sedangkan klinik pratama dan praktek dokter mendapatkan 8-10 ribu rupiah per peserta per bulan, tergantung kelengkapan layanan dan fasilitas yang dimiliki. Praktek dokter gigi hanya mendapatkan 2 ribu rupiah per peserta per bulan.

Dengan tarif itu, Faskes layanan primer harus menanggung semua cost bila pesertanya datang berobat. Tarif tersebut sudah termasuk jasa dan obat. Bayangkan bila peserta yang terdaftar pada faskes tersebut hanya 1000 orang. Berarti faskes tersebut hanya mendapatkan maksimal 10 juta per bulan dengan harus menanggung semua biaya, mulai dari gaji dokter, perawat dan karyawan, obat yang sudah dikeluarkan, listrik, dll.

Data untuk menghitung besaran kapitasi menggunakan data utilisasi PT. Askes yang menyebutkan dari 1000 peserta yang berobat hanya 50-60 orang per bulan. Apakah data itu valid di masa sekarang dengan animo masyarakat untuk berobat semakin meningkat?

Di daerah yang memiliki barrier geografis dan akses transportasi yang sulit untuk mencapai faskes mungkin valid. Bagaimana dengan di Jakarta?

Belum lagi penderita penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes yang jumlahnya semakin banyak di perkotaan. Mereka membutuhkan obat rutin setiap bulannya dengan harga obat yang cukup mahal. Mampukah faskes layanan primer di Jakarta meraih profit dengan harga kapitasi sebesar itu?

Bila faskes tersebut memiliki jumlah peserta terdaftar diatas 5000 mungkin masih mencukupi untuk menutupi biaya operasional. Tetapi bagi faskes yang baru ingin bekerjasama dengan BPJS, peserta tidak diberikan dan ditempatkan otomatis oleh BPJS. Faskes harus mencari sendiri populasi kapitasinya. Faskes yang baru, hanya bisa mengharapkan mendapatkan populasi kapitasi bila peserta BPJS memilih home kliniknya di faskes baru tersebut pada saat mendaftar, atau peserta BPJS lama mengajukan permohonan pindah home klinik ke faskes baru tersebut. Bisakah dengan cara demikian memperoleh 5000 peserta? Sejak 1 Januari 2014, semua peserta BPJS sudah habis dibagi ke semua Puskesmas dan Faskes layanan primer yang sudah lebih dahulu bekerjasama.

Bagi faskes yang baru ingin bekerjasama dengan BPJS, disarankan untuk berkoordinasi dahulu dengan kantor BPJS setempat untuk mendapatkan data populasi kapitasi di wilayah tepat faskes itu berada, kemudian baru memutuskan untuk bergabung atau tidak.

Kelemahan sistem kapitasi yang diberlakukan untuk layanan primer saat ini memiliki kelemahan yang sangat besar yang berpotensi menggerus anggaran yang tersedia di BPJS.

Sistem kapitasi membuat profit yang didapatkan oleh faskes layanan primer akan sangat tergantung pada sisa biaya kapitasi yang diberikan. Bagaimana agar bisa profit? Seefisien mungkin dalam pemberian obat dan mengurangi jumlah kunjungan.

Akibat yang terjadi adalah, bila anggaran kapitasi sudah mulai menipis, ada kecenderungan terjadinya Moral Hazard. Untuk menghemat biaya kapitasi,  layanan primer cenderung mengirimkan pasiennya ke rumah sakit. Sedikit saja indikasi untuk ditangani dokter spesialis, maka pasien akan dikirimkan ke RS.

Akibat yang terjadi adalah RS kewalahan menangani pasien BPJS. RSCM melayani hampir 2200 pasien per hari, RS Fatmawati hampir 1500 pasien per hari, RS Kanker Dharmais lebih dari 1000 pasien per hari, begitu juga dengan RS lain di Jakarta. Inilah yang terjadi bila sistem rujukan tidak berjalan sebagaimana meskinya.

Siapa yang lebih parah menanggung biaya keseluruhannya? BPJS, yang notabene sebagian besar diambil dari anggaran APBN.

Perlu diingat bahwa di negara maju yang memberlakukan sistem pembiayaan yang sama dengan JKN, 65% keluhan pasien sudah bisa ditangani di faskes layanan primer. Bagaimana caranya? Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan untuk diterapkan di Indonesia dalam rangka menekan jumlah kunjungan di RS (yang merupakan porsi terbesar penyebab tergerusnya anggaran BPJS) :


  1. Pemberian Insentif yang layak, adil dan transparan,

  2. Upgrading skill dokter layanan primer,




  3. Sistem reward dan punishment untuk kelayakan rujukan ke RS.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun