Mungkin yang membedakan antara arus mudik dan arus balik, adalah jumlah orang yang akan menjadi "tamu" baru bagi kota-kota besar yang selama ini masih dipandang sebagai magnet, bagi mereka yang akan mengadu nasibnya di kota-kota yang selalu menebar pesona tersebut.
Kota, meski selalu menyimpan berbagai problem sosial, tetap saja menjadi daya tarik tersendiri. Predikat sebagai "kantong pekerjaan" , akan selalu diimpikan oleh mereka yang belum berkepastian mengenyam pekerjaan. Gelombang tenaga kerja muda (produktif) dari desa (kampung) yang memburu pusat-pusat ekonomi tersebut , tak akan bisa lagi dielakkan. Karena hampir semua jenis pekerjaan tersedia di kota-kota besar, terutama di sektor informal.
Sekecil apapun potret "keberhasilan" yang diusung oleh mereka yang sudah menikmati hidup di kota besar, tatkala mereka mudik, adalah cermin dan bagian dari etalase gaya hidup, yang diyakininya sebagai bagian dari "jerih payah" mereka mengadu nasib di kota, sekaligus hal ini merupakan potret betapa begitu fleksibilitasnya perlakuan kota kepada para kaum urban. Para pemudik ini suka atau tidak suka masih menjadi "figur " bagi saudara atau teman-temannya yang tinggal di kampung, sehingga dengan berbagai alasan apapun, mereka pengin meniru sauadaranya yang sudah "berhasil" mengadu nasib di kota besar. Lebaran ini menjadi momentum untuk mengajak mereka eksodus ke kota. Siapa tahu mereka bisa berbuat dan berubah nasibnya seperti saudara atau temannya yang lebih dulu tinggal di kota besar tersebut. Tanpa melihat sisi kompetensi.
Otonomi daerah yang semula dinilai sangat ideal untuk menggeser peran sentralistik ibukota dari semua aspek, dalam kenyataannya belum menggembirakan juga. Hal ini bisa dilihat, dari program pembangunan infra struktur yang lambat, sulit dan lesunya iklim investasi di daerah, stagnan dan lambatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa provinsi, praktis tak dapat mendongkrak iklim penciptaan "katong-kantong pekerjaan" di daerah. Sektor-sektor ekonomi riil yang belum menggembirakan, perputaran uang yang masih menumpuk di ibukota, dan sektor-sektor jasa yang tidak begitu menggairahkan di daerah, agaknya ikut mempengaruhi arus urbanisasi ini.
Fenomena seperti ini tentu saja akan memberi beban bagi kota, karena tidak hanya menyangkut masalah kependudukan, tapi juga problem-problem sosial lainnya.
Maka langkah taktis agar otonomi daerah ini bisa dipercepat implementasinya, tentu banyak hal yang harus dibenahi. Pemerintah pusat mestinya harus "legowo" dan tidak setengah hati untuk memberikan mandat kepada pemangku pemerintah di daerah, Sebaliknya pemerintah daerah juga harus bisa mensikapinya secara proporsional, jangan kemudian muncul adanya "raja-raja kecil" di daerah, yang pada prekteknya justru malah akan mempersempit ruang akselerasi.
Genius-genius lokal yang mampu menciptakan inovasi yang kemudian melahirkan apa yang disebut industri kreatif, sejatinya adalah peluang, bagaimana daerah bisa menjadi pusat "kebangkitan" masa depan. Sebaliknya konsep yang hanya bertumpu untuk "mengekploitasi" sumber daya daerah, yang semata-mata hanya untuk mengejar pendapatan asli daerah (PAD) , yang hanya bersifat sesaat, tanpa memperhatikan proses keberlangsungan jangka panjang, tentu saja perlu dikaji ulang kembali. Penciptaan label bagi daerah yang memiliki keunggulan komparasi, seperti "pusat wisata"."pusat Kerajinan", "pusat agroindustri", "pusat pendidikan" "pusat kuliner" "pusat budaya" dsb, agaknya perlu didorong terus dengan kebijakan yang spesifik dan tidak lagi gradual.