Suatu hari, musim kemarau panjang melanda desa itu. Tanah-tanah kering, dan sumber air mulai mengering. Banyak penduduk desa yang kesulitan mendapatkan air, tetapi Nyi Endit tidak peduli. Ia malah menyimpan banyak air di sumur miliknya dan menolak memberikan air kepada penduduk yang kehausan.
Suatu pagi, seorang pengemis tua datang ke rumah Nyi Endit. Pengemis itu meminta air kepada Nyi Endit, tetapi ia diusir dengan kasar. "Pergi dari sini, orang miskin! Jangan berani-berani mengemis di rumahku!" kata Nyi Endit dengan sombong.
Pengemis tua itu memohon dengan sangat, "Nyi, tolonglah saya. Saya hanya butuh seteguk air untuk bertahan hidup."
Namun, Nyi Endit tetap tidak mau memberikannya. Ia bahkan mengusir pengemis itu dengan menyapunya keluar dari halaman rumahnya. Sebelum pergi, pengemis tua itu berkata, "Nyi Endit, ingatlah kata-kataku. Keserakahanmu akan membawa bencana."
Tidak lama setelah pengemis itu pergi, tiba-tiba muncul tongkat yang ditancapkan di tanah di depan rumah Nyi Endit. Anehnya, dari tempat tongkat itu ditancapkan, air mulai keluar dan membanjiri desa. Awalnya, Nyi Endit tidak peduli, tetapi air semakin deras dan mulai menggenangi rumahnya.
Nyi Endit panik dan berusaha menyelamatkan harta bendanya, tetapi air terus naik. Penduduk desa yang melihat kejadian itu segera menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi, sementara Nyi Endit tetap di rumahnya, mencoba menyelamatkan kekayaannya. Namun, air tidak berhenti naik hingga akhirnya seluruh desa tenggelam, termasuk rumah Nyi Endit.
Tempat yang dulunya desa itu berubah menjadi sebuah danau besar, yang kemudian dikenal sebagai  Situ Bagendit. Nama itu diambil dari nama Nyi Endit sebagai peringatan tentang akibat dari keserakahan dan ketidakpedulian terhadap sesama. Hingga kini, legenda Situ Bagendit diceritakan turun-temurun sebagai pengingat akan pentingnya berbagi dan membantu sesama manusia.