pintu surau tak dibuka sejak dhuhur
mbah sadli sakit, kata emak, prei ngajinya
sakit mbah kyai, kata emak, belek di mata
fatkah, kasroh, harokat, tajwid jadi klilip masuk di mata
seperti makam jika sore ini surau tak berorang
anak-anak yang setia ikut takjil, paling terus ke sungai
cari kepiting dan ikan-ikan kecilsebangsa wader
mereka lalu buat api, buka puasa lauknya ikan-ikan
yang dibakar api, nitip juga singkong yang ditanam
di penggalan pinggir kali.
rasa hormat dan cinta orang-orang kampung
pada mbah kyai sadli sudah tak terbilang, tak terbeli
banyak yang kehilangan kangen, tak hanya anak-anak
manakala mbah kyai sakit begini
anak-anak suka sama simbah, karena mbah sadli bisa lucu
tapi sebaliknya bisa marah sekali, kalau ngajinya hanya dibatin di dalam
tembolok, mbah kyai suka santrinya keras tatkala melafalkan ayat
anak-anak juga kangen dengan gigi mbah kyai yang tinggal tiga di
rahang depan, konon katanya gigi yang satu untuk melafalkan fatehah.
satunya untuk mengunyah rempeyek, yang satunya masih misterius
hanya dia yang tahu, konon orang baru akan diberitahu saat simbah ini mau
sakaratul, sesaat itu ia akan membuangnya ke langit