Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Artikel Utama

Membangun Bangsa dengan Susu

3 Juni 2012   04:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:27 856 1

Semua orang, baik yang kaya atau miskin, punya problem dengan laktosa seperti saya atau yang kecanduan susu, di kota atau di desa, sepakat bahwa susu adalah nutrisi yang kita perlukan untuk menyempurnakan pola makan kita sehari-hari. Tapi pengetahuan tidak selalu seiring dengan realisasi bahwa kalau sudah tahu penting, maka semua orang minum susu sebagai bagian tak terpisahkan dari asupan nutrisi sehari-hari. Sebuah artikel yang ditulis oleh Olivia Lewi Lestari di http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/hari-susu-nusantara-2012-tingkatkan-kesadaran-masyarakat-untuk-minum-susu menyebutkan bahwa konsumsi susu di Indonesia paling rendah di antara negara-negara Asia.  Berdasarkan data 2010, konsumsi susu Indonesia hanya 11,09 liter per kapita per tahun. Sementara tetangga kita Malaysia dan Filipina mencapai 22,1 liter per kapita per tahun, Thailand 33,7 liter, Vietnam 12,1 liter, dan India 42,08 liter.

Masalahnya, dalam pikiran bangsa ini sudah terpola asumsi bahwa produk susu adalah produk-produk dalam kemasan kotak atau kaleng bikinan pabrik-pabrik besar. Jaman saya kecil dulu (tahun 1970-an), ada budaya “langganan susu segar”, yang diantar dalam botol kaca yang ditaruh di teras rumah tiap jam 6 pagi. Walaupun saya sendiri tidak bisa ikut minum, saya masih ingat betul sedapnya aroma susu segar yang dimasak Ibu sebagai bagian dari sarapan kami (tapi khusus buat saya sih dibuatkan dari susu bubuk). Kenapa budaya ini bisa menghilang?  Sebagai rakyat kecil saya berpendapat, penyebabnya adalah karena pihak berwenang malas repot membangun sentra-sentra peternakan sapi perah di seluruh Indonesia untuk membuat jejaring pemasaran lokal untuk produk susu. Seperti juga dalam berbagai kasus pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, pihak berwenang lebih suka cari gampangnya dengan “menjual” perijinan saja (dan nunggu pajaknya) kepada pihak-pihak bermodal besar yang berani ambil resiko. Bangsa kita ini bangsa “makelar” … kita tidak pernah betul-betul bermental “produsen”. No hard feeling lho ya … ini hanya pengamatan saya sebagai rakyat jelata saja.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang “merayakan” Hari Susu. Tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Susu Sedunia oleh FAO sejak tahun 2001 karena banyak di antara 191 anggota PBB merayakan Hari Susu di sekitar tanggal 1 Juni. Tujuan besar di balik penetapan Hari Susu Sedunia ini adalah untuk meningkatkan taraf hidup seluruh bangsa, terutama populasi di pedesaan. Dalam artikel yang sama di http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/hari-susu-nusantara-2012-tingkatkan-kesadaran-masyarakat-untuk-minum-susu juga dilaporkan data yang disampaikan oleh Direktur Pengolahan Hasil Pertanian Ditjen Pengolahan dan pemasaran Hasil Kementerian Pertanian, Nazaruddin, bahwa saat ini produksi susu nasional sebanyak 900 ribu ton per tahun dan jumlah itu baru memenuhi 26 persen dari kebutuhan. Sisanya sebanyak 74 persen masih harus dipenuhi dengan impor. Sungguh menyedihkan mengingat Indonesia ini kurang apa sih untuk mengembangkan sentra peternakan sapi perah? Iklim bersahabat, air berlimpah, tanah subur … Kenapa sulit sekali ya?

Mudah-mudahan niat baik yang dicanangkan di berbagai daerah oleh berbagai kalangan dalam rangka Hari Susu Nusantara ini mendapatkan jalannya untuk mencapai target yang sangat sederhana tapi bisa membawa efek ikutan yang sangat luar biasa dampaknya pada kesejahteraan bangsa ini: membuat bangsa Indonesia suka minum susu. Strategi utama yang jadi PR besar kita semua adalah “revolusi” dalam sistem distribusi susu, dengan membuat produk-produk susu lokal berkualitas tinggi dengan harga terjangkau.

Selain itu, ada satu PR besar lagi yang perlu mulai dipikirkan dari awal. Sering tidak kita sadari bahwa susu adalah produk dari sapi perah yang bisa kita anggap sebagai sebuah “pabrik” hidup. Pabrik super canggih yang bunyinya “moooo … ooo” ini mengolah bahan baku berupa hijauan pakan ternak dan berbagai “snack” tambahan dan produknya adalah susu. Seperti juga dalam pabrik-pabrik kimia bikinan manusia, tidak bisa dihindari munculnya limbah. Dalam kasus sapi perah, limbahnya adalah kotoran sapi, yang dalam bahasa Jawa disebut TLETHONG.

Konsekuensi logis dari usaha-usaha meningkatkan konsumsi susu di semua lapisan masyarakat adalah peningkatan populasi sapi perah (Insya Allah kampanye-kampanye Hari Susu Nusantara sukses besar sehingga bisnis peternakan sapi perah berkembang pesat). Yang perlu kita sadari adalah bahwa setiap 1 liter susu yang dihasilkan si sapi, ada 1,5-2 kg kotoran sapi yang dikeluarkan si sapi. Di tingkat pedesaan, rata-rata peternak sapi perah rumahan memiliki 3-4 ekor sapi yang setiap hari menghasilkan sekitar 20-30 kg kotoran. Kalau kita kerjakan matematikanya, maka per rumah akan menghasilkan 60-120 kg kotoran sapi PER HARI. Di desa-desa peternak sapi perah, limbah yang dihasilkan bisa mencapai 10 ton per hari atau bahkan lebih jika ada peternak-peternak besar dengan jumlah sapi puluhan dalam kandangnya. Seberapa banyak 10 ton ini? Kamar tidur saya berukuran 3m x 3m. Kalau diisi dengan 10 ton kotoran sapi, maka kamar tidur saya itu akan penuh dan bahkan sampai meluap-luap keluar jendela.

Nah, dengan kesadaran bahwa setiap 5 gelas susu ada sekeranjang kotoran sapi – entah dibuang ke mana – maka sebaiknya infrastruktur untuk pengelolaan kotoran sapi ini perlu juga dirancang sejak awal. Dengan sedikit kerepotan tambahan di awal saja, selanjutnya peternak tidak hanya memperoleh susu saja, tapi ada energi gratis dalam bentuk biogas dan listrik, dan bisa berjualan pupuk pula. Cita-cita ini tidak bisa terwujud dengan sendirinya. Harus ada yang mau turun ke desa-desa mendampingi para peternak kita, menunjukkan bagaimana caranya, dan membangun rasa percaya diri bahwa sebuah usaha dengan potensi profit besar, tidak selalu harus dimulai dengan modal yang sangat besar. Anda berminat ikut saya ke sana? :-)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun