Begitulah yg sering kita dengar dalam tag line berita baik di berbagai media cetak maupun media elektronik. Menurut pernyataan Dipo Alam, ketiga media yg disebutkan tersebut digambarkan menebar kebencian dengan berita yg tidak berimbang. Kalau seandainya dia mengeluarkan pernyataan itu sebagai diri pribadi mungkin masalah yg berkembang tidak sampai menimbulkan polemik seperti sekarang ini. Tapi pernyataannya dikeluarkan sebagai sekkab hingga menyerukan kepada wacana untuk "memboikot" ketiga media tersebut.
Itu Dipo Alam, lantas apa hubungannya dengan deponering ? Bukankah di Indonesia yg "hot" tentang deponering adalah kasus Bibit-Chandra.
Penggunaan kata "deponering" mungkin salah di artikan oleh masyarakat kita ini. Bagi sebagian besar masyarakat kita ini (mungkin termasuk presiden kita juga) deponering adalah penghentian atau penyampingan perkara. Tetapi disini coba kita tilik dulu kata deponering dari bahasa asalnya di negeri Belanda sana.
Deponering berasal dari kata deponeren yg definisinya adalah menyerahkan, melaporkan, atau mendaftarkan. Kata deponeren ini biasa digunakan dalam hukum dagang, administratif, dan perpajakan. Proses penyerahan, pelaporan, dan pendaftarannya disebut deponering. Sedangkan menghentikan atau menyampingkan perkara lebih tepatnya adalah seponeren.
[dikutip dari tulisan Eddi Santosa (23/11/2009) koresponden detikcom di Belanda, dan tulisan tersebut adalah opini pribadi penulis]
Masih jelas dalam ingatan kita bahwa Dipo Alam menyebut "gagak hitam" kepada gerakan pendeklarasian tokoh lintas agama yg menyebutkan 9 kebohongan lama pemerintah dan 9 kebohongan baru pemerintah. Ada satu lagi yg masih jelas di ingatan kita tentang pernyataan Dipo Alam yg mengatakan "wabah mata kalong" terhadap pihak yg menilai pemerintahan sekarang adalah pemerintah yg gagal.
Dalam konteks tulisan ini, bila Dipo Alam menilai ketiga media itu tidak independen, tidak berimbang, menyebarkan kebohongan dan kebencian, kenapa tidak melakukan "deponering" ?
Deponering dalam konteks, penyerahan bukti-bukti tentang ketiga media tersebut, pelaporan terhadap pihak-pihak terkait, pendaftaran ke proses hukum.
Begitulah opini sederhana dari kami, semoga pak Dipo dapat bertindak bijaksana sehingga tidak mengulangi lagi kejadian "gagak hitam", "wabah mata kalong", dengan hal-hal yg lebih "heboh" lagi.