Suatu hari, Malin merasa lelah hidup dalam kemiskinan dan memutuskan untuk merantau ke kota besar agar bisa memperbaiki nasib. Meskipun berat hati, Mande Rubayah merelakan kepergian Malin dengan harapan ia akan kembali dengan kehidupan yang lebih baik. Sebelum Malin berangkat, Mande berpesan, "Jangan pernah melupakan ibumu, Malin."
Setelah bertahun-tahun berlayar dan bekerja keras, Malin akhirnya menjadi seorang saudagar yang sangat kaya. Ia memiliki kapal besar dan hidup mewah. Namun, dalam kemewahan itu, Malin lupa akan ibunya dan asal-usulnya.
Suatu hari, kapal Malin Kundang berlabuh di desa kelahirannya. Kabar tentang kedatangan saudagar kaya itu segera menyebar, dan Mande Rubayah yang sudah tua sangat gembira mendengar bahwa anaknya telah kembali. Ia bergegas ke pantai untuk menyambut Malin. Dengan penuh haru, Mande Rubayah memanggil, "Malin, anakku! Aku ibumu!"
Namun, saat Malin melihat ibunya yang sudah tua dan berpakaian lusuh, ia merasa malu. Di depan istri dan para anak buahnya, ia menyangkal bahwa wanita tua itu adalah ibunya. "Aku tidak mengenalmu! Kamu bukan ibuku!" katanya dengan nada kasar. Hati Mande Rubayah hancur mendengar kata-kata Malin. Dengan sedih, ia berkata, "Kalau benar kau bukan anakku, biarlah Tuhan yang membuktikannya."
Tak lama setelah itu, badai besar datang menghantam kapal Malin. Angin kencang dan ombak yang dahsyat menggulung kapal tersebut. Malin Kundang terjatuh dari kapalnya dan tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi batu. Konon, batu Malin Kundang masih bisa dilihat di tepi pantai hingga hari ini, menjadi peringatan bagi anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya.