[caption id="attachment_143125" align="aligncenter" width="680" caption="Ornamen Wat Arun / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption]
"Di sinilah para malaikat bersemayam..." Aku berbisik perlahan ketika pertama kali menjejakkan kaki di Bandara Internasional Suvarnabhumi di pinggiran Kota Bangkok. Siang yang mendung dengan matahari dan gerimis yang datang bergantian. Entah mengapa ibukota Thailand ini dijuluki sebagai
City of Angels. Yang jelas ada sedikit keraguan ketika saya memasuki pesawat Garuda dari Bandara Soekarno Hatta untuk membawa ke kota ini. Bombardir berita banjir di berbagai media memang sedikit membuat saya khawatir. Apalagi ketika seorang pejabat Departemen Irigasi Thailand memberikan pernyataan, ”Kami memperkirakan air akan meninggi pada 16-18 Oktober karena luapan air hujan makin besar dari wilayah utara yang diperburuk lagi oleh pasang air laut.” Tapi apa daya, tiket sudah dipesan jauh-jauh hari dan tidak bisa dibatalkan mendadak.
Show must go on. Perjalanan ini harus tetap dilalui. [caption id="attachment_143125" align="aligncenter" width="680" caption="Lalu Lintas Bangkok / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Keraguan itu mendadak sirna ketika taksi yang saya tumpangi meluncur ke jantung Bangkok. Tak ada sedikitpun alasan yang membuat saya harus takut. Ibukota dengan nama alias
Krup Thep Maha Nakhon ini masih adem ayem. Denyut kota tetap normal seperti biasa. Tiada kekhawatiran terpancar di wajah warganya meski banjir saat ini sudah melumpuhkan kota-kota di Thailand Utara. Siang di Bangkok adalah melintasi jalan raya yang selalu pikuk. Tak ubahnya Jakarta yang padat, beberapa ruas jalan di sini juga kerap terjadi kemacetan. Beberapa pedagang kaki lima menyemut di pinggir-pinggir jalan, terutama di dekat pusat keramaian seperti
business center, mall, pasar, stasiun kereta, dan tempat wisata. Beberapa tahun lalu Bangkok tercatat sebagai ibukota yang memiliki tingkat kemacetan lalu lintas yang tinggi. Usaha pemerintah kota yang membangun beberapa moda transportasi, seperti Sky Train, MRT, dan
Express Boat tampaknya membuahkan hasil untuk mengurai simpul kemacetan. Sepanjang perjalanan menggunakan bis, nyaris saya tak menemukan kemacetan yang parah seperti di Jakarta. Orang Thai adalah warga yang ramah. Berbeda dengan manusia metropolitan umumnya, mereka memiliki kepedulian sosial, suka menolong, dan jujur. Suatu kali, saya dan isteri tersesat lantaran salah naik bis kota. Kami menjelaskan dalam bahasa Inggris ke kondektur bis bahwa kami hendak menuju ke Khaosan Road. [caption id="attachment_143134" align="aligncenter" width="680" caption="Penunjuk Arah / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Sialnya, ibu kondektur bis tak mengerti yang kami maksud. Dia mencoba berbicara dalam bahasa Thai. Berkali-kali saya berujar, "
Phoot Thai mai dai", yang artinya "
Saya tidak bisa bahasa Thai." Namun, ibu itu tetap nyerocos dalam bahasanya. Sampai akhirnya seorang laki-laki menghampiri kami dan menemani ke halte bus terdekat sembari menunjukkan nomor bis yang harus kami tumpangi. "Five six," jelas laki-laki itu dengan Bahasa Inggris terpatah-patah menerangkan nomor bis 56 yang ke arah Khaosan Road. Dan kami pun hanya bisa mengucapkan terima kasih sambil tangan menyembah di dada, sesuai kesantunan ala Thailand. Begitulah, bahasa memang menjadi kendala utama bagi para turis yang ingin menjelajahi negeri gajah putih. Seperti di Indonesia, sebagian besar dari rakyat Thailand tak mengerti bahasa Inggris. Tapi jangan khawatir, karena rata-rata dari mereka bisa mengucapkan bilangan dalam bahasa Inggris. Mereka akan berbicara dalam bahasa Inggris jika kita menanyakan dalam bahasa Inggris untuk ongkos perjalanan, harga barang, atau nomor bis misalnya. Dan yang terakhir, jika kita ingin berbicara dengan mereka, gunakan juga gerak tubuh untuk menerangkan. Sebab, bagaimanapun juga, isyarat tubuh adalah bahasa yang universal. Dalam satu perjalanan menggunakan ferri menyeberangi sungai Chao Phraya, mendadak kami disapa dalam bahasa Thai oleh seorang biksu. Wajah orang Indonesia memang mirip dengan wajah-wajah mereka. Setelah tahu bahwa kami dari tanah air dan tidak bisa berbahasa Thai, ternyata biksu ini tetap mengajak kami berbicara dengan campuran bahasa Thai dan Inggris yang terpatah-patah. Sambil tak lupa menambahkan dengan isyarat-isyarat tubuh. Dan alhamdulilah, komunikasi kami tetaplah nyambung sampai akhir. [caption id="attachment_143134" align="aligncenter" width="680" caption="Sungai Chao Phraya / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Layaknya orang Indonesia, warga Bangkok juga gemar berbelanja, terutama kaum wanitanya. Thailand barangkali boleh disebut sebagai surga belanja. Harga baju di beberapa mall, grosir, atau pasar terbilang lebih murah dibandingkan di Indonesia. Konon beberapa produk fashion di grosir Mangga Dua didatangkan dari negeri Siam ini. Cobalah Anda mengunjungi Pratunam Market, Platinum Mall, MBK, Chatuchak Weekend Market, atau Bobai Market. Mungkin Anda akan terheran-heran dengan harga yang mereka tawarkan. Kaum muda Thailand terlihat sangat fashionable dan selalu mengikuti perkembangan mode. Barangkali karena didukung oleh budaya yang sangat permisif, mereka begitu enak mengimplementasikan gaya fashion mereka. Tak ada mata yang jelalatan dan siulan menggoda ketika para cewek berlenggang-lenggok menggunakan hot pants atau rok mini. Makanya jangan heran, jika mereka tetaplah nyaman mengenakannya di tempat-tempat umum seperti terminal bis, angkutan umum, ataupun pasar tradisional. Tapi, jangan sekali-sekali menggunakan baju seperti itu di kuil atau tempat-tempat seperti istana. Sebab, tetaplah ada aturan yang ketat masalah berpakaian di tempat ibadah dan istana. [caption id="attachment_143145" align="aligncenter" width="680" caption="Belanja di Pratunam Market / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Selanjutnya, secara tak sengaja saya bertemu dengan rombongan ibu-ibu Indonesia yang berbelanja di Chatuchak Market. Mereka mengaku bahwa tujuan utama mereka berwisata di Thailand adalah belanja dan kuliner. Cita rasa masakan Thai memang sangat cocok dengan lidah Indonesia. Saya paling suka mencoba makanan yang dijajakan di pinggir jalan Kota Bangkok. Dan saya hanya menemukan dua kata untuk rasanya,
enak dan
enak sekali! Biaya hidup di kota Bangkok hampir mirip dengan Jakarta. Rata-rata harga penginapan, makanan, dan transportasi nyaris sama dibandingkan ibukota kita. Tapi jangan tanya fasilitas yang mereka tawarkan. Bus kota kelas ekonomi bertarif 7 baht (Rp. 2.100) masih terlihat lebih bagus dibandingkan bus PPD ekonomi di Jakarta. Dan setiap pembayaran transportasi umum, selalu ada karcis sebagai bukti pembayaran. Kalau tak ada karcis, barangkali Anda berhak untuk tidak membayar. [caption id="attachment_143146" align="aligncenter" width="680" caption="Meracik Pad Thai / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Seminggu sudah saya menikmati hangatnya matahari Bangkok, menyusuri Sungai Chao Phraya di senja hari, menemani isteri berbelanja di Chatuchak, Platinum, dan Pratunam Market, lalu berhingar bingar sepanjang Khaosan Road, juga mendalami spiritualitas dan sejarah Thailand, sembari menikmati pasar apung di Amphawa. Meski akhirnya saya gagal mengunjungi Ayuthaya dan Chiang Mai karena banjir yang memutus perjalanan darat, namun keramahan, keadaban, dan keindahan yang mereka tawarkan laksana tangan-tangan malaikat yang senantiasa siap merengkuhku dalam kehangatan. Dan saya menjadi sungguh paham mengapa kota ini dijuluki
City of Angels. "Di sinilah para malaikat bersemayam..." bisikku sekali lagi.
KEMBALI KE ARTIKEL