Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Skuad Garuda, Perjuangan Kalian Belum Usai!

29 Februari 2012   22:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:43 1167 8
Kekalahan dialami Skuad Garuda kita. Rasa sedih tak terperi menghiasi raut wajah, selaksa mendung yang enggan bergeming di tengah badai tropis. Siapa yang paling merasakan kalutnya perasaan seperti ini? Tak lain dan tak bukan adalah para pemain yang telah berjuang sekuat tenaga demi menjalankan tugas negara untuk "berperang" di negara lain. Sebuah rasa pilu yang tak mungkin disembunyikan oleh para pahlawan kita ini.

Lantas saat ini sedang apakah gerangan mereka di Bahrain?

Tentu saja selain memulihkan kondisi fisik setelah berjuang mati-matian, mereka juga saling memberi kabar kepada orang-orang terdekatnya. Tak lupa pula, beberapa pemain dengan hati yang carut-marut menyampaikan permintaan maafnya kepada masyarakat pecinta sepakbola nasional karena perjuangannya tidak membuahkan hasil maksimal. Tahukah anda kabar dan kondisi para pemain selain, yang telah disebutkan tadi? Ada yang tak bisa tidur menyesali kontribusinya dihujat, ada yang ingin mundur saja dari timnas ketika mengetahui cacian yang dialamatkan kepada dirinya, ada yang langsung drop ketika pengorbanannya berbuah makian, dan segala macam penyesalan karena serangan psikis yang mereka terima. Dan yang sungguh sangat disayangkan adalah, segala macam hujatan, cacian, makian, dan seabrek komentar negatif ini datang bukan dari bangsa lain, melainkan datang dari Warga Negara Indonesia, tempat kita berpijak saat ini (kebetulan gue lagi ndlosor, elo mungkin molor). Tak adakah apresiasi untuk para Laskar Garuda Muda yang sedang digodok sebagai kekuatan di masa depan ini?

Ketika membaca sebuah artikel berjudul "Kalah Telak, Garuda Itu Hendak Berganti Bulu" dari mas Fajar Z, yang mengambil tema keterpurukan sebelum datangnya kejayaan, sungguh sangat "adem" rasanya membaca tulisan tersebut. Keterpurukan bukanlah akhir dari segalanya, ini merupakan fase kritis dari sebuah harmonisasi roda kehidupan. Bila pada fase kritis ini mampu dilewati dengan tegar, pantang menyerah, evaluasi diri, memecahkan solusi, dan menatap langkah ke depan guna merealisasikan apa yang menjadi mimpinya, inilah yang pantas kita sebut sebagai fase kritis pencarian jatidiri. Siapa yang menyerah pada fase ini, maka inilah hasil terakhir yang bisa mereka berikan. Namun sebaliknya, bila mereka mampu melewati fase kritis ini dengan lapang dada menjalankan apa yang seharusnya dilakukan, maka tak menutup kemungkinan bahwa fase ini adalah awal dari sebuah proses penggapaian mimpi.

Justru pada gelapnya malam, bintang akan lebih indah terlihat

Dengan kondisi Skuad Garuda yang bisa dibilang "pulang menanggung malu" saat ini, segera bisa kita saksikan bersama dengan menggunakan hati nurani, siapa dan siapakah orang yang akan memberikan simpati dan empatinya atas kekalahan ini. Bila timnas sedang berjaya (meski tanpa mahkota) semua pihak akan dengan berlomba-lomba saling klaim mengakui peran dan keikutsertaannya. Tapi coba bandingkan saat timnas terpuruk, siapa sajakah yang peduli untuk setidaknya merangkul pundak, mengangkat dagu, dan menatap wajah para pemain dengan perasaan bangga atas jerih payah yang mereka lakukan serta memberikan apresiasi dukungan moral sebagai pelecut mental anak-anak ini. Begitu pula dengan suporter, dengan kekalahan telak yang tercatat dalam sejarah persepakbolaan kita sebagai kekalahan terbesar yang pernah diderita timnas di ajang internasional, bisa kita perhatikan dengan seksama siapa sajakah yang berjiwa besar menerima kekalahan ini dengan penuh kedewasaan. Kedewasaan yang bukan hanya dilihat dari segi usianya saja, namun kedewasaan terutama dari segi tanggung jawabnya. Sebagaimana di seluruh penjuru dunia ini, tanggung jawab suporter adalah memberikan dukungan kepada timnas yang sedang bertanding. Semakin dewasa, semakin besar tanggung jawabnya, dan semakin besar pula kewajibannya, tak hanya sekedar bersenang-senang saat merayakan kemenangan tim.

Kalah, menang, dengan cara terhormat

Dalam sebuah pertandingan sepakbola, tentu saja menang, imbang, maupun kalah adalah hal yang lumrah, karena itulah sebuah harga yang harus dibayar dari sikap sportifitas. Yang menjadi titik sentral adalah, bagaimanakah proses mendapatkan hasil tersebut. Kalah dengan cara fair-play tentu saja lebih terhormat daripada menang dengan cara-cara ilegal seperti indikasi penyuapan maupun "sudah diatur bandar judi". Kekalahan yang membuat kesadaran, jauh lebih berharga daripada kemenangan yang akhirnya malah menjadikan diri terlena dan terbuai hingga tak sadar ada batu penghalang persis di depan langkah kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun