Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Dari Baggage Claim Aku Menatap Masa Depan Bangsaku

16 Februari 2011   15:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:32 86 0
Setiap kali tiba di baggage claim di airport, selalu muncul perasaan pesimis  akan kemajuan bangsaku. Penumpang mengerubungi conveyor belt seperti berebutan sesuatu yang akan hilang. Semua seperti pingin mendapatkan tasnya secepat mungkin. Tidak peduli yang dandanannya necis maupun yang kampungan, tak peduli yang kulit coklat atau kulit kuning, yang penumpang kelas bisnis atau kelas ekonomi,  semua perilakunya sama: kampungan!  Padahal tas belum datang.  Tas datang secara perlahan, bisa dilihat dari kejauhan dan tidak tentu urutannya. Trolley didorong dekat mepet ke dinding conveyor, penumpang berdesakan di pinggir conveyor. Suasana seperti memperebutkan barang yang sama.  Semua ini cerminan masyarakat yang serba ingin cepat, tidak toleran, suka berebut. Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa tentu sifat-sifta ini tidak produktif dan kontra kemajuan. Kita boleh berebut, boleh berpacu tetapi dengan cara yang lebih elok, elegan ,  realistis, taat aturan dan dalam suasana persaudaraan dan nyaman. Jangan merebut sesuatu yang bukan haknya. Jangan ingin mendapatkan sesuatu cepat-cepat jika memang belum tepat waktunya.

Seandainya kita berdiri agak jauh dari conveyor. Trolley kita pegang tidak terlalu mepet ke conveyor. Kemudian setiap tas atau kardus  yanglewat di atas conveyor akan bisa dengan mudah dilihat setiap orang, mudah ditentukan siapa yang memiiliki tas itu. Suasana nyaman tidak berdesakan dan berebut akan tercipta.  Menunggu menjadi sesuatu yang tidak menyesakkan. Kalau pasti itu tas atau barang kita, baru kita mendekat.

Kapan kesadaran seperti  itu muncul? Mengapa orang bule punya budaya yang begitu tertib dalam mengantri dan menanti barang di baggage claim? Haruskah hal-hal dasar dan sepele sperti ini diberikan di bangku-bangku sekolah? Haruskah diadakan training kesopanan, ketertiban? Kursus kepribadian di sekolah-sekolah top perlu merubah kurikulumnya untuk merubah makna dan pengertian kesopanan dan kepribadian yang baik. Sehingga orang tidak hanya pandai bersikap ketika menyambut tamu, cara berjalan, cara bicara atau cara makan. Tetapi pandai bersikap dalam kerumunan orang, berhubungan dengan hak orang lain, dalam ruang publik, mengantri, berlalu lintas dsb. Kalau ini bisa diperbaiki, 50% masalah bangsa saya yakin terselesaikan. Karena banyak masalah muncul karena faktor budaya, bukan masalah kepandaian atau kemajuan teknologi. Teknologi yang canggih, aturan yang ketat, dan kepandaian sekalipun tidak akan memperbaiki nasib jika tidak dibarengi perubahan budaya. Budaya instant, budaya rebutan, budaya iri harus dirubah ke budaya toleran,  budaya sabar.

Bapak Ibu guru di sekolah tolong ajari dan didik anak-anak dengan sikap sopan santun yang tepat. Bukan sopan dalam arti duduk manis, ngomong halus. Tetapi sopan dalam arti ramah, toleran,menghargai orang lain.   Wahai para kyai yang cerdik pandai sampaikanlah dalam kotbah di mesjid saat jumat  dan pengajian yang lain, tentang perubahan budaya ini. Wahai para guru di pesantren atau para pendeta sampaikan pentingnya transformasi budaya kampungan ke budaya modern dalam arti yang benar. Jangan bicara akhlak atau taqwa tanpa menjelaskan apa akhlak dan taqwa itu dalam amalan sehari-hari terutama dalam kehidupan sosial. Jangan hanya fasih berbicara bahasa arab sehingga pendengar terkagum-kagum tanpa menyentuh akar masalah sebenarnya ayng sering kita hadapi.

Selama antrian di Baggage Claim masih sesak, kehidupan di luar bandara masih sama sesaknya, penuh masalah. Apa pendapat Anda?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun