Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Menjadi Kuat

7 Januari 2019   10:42 Diperbarui: 7 Januari 2019   11:20 95 10
Waktu itu, aku sedang mengikuti sebuah acara di kotaku. Acara pembentukan asisten pengajar Al-Quran usia SMA. Pasalnya, Ayahku menjadi salah satu penyelenggaranya. Sebagai anak yang berusaha untuk melancarkan acara tersebut, akhirnya aku mengikutinya.

Aku tidak begitu khusyuk mengikuti acara tersebut. Entahlah, apa yang aku pikirkan, akupun tidak tahu.

Menjelang magrib. Konsumsi dari panitia berupa nasi goreng. Ayah memesan nasi goreng ke sebuah rumah makan yang memang sudah jadi langganan Ayah jika mengadakan acara-acara tertentu yang berhubungan dengan sabilillah.

Tiba-tiba seorang ibu mengajakku pergi ke rumah makan itu. Beliau mengatakan bahwa saat itu sedang tidak sholat, jadi tidak keberatan jika menemaniku mengambil nasi goreng pesanan panitia itu.

Aku pergi mengendarai sepeda motor. Meskipun di jalan raya, aku tidak khawatir walau aku tidak memiliki surat-surat berkendaraan lengkap. Sebab, kebetulan hari sudah menjelang malam. Tidak ada polisi berlalu lalang.

Aku kenal dengan ibu tersebut. Karena masih ada ikatan saudara. Mungkin sepupu jauhnya Ayah. Tapi aku lupa siapa namanya. Aku tidak menanyakan namanya, takut tersinggung.

Singkat cerita. Sampailah kami di rumah makan yang dituju tadi. Kami segera menghampiri ke kasir. Ternyata nasi gorengnya belum selesai. Masih ada beberapa puluh nasi goreng yang belum dibungkus.

Kami pun duduk di kursi makan yang tidak jauh dari kasir. Ibu yang bersamaku mengajakku berbincang-bincang kesana kemari. Membahas hal yang membuat geli. Sehingga aku tidak bisa menahan tawaku lagi.

"Bagaimana sekarang di usiamu yang sudah sepatutnya kamu mempunyai pendamping. Apa kamu sudah ada yang kamu suka?" ucap ibu itu.

Aku hanya tersenyum seraya menganggukan kepala.

"Oh iya, bagaimana dengan lamaran dari yang kemarin? Cocok loh, sama-sama kacamata" tanya ibu itu lagi yang membuat kepalaku agak memanas.

Lagi-lagi aku geram mendengar pertanyaan yang tidak sepatutnya dia tanyakan padaku.

"Neng, ini sudah selesai nasi gorengnya," ujar salah satu pelayan rumah makan.

Akhirnya selesai juga. Aku tidak perlu lagi mendengar celotehan ibu itu yang menyebalkan. Sungguh, aku dibuatnya agak sensi sore ini. Tahu apa dia tentangku. Siapa dia untukku. Seenaknya saja.

Sesegera mungkin kami meninggalkan rumah makan itu. Kupikir ibu itu tidak akan membahas lagi masalah itu.

"Ibu tahu, kenapa kamu tidak segera memberikan keputusan padanya. Sebab kamu sudah punya seseorang yang kamu sukai, yang mungkin sudah lama kamu memendam rasa padanya. Iya, kan Neng? Ibu juga dulu seperti itu" tutur ibu itu.

Aku memperhatikan raut muka ibu itu di balik kaca spion motor. Rasanya ingin kutampar. Entah, aku selalu sensitif membicarakan hal yang seperti ini.

"Iya, bu" tiba-tiba ucapan itu terlontar dari mulutku.

"Padahal, anak ibu juga suka sama kamu, Neng" tegas sekali ibu itu berbicara dengan yakinnya.

Lagi-lagi aku pun mulai terdiam. Tak terasa air hangat mengalir dari mataku.

Tuhan, mungkinkah ini ujian bagiku. Betapa beratnya. Aku yang mencintainya. Tapi mengapa harus begini.

Hati tidak bisa dipaksakan.

Ingatanku tentangnya semakin kuat. Aku semakin dirundung pilu. Aku bingung apa yang harus aku lakukan.

Dengarkan aku! Baca dari hati yang paling dalam!

HATI TIDAK BISA DIPAKSAKAN


Sekolah, 07 Januari 2019


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun