Seperti malam-malam sebelumya, roti bakar menjadi pilihan saya untuk mengganjal lapar di tengah malam. Biasanya roti bakar pesanan saya akan ditemani sahabat baiknya si teh manis hangat di kedai kopi favorit saya.
Malam itu, suasana kedai kopi tidak seperti biasanya yang ramai oleh penghuni tengah malam. Saya tidak menemukan mereka yang bercerita tentang si pelanggan yang rewel, atau mereka yang bergossip hangat tentang teman sekantor atau bahkan mereka yang bergerombol namun terlihat sibuk masing-masing dengan perangkat blackberry-nya. Malam ini, saya merasa mungkin saya yang tidur terlarut malam atau mereka yang sudah tertidur pulas mengakhiri hari ini.
Tidak lama kemudian, masuk dua perempuan dan mengambil tempat di meja seberang saya. Sebut saja, perempuan pertama bernama Mala sebagai si pencerita dan perempuan kedua bernama Shinta, sebagai pendengar yang baik.
“Shin, jadi gue harus gimana?” Ujar Mala dengan nada bingung.
“Sekarang pilihannya ada di elo. Sebelumnya ‘kan elo tau kalau dia udah punya pacar dan elo sendiri yang bilang kalau nggak akan bermasalah ngejalanin hubungan yang kayak begini” jawab Shinta sambil menghembuskan Dunhill menthol-nya.
“Iya iya, gue tau. Awalnya gue emang gak pernah mau ambil pusing buat ini, tapi lama-lama kok hati gw ikut campur ya? Gue pengennya dia buat gw aja, bukan dibagi dua sama pacarnya itu!” Mala dengan nada yang sedikit emosi.
“Darling, kenapa elo jadi egois? Mal, lo sempet mikiran nggak, gimana dulunya si pacarnya ini berusaha buat ngedapetin dia? Atau usahanya dia buat ngedapetin pacarnya ini? Siapa yang tau kalau prosesnya panjang dan gak gampang? Iya gak?”
“Shin, gue gak peduli! Gue cuma mau dia buat gue! Apa to the point aja, gue rebut dia langsung dari pacarnya??” Ujar Mala dengan nada yang semakin tinggi.
“Honey, shortcut will never work! Hari gini semua pake proses. Termasuk cinta. Kalo elo mau yang karbitan mah banyak. Mangga aja sekarang bisa di karbit. Tapi masalahnya, yang mateng dari pohon, rasa manisnya lebih alami” Jawab Shinta dengan santai.
“Kok jadi mangga sih? Emang ada cinta simanalagi atau cinta harum manis? Kalo orangnya kayak dia, gue yakin, pake cara apapun, manisnya tetap akan sama.” Tegas Mala meyakinkan Shinta.
“Mala… Mala, dimana-mana mangga luarnya sama. Keliatannya semua manis, tapi siapa yang tahu kalau isi dalemnya sama manisnya? Sama lah kayak hati, mana ada yang bisa nebak isinya kalo cuma dilihat dari luar? Emang elo yakin kalau si laki-laki pujaan lo ini rasa manisnya ke elo juga sama kayak rasa manisnya dia ke pacarnya? Siapa yang jamin?” tanya Shinta yang membuat Mala sedikit tertegun.
Kedua perempuan tadi semakin larut dalam obrolan cinta karbitan. Semoga mereka tidak membahas cerita cinta versi pisang atau jambu. Saya pun kembali menyantap pesanan roti bakar saya yang agak gosong. Agak pahit memang rasanya. Namun setelah saya meneguk teh manis hangat, rasa pahit dan manis itu bukan lagi beradu tapi mereka saling menggantikan. Pahit gosong si roti digantikan manisnya teh hangat. Mungkin seperti kisah cinta karbitan seperti yang diceritakan dua perempuan tadi. Awal cerita yang pahit memang menyakitkan. Namun siapa yang tahu setelah menjalankan serangkaian proses, justru rasa manislah yang akan dirasakan ketika kita sudah mendapatkan hasilnya. And yes, we do deserve to have our own happy ending!
@jakartastorytelling - 22 Juni 2010