Di dalam praktek-praktek pengambilan keputusan, seorang pemimpin tidak cukup hanya menerapkan cara dan model komunikasi. Tapi idealnya juga harus mampu menangkap tanda-tanda yang ada. Semiotika politik lebih pada penajaman sebuah gejala mengapa simbol atau tanda-tanda itu muncul, sehingga seseorang kemudian bisa menggunakan tanda-tanda itu ketika berkomunikasi denga siapapun (publik)
Seorang pejabat politis (publik) akan lebih mudah ketika bisa menangkap apa saja yang terjadi di tengah masyarakat, apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat ( tanda-tandanya rakyat menginginkan sebuah penyelesaian karena tengah merasakan sesuatu yang menghimpit dalam hidupnya,  misalnya mahalnya beaya kesehatan, sulitnya memenuhi kebutuhan hidup primer, maraknya pengangguran, kemiskinan,dsb,  yang kemudian tanda itu diwujudkan dalam bentuk eskpresi : kekesalan, marah, arogan, acuh, kepasrahan, frustrasi, dsb). Sehingga ketika seorang pemimpin hadir di tengah-tengah rakyat, bukan lagi dalam konteks sedang menawarkan sebuah program, tapi justru harus mampu menangkap tanda-tanda yang dirasakan rakyat, dan kemudian siap untuk memberikan solusi dan penyelesaian.
Kalau yang demikian mampu diserap dan diintrodusir oleh pejabat, ibarat kunci pintu ia akan sama dan serumah dengan gemboknya. Maka secara psikhologi kondisi ini akan bisa dirasakan, sebuah masalah bersama> Dengan demikian kehadiran para pemimpin publik ketika berada di tengah masyarakat akan mudah diterima, dan tidak lagi meninggalkan tambahan beban bagi rakyat. Disinilah sebentuk trust akan dibangun