Menghadapi ini jadi teringat ide BHMN (Badan Hukum Milik Negara) untuk mengganti status PTN yang mati suri sebelum mencapai tahap matang karena dianggap melanggar konsitusi oleh MK. BHMN sesungguhnya ide brilian sebagai upaya agar PTN bisa menggali dana masyarakat untuk memajukan pendidikan tinggi tanpa harus mengandalkan dana pemerintah. Pemerintah terlalu berat kalau harus menanggung semua biaya pendidikan di PTN. BHMN juga salah satu solusi agar subsidi silang dalam pendidikan tinggi bisa dilaksanakan. Dari BHMN juga sebenarnya link and match dunia pendidikan dan industri bisa digiatkan karena PTN harus mencari sumberdana di luar APBN. Gus Dur pernah mengatakan pendidikan yang baik memang mahal, untuk itu kemampuan ekonomi masyarakat perlu dinaikkan agar bisa menikmati pendidikan yang berkualitas. Kini ketika kemampuan itu mulai meningkat justru kemauan untuk membayar dibatasi dengan adanya policy Uang Kuliah Tunggal dimana penggalian dana dari masyarakat oleh PTN dibatasi.
PTN ketika melakukan penggalian dana lewat uang pangkal atau Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) sebenarnya tidak mematikan kesempatan orang miskin untuk bisa kuliah. Karena porsi untuk masyarakat untuk mendapatkan beasiswa lewat skema bidik misi (beasiswa pendidikan mahasiswa berprestasi) maupun tes masuk regular tetap terbuka. Yang salah adalah ketika semua pintu masuk diharuskan lewat jalur dengan uang pangkal yang tinggi. Sebagian besar pengelola PTN masih mempunyai nurani dengan memberi kesempatan orang kurang mampu bisa kuliah di PTN bagus. Para pengelola berasal dari kalangan itu dulunya jadi bisa merasakan dan memberi jalan keluar.
Banyak hal di lakukan kemendikbud tahun ini, selain Kurikulum, sistem peneriman mahasiswa baru yang lebih banyak mengndalkan jalur tanpa tes (SNMPTN), Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT menjadi perbincangan hangat di kalangan pengelola PTN. Tahun ini uang kuliah tunggal akan diberlakukan berbarengan dengan BOPTN. UKT dimaksudkan untuk membuat standar biaya yang dihabiskan setiap mahasiswa program studi tertentu selama setahun. Dengan UKT maka diharapkan biaya pendidikan dari satu PTN ke PTN yang lain tidak berbeda jauh. Dengan UKT juga diharapkan PTN tidak memungut biaya-biaya tambahan selain SPP. Karena sisa biaya yang harus ditanggung sebuah PTN akan ditutup dari BOPTN, semacam BOS untuk PTN. Dengan UKT juga diharapkan ongkos yang dibayar mahasiswa untuk kuliah di PTN semakin murah.
Bagi masyarakat umum mungkin ini berita baik karena uang kuliah akan semakin murah dan tidak bervariasi antar PTN. Namun bagi pengelola PTN atau ketua Jurusan sebagai ujung tombak operasioanl  PTN,   ini menjadi pertaruhan besar. Sebagai pengelola di tingkat bawah kami berharap penggalian dana masyarakat masih dimungkinkan. Ada hal-hal yang biasanya dibiayai dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti uang pangkal tersebut,  tidak semua bisa ditutup dari BOPTN. Dikbud sudah menetapkan pengeluaran apa saja yang bisa didanai oleh BOPTN. Di satu sisi memang PTN terbantu dengan BOPTN karena bisa mengadakan aktivitas-aktivitas penunjang kemajuan PTN. Di sisi lain PTN kurang bisa bergerak. Misalnya, pengadaan alat-alat laboratorium dan fasilitas lain pendukung proses belajar mengajar tidak semua bisa didanai dengan BOPTN. Pada saat PTN diperbolehkan memungut uang dari masyarakat, penggunaannya lebih fleksibel tidak seperti BOPTN yang  dibatasi dalam hal peruntukkannya. Jadi tidak bisa kekurangan biaya yang ditanggung PTN digantikan oleh BOPTN.
Memang dengan PNBP ada potensi menyalahgunaan dana masyarakat jika tidak dikontrol dengan baik. Untuk itu pemerintah perlu membatasinya tanpa ahrsu menghapus. Untuk tahun ini memang masih ada jalur masuk PTN melalui ujian mandiri yang dikelola universitas dengan potensi PTN bisa menggali dana lewat uang pangkal. Namun ada kabar bahwa uang pangkal  akan dihapus. Para pengelola PTN dari Rektor hingga ketua prodi menjerit bagaimana akan bergerak lebih leluasa?
Daya Beli Masyarakat
Banyak orang tua yang mampu dari sisi ekonomi dan anaknya mampu dari sisi akademis bersedia membayar mahal untuk pendidikan anaknya, apalagi untuk bisa kuliah di PTN –PTN unggulan. Dihitung secara total biaya kuliah dengan uang pangkal masih lebih murah dibandingkan kuliah ke luar negeri. Apalagi sekarang beberapa PTN menawarkan program internasional dengan pengantar bahasa Inggris atau mempunyai program double degree dengan Universitas asing. Bahkan mereka rela membayar lebih mahal ke luar negeri kalau tidak diterima di PTN. Ini menandakan daya beli masyarakat terhadap jasa pendidikan sangat tinggi. Tidak ada salahnya jika PTN menangkap peluang ini dalam rangka memajukan pendidikan di PTN.
Istilah komersialisasi pendidikan yang dulu dihembuskan berkaitan dengan BHMN tidak sepenuhnya benar. Jika melihat pendapatan rata-rata penduduk yang semakin besar, banyak masyarakat yang mau membayar jasa pendidikan dengan harga lebih tinggi karena merupakan belanja yang penting, bahkan masuk kebutuhan pokok bagi masyarakat modern. Uang masuk Rp 50 juta bagi sebagian masyakat bukan uang yang besar untuk pendidikan anak. Dari pengalaman lapangan banyak orang yang mau membayar lebih mahal asal anaknya bisa masuk PTN. Bandingkan dengan biaya yang dikeluarkan para jemaah umroh dan jemaah haji yang selalu meningkat jumlahnya setiap tahun bahkan rela berulang kali pergi ke tanah suci. Jadi istilah komersialisasi kurang tepat kalau memang ‘harga’ pendidikan masih wajar dan masih ada kesempatan luas bagi masyarakat kurang mampu untuk kuliah di PTN-PTN berkualitas di tanah air. Sebaliknya pemerintah seharusnya tetap memberi kesempatan PTN untuk menggali dana masyarakat untuk mempercepat perkembangan perguruan tinggi dalam rangka bersaing di level regional maupun internasional tanpa membatasi kesempatan masyrakat kurang mampu untuk bisa menikmati pendidikan berkualitas. Potensi PTN untuk bisa menggali dana dari masyarakat masih terbuka. Dana dari masyarakat menjadi salah satu faktor penting untuk mengembangkan kualitas PTN.